logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 10 Terseret Kenangan

Masih dengan mengatur degub jantung yang tak beraturan, Bima mengangkat tubuh kecil Tiara. Rasa bersalah karena lupa mengawasi Tiara hingga kejadian ini menimpa, khawatir kehilangan, cemas dengan keadaannya kian berlomba-lomba menelusup dalam dada.
Dibaringkannya tubuh basah itu segera kemudian melakukan pertolongan pertama sebisanya, berkali-kali dipanggilnya sang pemilik nama. Namun, terlalu lama tenggelam sepertinya telah merenggut seluruh kesadaran Tiara.
Bima menunduk dengan niat memberi napas buatan, hingga wajah mereka tak lagi berjarak, mata yang tadi terpejam kembali terbuka.
Tiara yang kaget dengan penampakan wajah Bima tepat di hadapannya segera mendorong sekuat tenaga. "Dasar Rahwana mesum!"
Bima tersentak dengan respon Tiara, khawatir yang tadi sempat meraksasa berubah kesal.
"Harusnya aku yang marah! Kenapa kamu pergi sendirian? Kalau gak bisa berenang ngapain harus main ke tengah air sih! Kenapa enggak manggil aku dulu buat nemenin!" cecar Bima. Dadanya turun naik dengan napas tak beraturan.
"Kan kamu sibuk sama kenalan barumu, ya, aku kepengen juga jalan sendiri!" Tiara membuang muka.
Mendengar jawaban Tiara, Bima terkekeh. "Kamu cemburu?"
"Kamu ngapain nyelamatin aku? Kenapa gak biarin aja aku ilang sendirian? Kenapa kamu gak nikmatin aja dunia kamu di sana!" balas Tiara mengalihkan pandangannya.
Menatap hamparan air laut yang berlomba-lomba mengempaskan ombak di pinggiran pantai membuatnya kembali terkenang pada apa yang seharusnya mampu dia tinggalkan.
Teriakan itu, kembali terngiang di telinga. Gambaran itu, kembali menjelma nyata seperti kaset yang terputar di hadapannya.
Tatap mata kosong itu perlahan memunculkan bulir-bulir air di setiap sudutnya. Menggantung, tertahan dan enggan jatuh begitu saja entah mengapa.
"Apa yang harus kutangisi? Apa yang harus kutakutkan?" gumam Tiara masih tak mengalihkan pandangan.
Bima yang menangkap hal itu segera diam, membiarkan mutiara hatinya mengambil seluruh waktu untuk melepas sesuatu yang mungkin sedang menjerat.
"Perempuan lain selalu mendapat apa yang mereka inginkan. Selalu tahu apa yang harus mereka lakukan. Seperti Dara. Kautahu?" Tiara menatap ke arah Bima, kini kedua matanya kian berkaca-kaca.
"Aku pernah merasa bahagia ketika diajak berlibur bersama. Setelah sekian banyak perjalanan di mana aku selalu ditinggalkan, hari itu kupikir akan menjadi hari yang paling membahagiakan. Pantai adalah tujuan mereka seperti yang Dara inginkan."
Perih air yang tadi berlomba memasuki rongga pernapasan berganti sesak, oksigen yang sempat dihirupnya bebas perlahan tersekat.
"Di pantai, ayah dan ibu selalu meneriakiku untuk tak lepas mengawasi Dara. Sebagai kakak, tentu aku tahu tanggung jawab. Kami berlari bersama, mengumpulkan kerang dan saling menyipratkan air. Tertawa bersama, hal yang jarang sekali aku dapati sejak kehadirannya di dunia. Iya, Dara lebih sering bersama ibu dan ayah, jadilah aku jarang dekat dengannya."
Tangan halus itu mengepal, mata yang tadi berkaca-kaca menampakkan binar bahagia. Sebahagia apa yang pernah dia rasa di hari itu.
"Waktu itu Dara bersikeras ingin berjalan lebih jauh, agar bisa bermain bebas. Aku sudah mengingatkan. Tapi dia seperti kecewa. Air matanya siap meluncur, akhirnya aku mengalah. Dara berlari ke arah air yang lebih dalam. Saat ombak datang turut membawa tubuhnya, aku berusaha menggapai. Namun, bukannya membantu aku malah ikut terseret."
"Kami saling berteriak memanggil ayah dan ibu. Berkali-kali Dara berusaha untuk naik ke permukaan dengan mendorong tubuhku lebih tenggelam ke air. Aku mendengar panggilan ayah, aku merasakan kehadirannya mendekat. Aku pikir ayah akan membawa kami bersamaan, tapi aku salah."
Senyum samar yang sempat terbit, pudar. Mata yang tadi berbinar, telah menjatuhkan bulir-bulir air di kedua pipinya.
Bima tak henti menatap wanita di sebelahnya, meski dapat menebak sebagian cerita yang ingin disampaikan Tiara, dia tetap memilih diam dan menunggu selesai saja.
"Ayah menarik dan mengangkat Dara saja. Aku berlomba dengan air yang terus menarik ke pertengahan. Aku melihat dua tubuh itu kian menghilang dari pandangan. Aku terus berusaha berteriak, memanggil ayah, memintanya menungguku, menjemputku. Namun, semakin aku berteriak semakin banyak air yang memasuki kerongkonganku. Suaraku tak lagi terdengar. Hingga aku benar-benar menyerah untuk bertahan, kubiarkan arus air terus membawa. Sesak, air laut dan luka berlomba-lomba memasuki dada. Semua gelap, dan menghilang dari pandangan mata."
"Aku berharap lebih baik menghilang selamanya, tapi nyatanya. Ketika terbangun kulihat ayah dan ibu yang marah. Mereka bilang aku tak bisa menjaga kepercayaannya untuk melindungi Dara. Mereka terus mencerca, tak peduli pada aku sendiri yang juga hampir kehilangan nyawa."
Tiara menundukkan kepalanya, isak yang tadi ditahan kini pecah. Potongan kenang yang sempat ditenggelamkannya, perlahan kembali menyeruak ke permukaan rasa.
Bima mendekatkan tubuh untuk sekadar meminjamkan bahu. Ditariknya kepala Tiara agar bersandar. Namun, semakin Tiara menyandarkan diri semakin keras pula tangisnya.
Tak kuasa melihat Tiara yang semakin tenggelam dalam tangis, Bima akhirnya menarik Tiara ke dalam pelukan.
Untuk kali pertama, wanita itu membiarkan tubuh mereka tak berjarak. Cengkeraman tangannya terasa semakin mengeras, Bima mengeratkan pelukannya kepada Tiara.
Berjeda-jeda waktu diberi hanya untuk Tiara menyelesaikan tangisnya. Bima hanya diam dan terus mengusap pucuk kepalanya.
Perlahan-lahan, isak Tiara mereda. Basah di sudut matanya mulai berhenti dan mengering begitu saja. Namun, tragedi tenggelam dan kenangan yang singgah seakan menyedot seluruh tenaganya.
Saat hendak bangkit dan berdiri tubuh itu kembali limbung ke pasir.
Bima segera mengangkat dan menggendongnya. Meski terus memberontak dan menolak, langkah kaki tak jua dihentikannya. Kedua kaki itu tetap lurus menuju pulang.
Hingga malam, Tiara yang hanya terbaring di kasur demam. Meski kedua matanya terlelap, berkali-kali dia mengigau dan meracau sendiri.
"Ayah ... tolongin Tiara, Yah!"
"Ayah ... Tiara di sini," igaunya.
Peluh membasahi kepalanya, suhu tubuhnya semakin meningkat. Berkali-kali Bima mengganti air hangat untuk mengompres.
****
Bulan madu yang seharusnya dihabiskan untuk bersenang-senang berubah menjadi tragedi. Mungkin air laut yang kemarin menyeret Tiara tak sedalam luka yang selalu berusaha ditutupinya.
Kala luka demi luka yang kembali terbuka dan memunculkan kenangan. Tiara semakin lemah baik kondisi fisik maupun psikisnya.
Dengan telaten Bima merawatnya, bahkan rela terjaga agar saat Tiara dilanda mimpi buruk dia bisa segera membangunkannya. Setiap pagi, siang dan malam tak lepas perhatian Bima kepada Tiara.
Rasa bersalah dan khawatir karena kejadian tenggelamnya Tiara, membuat Bima ingin terus berada di sisinya.
Bahu kokohnya selalu tersedia kala Tiara butuh tempat bersandar. Kedua telinganya selalu siap mendengar cerita demi cerita yang ingin dibebaskan mutiara hatinya.
Begitu pun kedua tangan besarnya, selalu siap menyeka air yang jatuh dari sudut mata Tiara.
"Sudah kubilang jangan hapus air mataku, hal itu hanya membuatnya semakin manja. Aku sudah terbiasa mengabaikan tangis hingga mereda dan mengering dengan sendirinya," sergah Tiara kala tangan Bima mendekat.
Namun, Bima sama sekali tak menghiraukan. Entah mengapa sekarang perih turut menyiksa setiap melihat tangis Tiara.
Perhatian demi perhatian yang diberikan dengan penuh ketulusan, ternyata mampu menyentuh sedikit hati Tiara.
Peluk hangat yang dahulu selalu dicarinya, kini sudah didapati bahkan selalu siap kapan saja jika diperlukannya. Perhatian yang selama ini diharapkan, pun telah didapatinya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (129)

  • avatar
    FahrizaBayu

    👍🆗

    24/02/2023

      0
  • avatar
    Alfatan

    bagus

    05/08/2022

      0
  • avatar
    JksHendy

    mtap cerita y

    02/08/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด