logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

18. MENGERJAI GABY

Malam ini, Gibran dan Gaby terpaksa menginap di Bandung, di kediaman orang tua Gibran karena ulah Dinzia.
Dinzia yang menahan kepulangan Gibran saat itu dengan alasan remaja itu sangat merindukan sosok Kakak lelaki satu-satunya itu.
Sementara Gibran sendiri memang paling tidak bisa menolak permintaan Dinzia, adik kesayangannya.
Malam itu Dinzia menangis dipelukan Gibran.
Akibat percakapan di meja makan tadi yang membahas tentang Luwi, Dinzia jadi terbawa suasana. Mendadak dia rindu Luwi. Almarhumah ibunya...
"Zia kangen Mamah, Kak..." bisik Zia dipelukan Gibran.
Saat itu mereka sedang bercakap di tepi kolam renang.
Mereka duduk di tepi kolam renang dengan kaki yang terjuntai ke dalam kolam.
Cahaya rembulan yang terang terpantul dari air yang beriak karena sentuhan kaki Gibran dan Dinzia yang terbenam di dalamnya.
Gibran menyeka air mata sang adik.
"Kakak juga kangen banget sama Mamah. Dulu itu sewaktu Kakak kecil, sewaktu Kakak masih tinggal di London sama Mamah, setiap malam Mamah pasti selalu meninak bobokan Kakak dipelukannya sambil bernyanyi. Suara Mamah itu bagus kalau sedang bernyanyi. Merdu banget, kalah Diva Indonesia," celoteh Gibran mencoba menghibur Dinzia.
Saat Luwi meninggal, Dinzia masih terlalu kecil untuk mengingat memori-memori indah kebersamaannya dulu dengan sang Mamah.
"Seandainya Mamah masih ada Kak..." gumam Dinzia yang kembali menangis.
"Sst, kamu nggak boleh ngomong begitu. Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian Mamah supaya Mamah bisa tenang di sana,"
Dinzia mengangguk paham.
"Kak," panggil Dinzia ketika ke duanya sempat terdiam beberapa saat.
"Hm?" sahut Gibran yang langsung menoleh ketika Dinzia menegakkan kepalanya dan menatap dalam wajah Gibran.
"Kakak baik-baik ajakan?"
Pertanyaan Dinzia sukses membuat hati Gibran tersayat.
Siluet kejadian beberapa minggu yang lalu di saat dirinya harus dilarikan ke rumah sakit karena telat meminum obat, kembali merasuk dalam ingatannya.
Ketika Mbok Sumi dan Pak Catra yang mendapati tubuh Gibran tergolek lemah di halaman rumahnya hingga kemudian ke dua pembantu itulah yang membawa Gibran ke rumah sakit.
Dan menjadi sangat tidak mungkin jika Gibran memberi tahukan hal itu pada Dinzia. Bahkan setelah dia meminta Mbok Sumi dan Pak Catra untuk merahasiakan tentang kejadian itu pada keluarganya di Bandung.
Terkadang, ada saat-saat di mana Gibran merasa ajal akan menghampirinya.
Kematian itu begitu dekat dan nyata.
Hingga membuatnya pasrah akan takdir Tuhan yang telah ditetapkan untuknya.
"Kak?"
Guncangan tangan Dinzia di bahunya sontak membuyarkan lamunan Gibran. Lelaki itu tersenyum lebar.
"Kakak baik-baik aja kok. Kenapa tanya begitu?"
Wajah Dinzia masih terlihat sedih. "Kakak kurusan," jawabnya polos.
Gibran tertawa renyah. Dia kembali memeluk Dinzia hanya supaya sang adik tidak melihat bendungan air mata yang kini menggenang di kelopak matanya. Susah payah Gibran mengerjapkan mata supaya air matanya itu tidak benar-benar tumpah.
"Mungkin cuma perasaan kamu aja kali. Kamu lupa ya, sekarang Kakak sudah punya istri? Justru makan Kakak di rumah semakin lahap karena ternyata, Gaby itu pintar masak," ucap Gibran berbohong.
Diam-diam Dinzia jadi mencebik. "Masa sih, cewek kayak Kak Gaby pinter masak?"
"Kamu nggak percaya?"
"Nggak!"
"Oke, kita buktikan besok. Besok, Kakak akan suruh Kak Gaby memasak sarapan untuk kita, gimana?"
Dinzia langsung manggut-manggut tanda setuju.
"Kalau gitu, biar Zia yang jadi jurinya,"
"Maksud kamu?" tanya Gibran heran.
"Zia yang akan memberi perintah Kak Gaby untuk masak apa besok dan Zia sendiri yang akan mengawasi Kak Gaby masak,"
Gibran jadi melongo.
Meski setelahnya, lelaki itu jadi tertawa.
Sepertinya, hal ini akan seru.
Bukankah orang seperti Gaby itu memang pantas diberi pelajaran?
Pikir Gibran dengan sejuta ide jahil dikepalanya.
*****
Pagi harinya, suasana dapur di kediaman utama keluarga besar Surawijaya tampak heboh.
Seorang wanita dengan wajah kusut bercelemek tampak sibuk mengiris bawang yang membuat kelopak matanya berair.
Gaby meringis ketika ujung jari-jarinya menghitam serta kuku indahnya yang baru saja menjalani perawatan menicure di salon rusak.
Belum lagi aroma amis dari ayam mentah yang harus dia bersihkan.
Seandainya saja ini bukan kediaman mertuanya, Gaby pasti sudah mencak-mencak pada Dinzia.
Gadis remaja yang kini berdiri dibelakangnya sambil mengawasi dirinya yang sibuk memasak.
Huh, katanya pinter masak! Masa goreng bawang aja gosong!
Cibir Dinzia dalam hati.
"Kurang bersih tuh cucinya!" ucap Dinzia berkomentar saat Gaby selesai mencuci ayam mentah yang hendak dia beri bumbu. "Biasanya kalo Bi Imah yang cuci itu sampe kinclong. Air cucian ayamnya jernih, nggak butek kayak gitu!" tambah Dinzia yang susah payah menyembunyikan tawa sampai dia sakit perut.
Melihat Gaby yang kewalahan memasak sendiri di dapur seperti menjadi hiburan tersendiri bagi Dinzia.
"Ini juga udah bersih kali! Gue udah cuci tiga kali, lo nggak liat?" balas Gaby sewot.
"Nggak tuh!" sahut Dinzia sambil cengengesan.
"Makanya punya mata di pake," omel Gaby yang terlihat kerepotan.
Pasalnya pekerjaan yang harus dia lakukan di dapur masih sangat banyak sementara dirinya cuma sendirian. Gaby sendiri bingung kenapa para pembantu rumah tangga di kediaman Gibran yang jumlahnya puluhan itu seperti hilang di telan bumi. Tak ada satu pun yang menampakkan wajah mereka di dapur.
"Udah jam setengah tujuh nih, untung ini hari libur. Jadi Papah sama yang lain sarapannya agak siang. Kak Gaby masih punya waktu sekitar satu jam lagi untuk menyelesaikan semua pekerjaan di dapur. Bikin sarapan yang enak karena kalo nggak, Papah suka marah dan nggak mau makan," celoteh Dinzia lagi yang masih berdiri di belakang Gaby, bak majikan yang sedang mengawasi pekerjaan pembantunya.
"Heh, daripada lo ngemeng terus daritadi, mending lo bantuin gue nih!" perintah Gaby dengan wajah cemas. Jika sampai sang Ayah mertua tidak menyukai masakan hasil karyanya, bisa-bisa reputasinya sebagai seorang menantu idaman hancur. Dan dia bisa mendapat malu!
Nggak! Nggak!
Itu nggak boleh terjadi!
Ucap Gaby membatin dengan kepala yang menggeleng cepat.
"Mau dibantuin?" tanya Dinzia saat itu.
"Iya lah, kerjaan gue masih banyak nih! Belum goreng ayam, bikin bumbu nasi goreng, terus goreng nasinya, goreng telor, goreng sosis, aduuuh..." Gaby jadi stress sendiri.
Melihat sang kakak ipar yang kewalahan, Dinzia semakin senang.
"Oke deh, karena Dinzia orang yang sangat baik hati dan tidak sombong, sini Zia bantuin," kata Dinzia seraya mendekat.
"Nih, blenderin bumbu nasi gorengnya," perintah Gaby saat itu.
"Eits, tunggu dulu. Zia belum selesai ngomong kali! Maksud Dinzia bantuin itu, bukan bantu masak. Tapi, bantu DOA... Hahahaha..." remaja jahil itu langsung ngibrit setelah dia sukses menipu Gaby yang semakin uring-uringan.
Sialan! Awas lo bocah!
Makinya geram dalam hati.
Sementara itu di tangga Dinzia berpapasan dengan Gibran yang sudah rapi dan wangi.
Lelaki itu terlihat bingung melihat tingkah sang adik.
"Kenapa Zia? Kok cengar-cengir gitu?" tanya Gibran saat itu.
Dinzia membisikkan Gibran sesuatu hingga tatapan Gibran tertuju ke arah dapur.
Hingga setelahnya, kedua kakak beradik itu jadi tertawa bersamaan.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (151)

  • avatar
    Nouna Noviie

    lanjutt dooongg...... jadi penasaran apa bayi yg akan d adopsi itu setelah dwasa nanati akan membalaskan dendam sang ibu kandung... apa bila mngetahuin cerita semasa hidup ibu y dan mengetahuin bahwa ayah angkat'y lah Gibran yg sudh membunuh ibu y...!!??? ini Novel baguss menurutku berhasil membawa pembaca masuk ke dalam suasana isi novel ini😍

    22/12/2021

      2
  • avatar
    Mela Agustina

    seruu bgt demi apapun😭🤍🤍

    20d

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Seru banget

    14/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด