logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

3. Hanya Ada Kebencian

Robin view:
Aku semakin mendekatinya. Ini yang kusuka! Dia selalu menunjukkan ekspresi takut, gemetar, sesak nafas dan wajahnya pun pucat setiap kali melihatku.
"Gimana pukulanku tadi?" bisikku pelan. Dia semakin gemetar. Aku menyunggingkan senyum sinis dan berlalu di depannya ketika kulihat adiknya menatap tajam ke arahku.
Titan, namanya bagus! Tapi tidak sebagus orangnya. Aku benci sekali sama dia. Dari SD dulu lagi. Dia sosok lemah, lembut, dan gampang sekali menangis. Paling sering aku kerjain dengan teman-teman di sekolah. Dan herannya aku, dia tidak pernah membalas apapun yang pernah aku lakukan padanya. Sedemikian besarkah rasa takutnya kepadaku?
Tadi sungguh aku nekat sekali membokongnya dan kabur. Kebencianku tiba-tiba saja selalu tersulut setiap kali melihatnya. Tidak bisa kubayangkan seandainya Pak Andi mengejar dan menangkapku. Atau Remon mengejarku. Namun mereka tetap orang-orang yang sangat aneh. Membiarkan apa yang terjadi sama Titan. Huhh, ga seru!!!
Salatku sudah tidak khusuk lagi. Mataku selalu tertuju ke sosoknya yang berdiri tepat di depanku. Aku yakin dia juga tidak tenang. Karena kulihat wajahnya selalu dia usap. Ketika akan sujud, aku sundul pantatnya dengan kepalaku membuatnya terdorong ke depan dan mengaduh, aku terkikik menahan tawa. Begitu terus kukerjain dia sampai empat rakaat berlalu. Sungguh keterlaluan sebenarnya, di saat orang salat aku malah menjahilinya. Tapi aku puas.
Selesai salat anak-anak sebayaku berdesak-desakan keluar dari Masjid dan menuju surau di samping buat mengaji. Termasuk Remon dan Titan. Aku memepet ke sisi Titan sambil melototkan mataku ke padanya. Dia terlihat gugup. Aku menggencet tubuhnya ke pintu.
"Hoiiii, antri donkk!!! Main gencet aja!" Sewotku ke arahnya. Dia mundur ke belakang. Kusunggingkan senyum sinis. Huaahhhhh, kenapa aku begitu menikmati membulinya. Wajah pucatnya itu, lucu!
"Kamu yang antri, bodoh!" Tiba-tiba tubuhku terdorong ke depan. Kubalikkan badan,
"Berani mendorongku? Mau kuhajar?" Aku marah. Selalu saja merusak kesenanganku. Kadang kurasa si Remon itu seperti anjing pengawalnya saja.
"Anjing! Jangan kamu kira aku ga' tahu! Kamu kan yang memukul Uda Titan tadi! Dia salah apa, ha?"
Perang. Diawali perang mulut hampir terjadi baku hantam kalau saja tubuhku tidak segera ditarik oleh orang-orang yang ada di sana.
"Dasar anak-anak setan!!!" Suara itu menggelegar di dekat kami. Pak Kiai, yang tadi menjadi Imam salat sekaligus guru ngaji kami langsung menyidang kami begitu berada di dalam surau.
"Kamu Robin, dan kamu Remon! Untuk apa salat kalau selalu bertengkar. Apa yang kalian dapatkan? Mau jadi preman? Ayo, berantam diluar! Biar kami tonton!" Mata Pak Kiai menyorotkan kemarahan.
"Ini rumah ibadah, tempat dimana semua sikap dan tingkah laku harus dijaga!"
"Tapi Pak, dia yang mulai duluan! Dia terus saja mengganggu Uda Titan! Salah Uda ke dia apa?" Remon berusaha membela diri.
"Aku hanya berurusan dengan Titan, kenapa kamu yang ikut campur?"Aku juga tidak mau disalahkan.
"Dia Udaku brengsek! Dan tidak ada seorangpun yang boleh nyakitin dia!" Remon hendak memukulku lagi kalau tidak ditarik badannya oleh Pak Kiai.
"Diammm!!! Diammm semuanya! Kalian berdua harus dihukum. Kamu Remon, berdiri di sudut kanan sana! Diam dan jangan bersuara! Dan kamu Robin, disudut kiri, menghadap tembok! Selama orang mengaji kalian tidak berhak untuk bersuara!"
Hffff ... aku paling benci dihukum begini. Menghadap tembok selama dua jam. Tidak boleh bergerak dan bersuara. Kenapa jadi ribet begini, sih? Aku-kan cuma mau main-main. Si Remon saja yang terlalu serius. Sementara si Titan bisanya cuma nangis. Selama Pak Kiai menceramahi kami, dia cuma menunduk terisak-isak.
"Titan!"Ku dengar suara pak Kiai, "Sudah, jangan menangis! Kamu laki-laki, harus kuat!"
"Hfff, lelaki setengah jadi! Bencong!" Teriakku kesal. Kata-kataku membuat anak-anak lainnya tertawa.
"Diam kamu, Robin! Atau keluar dari surau ini, biar nanti ayahmu yang memberimu pelajaran!" Begitu mendengar kata-kata Pak Kiai, aku terdiam. Ayah! Lelaki kedua yang aku benci.
"Rasain kau!" Teriak Remon dengan wajah sengaknya.
"Kamu juga Remon! Diam dan menghadap ke tembok!" Aku terkekeh, sok belagu tuh anak!
Waktu berjalan terasa lambat sekali. Aku menatap Remon yang juga balas menatapku. Dia terlihat sangat marah. Sementara Pak Kiai sudah mulai menyimak hafalan Al-Qur'an anak-anak lainnya. Bagiku ke surau hanya untuk sekedar main-main. Dari pada di rumah, selalu kena marah Ayah. Apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Membuatku muak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan main-main di rumah teman-temanku.
"Baiklah anak-anak, sekian dulu pengajian hari ini. Besok kita akan belajar hikmah. Bapak harap kalian tidak telat. Dan tidak ada lagi yang berantem. Remon, Robin, silahkan bergabung dengan teman-teman kalian. Sebelum pertemuan ini berakhir, sejenak kita berdo'a kepada Allah, agar selalu diberkahi dan diberikan kemudahan!"
Akhirnya, saat-saat yang aku tunggu datang juga. Aku masih belum puas. Aku harus memberi pelajaran kepada si Remon. Satu-satunya cara dengan menyakiti si Titan. Hehehe...!
Pukul setengah sebelas, kami sudah keluar dari Surau. Suasana gelap, karena listrik belum seutuhnya masuk ke kampungku. Rumah Titan tidak di dalam kampung, tapi agak terpencil di dekat bukit. Aku tidak tahu kenapa mereka seolah-olah terasing dari perkampungan. Untuk mencapai ke rumahnya melewati perkebunan cengkeh dan pala. Di kebun itulah aku akan menghajar kakak beradik itu. Aku telah mengumpulkan teman-temanku. Riki, Teguh dan Hadi. Kami adalah kumpulan berandalan kecil di kampung ini. Tindakan kami ga' ada bagus-bagusnya. Tukang palak, tukang ngerjain orang dan suka berbuat onar.
"Guh, kita harus cepat sampai di kebun itu! Kamu sudah siapkan perlengkapannya- kan?" Aku tersenyum licik.
"Sudah! Tenang saja! Tapi kamu yakin, Ayahnya ga' bersama mereka?"
"Ga'! Aku rasa dia sudah pulang duluan. Ayok buruan!" Kami berjalan menuju perkebunan yang sunyi senyap, gelap.
"Ayo pake!" Teguh memberikan sebuah buntalan berisi baju besar dan berwarna putih. Wig panjang dan tepung. Aku akan menyamar jadi kuntilanak. Hahaha, bisa kubayangkan, ketakutan kedua anak itu. Hahaha!!!
"Riki, Hadi! Kalian kasih kode dengan suitan begitu mereka muncul! Ayok Guh! Kita sembunyi dibalik pohon kelapa itu!"
Ada dua batang pohon kelapa yang seolah-olah menjadi gerbang di jalan setapak itu. Aku di pohon kelapa sebelah kiri dan Teguh di sebelah kanan.
Kami menunggu dengan deg-degan. Karena kami sebenarnya juga takut di sini. Kebun ini bersebelahan dengan kuburan. Bagaimana kalau hantu sebenarnya yang muncul? Hiiii... Membayangkan itu membuatku gugup.
"Suiiiiittttt!" Suitan keras bergema di tempat itu. Tanda dari Riki. Aku melihat dua sosok remaja tanggung itu berjalan dengan pelan. Remon kulihat asyik bersiul-siul. Aku menunggu dengan nafas tertahan. Deg-degan semakin menjadi-jadi. Mereka semakin dekat, dekat dan semakin dekat. Di saat itulah, aku tertawa menirukan ringkikan kuntilanak. Panjang dan bergema. Kedua anak itu tertegun dan terhenti langkahnya. Remon merapatkan tubuhnya ke Titan. Mereka saling berpegangan tangan. Tawaku disambung oleh Teguh yang tak kalah menyeramkan. Mereka berjalan pelan. Bisa kudengar mereka mengucapkan istighfar dan bersyahadat berkali-kali.
Dalam hati, aku sudah tidak bisa menahan tawa. Perlahan-lahan kami melangkah keluar dari pohon kelapa. Kedua anak itu makin menggigil. Tanpa dikomando mereka berlari secepat yang mereka bisa. Bahkan keduanya sempat terjatuh, tidak bisa mengendalikan diri.
Aku dan Teguh terpingkal-pingkal melihat Remon dan Titan jatuh bergulingan karena jalan menurun.
"Anjingggggg!!!"Terdengar teriakan Remon disertai sebuah batu yang melesat dan mampir di kepalaku. Sakitnya bukan main, sesaat aku pusing dan terduduk di tanah. Ke dua anak itu tidak memperdulikanku, mereka meninggalkaku dan Teguh begitu saja.
"Rob, kamu kenapa?" Riki dan Hadi segera memburuku dan mereka menunjukkan ekspresi ngeri melihat darah mengalir dari kepalaku.
"Siapa yang melakukan ini?"
"Si Remon! Udah, kita pulang!" Aku dengan meringis melucuti pakaianku. Rasanya berdenyut-denyut. Hufff, gagal total!
"Besok kita cari cara lagi buat ngerjain mereka!" ujar Teguh sambil mencoba merangkul pinggangku dan membantuku berdiri.
"Aku semakin benci sama kedua orang itu!" Rutukku kesal.
Malam itu, sesampai di rumah lagi-lagi Ayah menambah kesal dihatiku.
Dia begitu senang melihat kepalaku berdarah.
"Hmmm, gitu donk! Kamu tu laki-laki! Harus berdarah-darah! Jangan jadi banci!" Di tangannya sudah ada sebilah rotan. Seperti biasa, malam ini, rotan itu akan mendarat di pantatku.
"Anak kurang ajar! Kerja kamu selalu saja berantem dan berantem!" Semenit yang lalu dia memujiku. Sekarang berubah lagi. Siapapun di kampung ini, tahu kalau ayah sakit jiwa. Dan semua orang juga tahu, tidak ada yang peduli ketika ayah menyiksaku.
Kubiarkan rasa perih itu menjalar di setiap persendian tubuhku. Berkali-kali, sampai aku merasa kebas. Dan seperti malam-malam sebelumnya, ayah akan memburu tubuhku yang tidak berdaya, memeluk dan menangisi ketidakberdayaanku.
"Ayah gila!" bisikku lemah, dan aku tertidur dalam pelukannya. Batinku letih.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (34)

  • avatar
    Bin KamaludinKhairunnaim

    kon

    01/03

      0
  • avatar
    Arjuna Anji

    very good

    04/04/2023

      0
  • avatar
    Melsya Tresnane Widodo

    seru ceritanya

    18/02/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด