logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Rencana Mengejutkan

Tiara mengamati sekelilingnya. Ini sudah di kamar. Berarti Bima menggendong dan membaringkannya di tempat tidur tanpa sedikit pun Tiara terbangun.
Pukul 04.55 wib. Bima pasti sudah ke musala. Tiara bangkit dari tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Pagi ini dia ingin sekali menyiapkan sarapan yang enak. Khusus untuk Bima. Ehem!
Sarapan spageti istimewa dengan segelas jus jeruk segar sudah terhidang di atas meja. Lengkap dengan potongan garlic bread yang menebarkan aroma gurih nan lezat. Tiara tersenyum puas. Ia melepaskan celemek dan segera membereskan meja yang dipakai kerja Bima tadi malam. Mengelompokkan kertas dengan kertas tanpa mengubah susunannya, buku dengan buku, lalu menutup laptop.
Hampir pukul enam saat Tiara mendengar pintu pagar di dorong dari luar. Bima pulang. Tiara bergegas naik ke lantai atas, buru-buru masuk ke balik selimutnya.
Pura-pura tidur.
Tiara senyum-senyum sendiri. Menanti dengan berdebar, apakah dia berhasil menyiapkan kejutan untuk Bima? Bagaimana kira-kira reaksi laki-laki itu, ya?
Perlahan Tiara malah ketiduran.
***
Kedua mata Bima memindai sekeliling, sepagi ini rumah telah kembali rapi tanpa harus disentuhnya sama sekali. Berkas-berkas dan laptop di atas meja sisa bekerja tadi malam pun tak lagi berserakan. Bahkan menu sarapan sudah tersaji di atas meja makan.
Bima mendaratkan tubuh ke kursi untuk mulai menikmati makanan di hadapannya. Mulut yang sedang mengunyah itu tak henti mengulas senyum karena rasa haru dan takjub akan masakan Tiara. Rasa yang khas, aroma wangi, kelezatan dan tingkat kematangan yang pas, persis seperti masakan ibunya.
Entah angin apa yang membuat sang istri tiba-tiba mau membantunya merapikan rumah, terlebih menyiapkan sarapan seperti ini, yang pasti berjuta kekuatan kian tumbuh untuk terus berusaha menaklukkan hatinya.
Usai menghabiskan sarapan, langkah kakinya berjalan menuju kamar. Wanita yang telah menyiapkan sarapan untuknya tengah tertidur, mungkin lelah setelah mengurus rumah sebesar ini. Didekatinya perlahan tubuh mungil yang bersembunyi di balik selimut itu.
Disingkapnya dengan hati-hati hingga tampak wajah wanita berambut pendek itu tengah terlelap. Tangan besarnya yang dingin menepuk pipi mulus Tiara perlahan. Tubuh yang sedikit menunduk itu membuat wajah mereka kian tak berjarak kala Tiara membuka kedua matanya.
“M-maaf.” Bima segera menarik tangan dan mengembalikan posisi berdirinya. Sedang Tiara segera bangkit dan duduk menyandarkan tubuh.
“Aku cuma mau bilang terima kasih, sudah menyiapkan sarapan dan membantu membersihkan rumah,” sambung Bima lagi.
“Ternyata enggak ngerjain apa-apa itu ngebosenin, biasa pagi udah ribet di dapur suruh bantuin ibu, sekarang bangun udah terima sarapan,” sahut Tiara.
“Baguslah kalau begitu, berarti kalau aku tinggal seminggu ke luar kota, enggak apa-apa dong?”
“Hah? Ke luar kota? Seminggu? Kamu ninggalin aku di rumah segede ini sendirian?” Tiara ternganga mendengar perkataan Bima.
Ditinggal Bima bekerja seharian saja dia bingung harus berbuat apa, jalan-jalan ke mall menghabiskan waktu pun tak cukup menyenangkan hatinya. Selama ini, meski tak pernah benar-benar akur, setidaknya keberadaan Bima membuatnya merasa memiliki teman bicara.
“Kalau kamu keberatan tinggal sendirian, kamu boleh mengajak ibu sama Dara buat menginap di sini. Atau kamu mau aku menyewa seorang pembantu untuk menemanimu sementara?” usul Bima.
Tiara diam sejenak, untuk usul pertama tentu tak mungkin diterimanya. Ibu yang selalu mementingkan Dara pasti akan mengembalikan cerita lama jika mereka seatap bersama. Berjuta kisah yang dikubur paksa akan kembali menyeruak mengusik dada.
“Pokoknya aku enggak mau ditinggal sendiri!” rajuk Tiara.
Ditinggal sendiri, adalah sebuah kata yang benar-benar dibenci Tiara. Rekam otak kembali menggambarkan ibu yang lebih memilih pergi bersama Dara untuk berkeliling pasar dan meninggalkannya dengan alasan tak ada yang menjaga rumah.
Berkali-kali liburan dilakukan tanpa dia, dengan alasan dia sudah besar dan tak muat jika di sepeda motor harus berempat. Padahal, tubuhnya tak jauh berbeda dengan Dara yang hanya selisih empat tahun dengannya.
Ditinggal sendiri, adalah saat-saat yang membuatnya mulai mencintai sepi daripada riuh, tetapi keberadaannya tak pernah dianggap sama sekali. Ditinggal sendiri, adalah pembelajaran menjadi mandiri secara paksa di saat hangat peluk sang ibu tengah dia cari.
“Iya, kamu mau aku panggil ibu sama Dara, atau nyewa pembantu buat nemenin kamu seminggu?” Suara Bima membuyarkan lamunan Tiara yang tengah menjelajah pada beberapa masa silam.
“Nanti kupikirkan ulang!” Tiara segera turun dari kasur dan membenahi selimut yang tadi dipakainya.
Mendengar jawaban terakhir Tiara, Bima berniat ke luar untuk mempersiapkan apa saja yang akan dibawa. Sambil menunggu-nunggu keputusan apakah yang akan diambil oleh istrinya.
Tiara sendiri hanya termenung, barulah tadi malam merasa dekat, lagi-lagi akan ditinggal sendiri oleh seseorang yang pernah berjanji akan selalu ada.
“Ah! Kenapa sih aku harus berharap pada suami seperti itu. Hah? Suami? No! No! No!” Tiara menggelengkan kepala mengusir kata yang mulai melekat di pikirannya.
Dengan mengendap-endap dia menilik ke luar pintu kamar, berharap Bima tak mendengar kalimat yang baru saja diucapkannya tadi. Bisa-bisa makin pede itu Rahwana Mesum.
“Tenang, aman, aman,” gumamnya lega.
Meski berat pada pilihan kedua, Tiara akhirnya memutuskan lebih baik menyewa pembantu saja. Mereka yang jelas tak dikenal lebih baik berada seatap dengannya, daripada sosok yang sebenarnya dekat, tetapi ketika bersama malah menjadi asing.
Rumah ini lebih baik menjadi sunyi, daripada ramai oleh adik dan ibunya sendiri, tetapi dia hanya penonton yang seakan berada di balik layar mendengar tawa mereka berdua.
Bima melangkah menuju ruang tamu, disusul Tiara yang telah menemukan keputusannya.
“Hei, Rahwana Me ....” Langkah dan ucapan Tiara terhenti tepat di belakang Bima ketika melihat kedua mertuanya ada di sana.
Bima sendiri heran dengan kedatangan papa dan mama yang begitu tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya.
Tiara segera menutup mulutnya, bersyukur karena tak menuntaskan panggilan yang selalu dia sematkan kepada Bima.
“Aduh, pengantin baru maunya berduaan aja di kamar sampai jam segini baru ke luar.” Papa Bima menggoda mereka berdua, membuat pipi Tiara mendadak memerah.
“Apaan sih, Pa. Oh, iya, tumben papa sama mama ke sini pagi-pagi?” Bima segera mengalihkan pembicaraan.
“Nah, daripada kalian mesra-mesraannya di kamar aja, kan bosen tuh ....” Papa Bima menggantungkan kalimatnya.
Sedang Tiara perlahan duduk di sisi sofa tepat berseberangan dengan Bima. Sengaja tak ingin duduk di sampingnya.
“Hm?” Bima menyimak perkataan papanya.
“Papa punya usul. Kalian berdua bulan madu gih! Masa iya pengantin baru di rumah aja? Kasihan Tiara ditinggal kerja mulu sama Bima. Siapa tahu pulang nanti udah bawa kabar gembira kehadiran cucu buat papa sama mama.” Papa Bima kembali menambahkan.
Mama Bima segera menatap Bima bergantian Tiara. Sedang yang ditatap lagi-lagi mengeluarkan jawaban yang secara bersamaan dilontarkan.
“Enggak!” Suara Bima dan Tiara terdengar menyatu karena terucap dalam satu waktu yang sama.
Jantung Tiara mendadak berdisko seakan siap melompat dari tempatnya. Berbulan madu berdua Rahwana mesum sepertinya? Itu adalah mimpi buruk ke sekian setelah takdir memutuskan kebersamaan mereka.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (129)

  • avatar
    FahrizaBayu

    👍🆗

    24/02/2023

      0
  • avatar
    Alfatan

    bagus

    05/08/2022

      0
  • avatar
    JksHendy

    mtap cerita y

    02/08/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด