logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 29 Resmi Pacaran

Selepas subuh di mesjid besar, perjalanan kembali dilanjutkan. Jam sebelas lewat sepuluh menit, bis yang kami tumpangi sudah berhenti di area pantai barat Pangandaran.
Karena booking hotel dadakan, jadinya kami menempati dua hotel yang berbeda, tapi masih berdampingan.
"Kamu itu mau mantai tapi bak bawa baju ganti." seloroh Bang Malik saat memasuki kamar hotel.
"Suami aku kaya, tinggal beli aja." tukasku sembari menjatuhkan badan di atas kasur bigsize dengan sprei putih.
Hotel Aquarium namanya, dengan desain yang modern minimalis. Sepertinya betah juga kalau berlama-lama disini. Dari balik jendela nampak kolam renang di belakang hotel.
"Nih tas kita, Abang cuman bawa daleman kamu sama satu stel gamis." Bang Malik menyodorkan totebag miliku. Lantas aku buka untuk mengecek isinya.
"Ih Abang, ini celana siapa?" tanganku mencapit celana dalam yang aneh bentuknya.
"Ya celana dalam suami kamu lah." Aku memasukkan kembali segitiga pengaman pria yang bentuknya ngeri-ngeri sedep. Hiyyy, kok aku malah ....
"Jangan dibayangin isinya, liat aja langsung."
"Jorok ih."
"Nanti malah ketagihan."
"Gak bakalan."
"Gak bakalan nolak."
"Abbaaang ...." Aku melemparkan segitiga pengaman yang tadi sudah kumasukan dalam tas.
"Sayang, jangan dilempar-lempar ... pamali. Nanti itunya jadi atit hehe ...." Bang Malik meraih celana dalamnya dan segera memasukannya dalam tas.
Sekitar enam jam di perjalanan membuat pinggang terasa kaku. Akhirnya aku membaringkan tubuh telentang di atas kasur. Semua wilayah aku kuasai, guling kesana guling kesini. Karena di ranjang sendiri harus menjaga keaktifan tubuh. Kalau engga kepala atau pantat bakal mendarat dengan tidak indah di lantai.
Sembari menunggu waktu dhuhur dan makan siang, mata kembali kupejamkan. Lelah menangis kemarin ternyata berefek pada kelopak mata yang selalu berat untuk dibuka.
Mungkin yang lain pun sama sedang istirahat pula, karena hape tak bersuara sedikitpun. Tapi, kemana perginya teman sekamarku?
Sekitar satu jam aku terlelap terbuai dengan empuk dan lembutnya kasur hotel. Namun, tepukan lembut di kaki menyadarkanku yang belum sepenuhnya pulih.
Aku kembali sempat kaget saat lagi-lagi seorang lelaki berada sekamar denganku. Lupa kalo sudah bersuamikan dia.
"Solat dulu."
"Abang duluan."
"Berjamaah."
"Aku belum mandi."
"Abang juga belum, mandi bareng yuk. Biar hemat."
"Bukan muh--"
"Sudah muhrim, halal ... yuk nyicil."
"Emang KPR." Aku segera beranjak ke kamar mandi.
Dengan kekuatan super sebelum negara api menyerang, aku menggosok gigi pakai odol, mandi pakai sabun, dan keramas pakai sampo. Yang kesemuanya alat mandi yang disediakan oleh hotel. Hehe.
Setelah selesai bilas membilas, aku mencari handuk yang juga biasanya disediakan oleh hotel. Namun, setelah kedua mata menyisir seisi kamar mandi, handuk yang kebanyakan berwarna putih itu tak juga kutemukan.
Masa aku harus memakai baju piyama lagi. Dalam keadaan basah pula.
"Bang." Aku membuka sedikit pintu kamar mandi.
"Ya."
"Bang."
"Apa?"
"Boleh minta tolong?"
"Enggak."
"Ih, Abaaang ... aku kedinginan."
"Butuh kehangatan?" Suaranya terdengar mengolok-ngolok pasti lagi cengengesan.
"Bang, aku serius. Aku bisa mati kedinginan inih."
"Jadi Abang harus masuk?"
"Bukan, ambilin handuk."
"Okeh."
"Baju juga."
"Okeh."
"Sama daleman juga."
"Okeh."
"Makasih." Aku segera menutup pintu setelah benda-benda yang kuperlukan ada di tangan.
"Yang, perlu aku bantu pake baju?" tawar Bang Malik yang ternyata masih di depan pintu kamar mandi.
"Gosah."
"Yaudah, cepet ya. Abang udah gak tahan."
"Dasar mesum."
"Beneran, Yang ... udah gak tahan inih ... gak tahan pengin kentut. Males kudu wudhu lagi ... dasar kamu saja yang otak mesum haha ...."
Badan kukeringkan dengan segera. Dan lekas mengenakan dalaman juga baju yang ... lho ini bukan bajuku. Baju siapa ini?
"Bang." Lagi-lagi aku berteriak memanggilnya.
"Ada yang kurang?"
"Ini baju siapa?"
"Ya baju kamu, masa baju Abang."
"Tapi, aku gak punya baju kayak gini."
"Tadi Abang beli di bawah. Gak apa-apa kan pake setelan celana gitu?"
"Ya gak apa-apa sih selama gak ketat."
"Itu kulotnya longgar. Sengaja Abang pilihin satu stel sama bajunya."
"Okeh." Setelah mengenakan baju pantai dengan model stelan kulot akhirnya aku lekas keluar.
Solat berjamaah pertama dengan imamku dilaksanakan. Selepas sujud terakhir, aku kembali meneteskan air mata haru. Mungkin aku sudah saatnya menerima ketentuan Tuhan.
Aku mengaminkan do'a yang dipinta oleh imamku. Entah do'a apa yang dipintanya pada Sang Pencipta. Tapi, aku yakin segala do'a yang dia ucapkan, adalah do'a terbaik untuk kami.
Seharusnya bukan dia yang sekarang mengimamiku. Ah sudahlah ... jangan diingat-ingat lagi. Mengingatnya malah semakin membuat sesak. Sementara aku harus melanjutkan hidup dan cita-cita.
Bang Malik berbalik menghadapku. Menyodorkan tangan kanannya agar aku menciumnya dengan takdim. Sekilas kucium punggung tangannya dan kemudian tangannya lekas beralih memegang kepalaku. Do'a pengantin baru diucapkannya dengan suara lirih.
Aku kini seorang istri.
"Jadilah pendamping hidup Abang di dunia dan akhirat." Reflek aku menganggukan kepala. Pasti karena sudah dihipnotis ya kan.
"Bang."
"Hmm."
"Aku laper."
"Sama, Sayang. Abang juga laper, pengin makan kamu."
"Mulai deh." Abangpun tergelak.
Sebelum keluar, aku mematut diri di depan cermin. Putar ke kiri putar ke kana melihat baju baru pertama yang dibelikan suami.
"Sudah cantik."
"Takutnya pas di badan."
"Enggak, kulotnya longgar dan panjang, kamu bisa lapis lagi pake kaos kaki. Tuniknya juga gedombrong gitu, panjang sebetis lagi."
"Iya, aku suka."
"Yaudah, yuk."
"Bentar aku moles pipi dulu biar glowing." Aku mengusapkan krim wajah dan sunscreen. Sinar ultraviolet di kawasan pantai jahat-jahat kayak si dia yang suka PHP. "Untung Abang bawain alat tempur aku." ucapku ketika mengoleskan lipkrim dusty pink."
"Karena Abang suami siaga."
Sepertinya wajahku sudah tidak memalukan lagi untuk diajak jalan. Okey, langsung cus makan siang. Selama di perjalan dari keluar kamar hotel sampai di lobi, tangan Abang terus menggenggamku.
Apalagi saat di dalam lif tadi, tangan kekarnya selalu mendekapku dengan erat.
Akhirnya, kita sampai di restoran hotel. Semua mata menatap ke arah kami dengan saling berhaha hihi. Iya deh, aku tahu kalian sirik.
Setelah mengantri prasmanan dengan menu sapi lada hitam, capcay, juga beberpa hidangan yang lain. Aku duduk di kursi dekat Umi yang masih kosong. Begitupun juga dengan Bang Malik, mengekori kemana aku pergi.
"Kayaknya ada yang mulai tumbuh tapi bukan pohon nih." celetuk adik bungsu Bang Malik.
"Ada yang bersemi tapi bukan bunga." timpal Riska.
"Ada yang lengket tapi bukan lem." Oke, yang lain ikut saling mengompori.
"Kayaknya Umi bakal cepet gendong cucu nih."
"Yakin deh, nanti cucu Umi namanya PANGANDARIA."
"Kenapa?"
"Karena dibikin di Pangandaran ... haha."
"Belum kali ... tuh jalannya masih normal-normal aja."
"Ya kita liat besok, kalo jalannya ngesot berarti udah nabung dia."
"Udah jangan digodain terus ... ayo makan dulu, nanti jam empat kita liat sunset sambil bikin api unggun." Ayah akhirnya menghentikan candaan keponakan-keponakannya. Tumben Ayah bijak.
"Bang, kalo mau tempur bilang sama Ayah, nanti ayah ajarin berbagai macam gaya ... juga suplemen penambah durasi ... haha." Baru saja dipuji, ternyata Ayah malah makin sengklek. Persis anak sulungnya.
"Oke." Abang mengacungkan ibu jari. Menyetujui saran dari Ayahnya.
Setelah semua orang selesai menghabiskan makan siang di piringnya masing-masing. Tiba-tiba Abang berdiri meminta perhatian dari saudara-saudaranya.
"Oke, mohon jangan dulu keluar dari meja ya ... Abang mau mengumumkan hal penting. Abang mau kalian semua jadi saksi juga minta dukungan biar apa yang Abang inginkan bisa didapatkan." Bang Malik berdiri di sampingku.
Pria berkaos degradasi warna putih, biru, dan oranye itu berdiri di sampingku. Dan aku baru menyadari kalau kostum kita ternyata senada.
"Jadi gini ... ehm ... Abang mau nembak cewek yang super jutek. Jadi Abang minta dukungan supaya tuh cewek luluh hatinya dan bisa menerima Abang."
"Huuuuu ... sudah beristri malah mau pacaran lagi." Kali ini adik kedua Bang Malik yang bersuara.
"Ah, udah ketebak siapa ceweknya kalo klue-nya ada kata jutek gitu."
"Hehe ... iya, Abang mau kamu jadi pacar halal Abang ... kamu terima enggak?" tawar Bang Malik padaku.
"Huuuu ...."
"Terima ... terima ... terima ...." Tepukan tangan semakin menambah riuh suasana. Kok ya aku ngerasa jadi abege gitu.
"Terima aja Teh Olan, kesian nanti bunuh diri."
"Entar ada yang nikung nyesel."
"Terima aja, udah mapan, kaya, ganteng, juga berpengalaman."
"Berpengalaman apa sih lo?"
"Berpengalaman bikin adonan."
"Anjiw ...."
"Gimana? Harus diterima lho ini, nanggung ... nolakpun tetep maksa."
"Kalo gak diterima kita semua pulang duluan ya, langsung bubar." ancam Riska. Lho lho apa-apaan ini.
"Jadi, gimana? Abang diterima jadi pacar kamu kan, Yang?" tanya Bang Malik lagi.
"Ciye ... ciye yang udah ayang-ayangan."
"Huuuu ...."
Dengan berat hati aku menganggukan kepala. Senyum dibibir terbit dengan terpaksa. Bang Malik malah memelukku dengan erat. Sampai-sampai dadaku sesak.
"Abang, engap."
"Jadi, kita resmi pacaran?"
"Iya."
"Huuu ...."
#ciye...ciye...yang baru jadian...
besok besok aku nembak kamu...iya itu kamu yang senyum2 sambil like cerita aku...

หนังสือแสดงความคิดเห็น (50)

  • avatar
    AndreasJhon

    bagus

    16/08

      0
  • avatar
    Ramadhanzaki

    yabgus

    08/07

      0
  • avatar
    AurelEnjel

    wow

    27/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด