logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab Sembilan

Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.
Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.
Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.
Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.
Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!
Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-benar mahir hanya untuk kali ini saja.
Sikap menahan sebelum anak panahnya melesat, sempat terlihat olehku dan itu cukup bagus, ya bagus.
Oh!
Aku merasakan angin cepat melesat melewati wajahku, meninggalkan suara dengung di telingaku. Saat aku sadar bahwa Rhys sudah melepas anak panahnya, aku mengambil apel di tanganku yang pasti tidak menjadi target anak panah Rhys. Dari awal, memang bukan si apel matang targetnya, tapi aku.
Aku menoleh dan melihat anak panah menancap di pohon besar di belakang tubuhku. Merasakan perih kemudian, aku terluka, walau hanya goresan. Anak panah Rhys mengenai sedikit pipi kananku sebelum akhirnya menusuk tubuh besar si pohon.
Rhys berjalan mendekatiku, aku bergegas melangkah ke arah lain. Aku tidak akan suka dia melihat luka di wajahku diiringi seringaian penuh kepuasan darinya. Walau dia gagal melukaiku lebih parah dari ini.
“Mau ke mana?” Dia menghadangku. Tepat sekali langkahnya melakukan itu.
Busur masih digenggam oleh salah satu tangannya. Dia menghina walau hanya melalui pandangan kedua matanya.
“Aku butuh air untuk mencuci wajahku.” Aku menghindari pipi kananku terlihat ke arahnya.
“Wajahmu terluka. Ikut aku untuk membersihkannya,” kata Rhys datar.
Wujud rasa tanggung jawab? Oh, itu lucu sekali, Kakak!
“Aku bisa melakukannya sendiri,” bantahku. Kupikir, karena sedang menahan emosi, aku bisa sedikit melawannya.
“Oh, ya?” Rhys tertawa. “Itu berarti kau bisa melindungi dirimu sendiri dari hukuman Ayah dan Ibu?”
Aku mengepalkan kedua tanganku di samping tubuh. “Kau sedang mempermainkanku?”
“Bisa ya, bisa juga tidak.”
Aku mendesah lelah, dia benar-benar iblis!
“ZeeZee dengar, kau memiliki dua hutang padaku.” Rhys mencari tatapanku dan dia menemukan arah pandangku. “Kau menggagalkan tugas pertama yang kuberikan, mengacaukan semuanya, dan ...” Rhys menatapku lekat, dengan mata ularnya, dia tersenyum licik, “jika aku melepasmu sekarang, itu berarti kau akan mengikuti semua rutinitas awalmu, diperintah Ayah dan Ibu, serta kelima saudara laki-lakimu yang lain. Apa kau senang menerima hukuman aneh itu lagi dan lagi?” 
Aku membalas tatapannya, sambil menahan perih yang semakin terasa di pipiku. Kurasa sekarang darahnya sedang mengalir perlahan.
“Aku bisa menghindari hukuman mereka dengan bersikap patuh. Aku hanya perlu bersikap manis selama sarapan dan tidak membantah lagi apapun keinginan Ayah dan Ibu.” Kembali aku berusaha melawan, dan aku tahu, aku sudah kalah dari Rhys. Terlalu berani juga berisik, kurasa dia tidak akan suka pada perlawananku.
“Kesepakatan yang tadi kau bicarakan denganku di mobil, sudah kau lepaskan begitu saja? Kau lupa aku orang yang seperti apa?” Rhys melempar busurnya ke tanah, lalu melipat kedua tangan dengan amarah yang sedang dia tahan. Aku tahu itu.
“Kau yang sedang mempermainkanku, bukan? Aku tetap bisa menghukummu meski kau tidak membutuhkan perlindunganku. Lalu apa kau siap menerima tekanan dan hukuman dari dua pihak? Jangan konyol, dan pikirkan!”
Ingin rasanya aku menembak wajah liciknya sekarang. Bahkan aku bisa melihat bagaimana ular besar dan berbisa, berdiri di belakangnya. Seolah Rhys lah perwujudan manusia dari sang ular. Dan dia bicara lebih banyak daripada seharusnya, sedikit mengejutkan.
“Biarkan aku pergi, Rhys,” kataku pelan.
“Tidak. Sampai kau memberiku jawaban. Jadi cepat pikirkan!” Dia membentakku.
“Kenapa kau tidak kembali menjadi Rhys yang tidak peduli padaku, jarang menatapku, bahkan berpapasan denganku? Kenapa? Kembalilah menjadi seseorang seperti itu! Bahkan aku tahu kau bukan sedang memberiku tugas, tapi mengujiku!” Aku berteriak, sungguh, aku tidak sadar pada apa yang kukatakan, semua lancar terucap mungkin karena aku diselimuti emosi, tentu saja.
“Kau tidak berhak mengatur-ngatur apa yang harus kulakukan, ZeeZee.” Dia tetap santai, meski kemarahannya masih bisa dia tahan di depanku, mungkin. Karena kurasa, sepertinya, dia akan mencekikku sekarang.
Oh, bukan! Dia sedang meraih wajahku. Mengamatinya dari dekat.
“Jangan bertingkah yang bisa membuatku sakit kepala, ZeeZee. Aku berusaha untuk lebih memperhatikanmu sebagai Kakak tertua di keluarga kita.” Dia mengusap pipiku, perih, dan bisa kulihat itu darah.
Aku hampir kehilangan napas saat dia bicara dan menempatkan wajahnya begitu dekat denganku. Kengerian yang kurasakan, jelas kudapatkan dari suara beratnya.
Rhys menarikku dengan kasar, meski dia tahu aku tidak akan melawan, tetap saja dia melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Suara pintu dibanting setelah kami masuk juga tidak membuatku terkejut, tapi seorang gadis mungkin berusia awal dua puluhan, terperanjat saat dia sedang mengupas melon di meja dapur.
Rhys tidak meliriknya walau sekilas, dia terus berjalan denganku yang seperti ikut secara sukarela, walaupun tanganku ditarik kuat. Pandangan gadis itu beralih padaku, dia tidak mengangguk hormat, apalagi tersenyum amat sangat ramah seperti Lucas. Raut wajahnya tegang dan mengernyit.
Jadi aku membuang pandanganku darinya dengan sinis. Itu tanda agar dia paham, derajat kami tidak sama.
Aku dan Rhys tiba di sebuah ruangan, lebih tepatnya kamar berisi obat-obatan lengkap dengan ranjang pasien dan meja Dokter. Yah, kupikir tidak akan ada Dokter di sini. Sebagai gantinya, manusia di depanku inilah yang akan duduk di sana.
“Tunggu sebentar.” Rhys mengeluarkan obat, kapas, dan entah apalagi. Dia membelakangiku, menghadap sebuah lemari sehingga tidak begitu jelas terlihat olehku apa saja yang dia ambil.
Tidak ada kursi selain ranjang pasien dan kursi di balik meja. Jadi aku duduk di tepi ranjang berseprei putih, memang sepertinya dibuat sengaja agar sama dengan ranjang Rumah Sakit.
“Kemarilah,” panggil Rhys, dia menunggu di depan wastafel, di sudut ruangan.
Saat mulai berjalan mendekat, aku melihat pantulan wajahku di cermin. Benar-benar goresan yang cukup lebar dan pasti akan menimbulkan bekas.
Aku mematung sebentar di depan cermin, sampai Rhys menyalakan keran airnya untukku.
“Cuci kedua tanganmu dulu sampai bersih,” perintahnya. Dia mendorong sebotol sabun cair ke arahku, “wajahmu setelahnya. Dan ini sabun untuk wajahmu.” Rhys kembali menempatkan sabun khusus wajah di pinggir wastafel.
Aku tidak terkejut mengenai hal ini. Rhys memang asing bagiku sebelumnya, tapi rumor tentangnya tentu tumbuh subur dikalangan anggota keluargaku.
Dia pecinta kesempurnaan. Siapapun sepertinya tahu akan hal itu.
Ketika selesai, aku bersiap menepuk wajah dan lukaku menggunakan tangan, tapi Rhys mencegahnya, dia memegangi kedua lenganku.
“Jangan sentuh sembarangan. Biarkan seperti ini. Aku yang akan melakukannya.”
Bersambung.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (172)

  • avatar
    Maria Ratu Rosari

    emejing

    14/05/2023

      0
  • avatar
    KhaerunnisaChindar

    Nicee iloveeee yuuuu❤️❤️❤️

    02/02/2023

      0
  • avatar
    PradyaDiva

    bagus banget ceritanya

    28/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด