logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab Tujuh Belas

“Mansion. Berikan mansion The Mayor peninggalan Kakekmu itu padaku.” Hugo bicara tanpa ekspresi pada Giotto. Hugo serius dengan persyaratan yang diajukannya. Aku yakin akan hal itu.
Jelas, aku tahu, inilah alasan terbesar Hugo ingin aku membantunya. Pekerjaan kasar yang terkesan halus dan ringan itu, diberikan padaku. Sisanya, tentu saja, dia mendapatkan apa yang diinginkannya dari peran serta tugasku sebagai penentu.
Aku tidak mengacau kali ini, itu hebat! Tapi risiko di depan mata sangat mengerikan. Ketika aku sadar, pandangan Rhys tidak pernah lagi sama padaku. Bahkan dia, tidak menatapku lagi sejak pertanyaan terakhirnya padaku tadi.
“A-apa?” Giotto tergagap. Tentu saja, The Mayor menjadi mansion pertama termegah dan mewah di Yellowrin, melebihi rumah ini.
Sejak awal, aku tahu The Mayor milik keluarga Armstrong generasi pertama, Philip Armstrong. Tapi tidak pernah tahu bahwa mansion itu diwariskan pada Cucu bodohnya, Giotto.
Bahkan aku merasa kasihan pada Philip yang sudah terbaring di peti matinya baru-baru ini, bahwa Cucu bungsunya, sama sekali tidak kompeten.
Antara bodoh dan polos, memang nyaris tidak ada bedanya!
“Apa perlu kuulangi?” Hugo beranjak dari kursinya, berjalan pelan mengitari meja makan, tiba tepat di samping Giotto yang bergetar.
“Begini ... aku tidak bisa menyerahkan begitu saja The Mayor kepada orang lain—”
“Itu urusanmu. Tidak masalah bagiku untuk membantu penggemarmu itu bangkit dari keterpurukannya, lalu sedikit memberi dukungan agar dia membalaskan dendamnya padamu dengan cepat dan tepat mengenai sasaran, Gio.” Hugo melingkarkan satu tangannya di pundaknya Giotto, merangkul kehidupan dan coba menjeratnya dengan kematian. Usaha yang hebat dari salah satu Kakakku yang gila.
Giotto tertunduk, Hugo bahkan terlihat menekan kedua pundak pria gemetar itu, agar kembali duduk di kursinya.
Hugo membungkuk, seperti berbisik dengan suara keras. “Aku hanya ingin mendengar jawaban yang menarik darimu sampai batas waktu, besok sore. Ingat itu, Giotto.” Hugo meliriknya sekilas, menepuk-nepuk salah satu pundak Giotto, dan tersenyum penuh kemenangan tanpa akhir.
Hugo akan segera mendapatkan The Mayor. Dan Adorjan mungkin akan mulai mendekati Hugo untuk membujuknya berbagi mansion itu bersama.
Aku menatap Rhys yang tampak tidak peduli. Dia hanya memutar-mutar jari telunjuknya membentuk lingkaran di tepi gelas jus jeruk yang bersisa hanya setengah ke bawah.
“Aku ... aku tidak bisa, Tuan Hugo. Itu—”
Seiring dengan bantahan Giotto, Hugo juga tidak akan pernah tinggal diam pada sebuah penolakan. Hugo mencekik leher Giotto dan berhasil mengangkat tubuh tidak terlalu tinggi Giotto hingga tak menyentuh tanah.
Kedua kaki Giotto bergerak-gerak gemetar, kedua tangannya juga berusaha melepaskan lengan kuat Hugo yang mencengkeram lehernya.
Aku melirik seluruh anggota keluargaku yang memasang raut wajah berbeda-beda.
Pria di sampingku, Rhys, ekspresinya datar, terkesan dingin dan tampak tidak peduli. Sekarang dia hanya melipat tangan di depan dada, bersandar santai di kursinya.
Ayahku, dia tersenyum. Tidak menyembunyikan senyum mengerikan itu dari wajahnya. Lalu Ibu, si wanita berhati baja, jadi dia hanya bertopang dagu menyaksikan perbuatan Putra keduanya dengan wajah yang menyiratkan kebosanan. Mungkin dia lebih senang melihat demo memasak daripada apa yang sedang dilakukan Hugo di depan matanya.
Si kembar ‘L’ yang fenomenal, keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Mereka kompak untuk hal seperti itu. Terlalu tidak peduli. Nyaris tidak mengangkat wajah untuk melihat perbuatan Hugo yang menyebabkan Giotto menggelepar seperti ikan terlempar keluar air.
Yang sedang sangat menikmati adegan itu, tentu saja, Adorjan dan Leon. Betapa mereka terlihat sama inginnya melakukan tindakan kekerasan pada Giotto.
“Obat oles itu benar-benar bekerja dengan baik ....”
Suara Rhys mengejutkan sampai terasa menembus kulit wajahku. Dia sedang meneliti luka berupa garis lurus akibat tergores anak panahnya di pipiku. Ketika aku dan orang-orang di sekitarku bahkan tidak menyadari tentang luka gores ini, kenapa harus Rhys yang mengingatnya?
Ah, dia pasti merasa bersalah karena luka ini kudapatkan karena ulahnya. Tapi apa benar begitu? Rhys bukan seseorang yang seperti itu, merasa bersalah. Bukan, dan tidak akan pernah.
Lalu apa?
“Jangan membuatku sakit kepala, ZeeZee. Peringatanku tidak akan terulang sampai tiga kali.” Rhys mengusap wajahku, aku bergidik karena merasa canggung dan tidak nyaman tentunya. Dia Kakakku, tapi kenapa sentuhannya seperti ini, seakan memiliki hasrat menggebu yang tersimpan baik dan rapi, jauh di dalam sana, di dalam dirinya.
Lagipula, ini di ruang makan, dikelilingi oleh semua anggota keluarga lengkap. Apa dia gila? Ya, aku tahu jawabannya, dia memang gila. Atau aku yang terlalu perasa? Ah, menyebalkan sekali! Ini situasi paling meresahkan untukku.
Dia menarik tangannya menjauh, tidak terlihat canggung sama sekali. Aku sudah diperingati, ya, baiklah, terkadang aku lupa bunyi peringatan itu. Yang jelas, aku akan berhati-hati pada Hugo mulai sekarang. Dia menyebabkan semua hal ini terjadi sekarang.
“Turunkan dia, Hugo. Kau tidak bisa membunuhnya di depanku,” kata Rhys.
Tangan Hugo langsung terlepas. Ya, seperti hewan peliharaan, kami selalu tunduk pada Rhys. Seperti nyawa kami berada di tangannya.
Suara gedebuk dan batuk-batuk Giotto memenuhi ruangan, membuat Rhys menggeser kursi, melangkah berlalu dari ruang makan. Ya, benar, hanya dia yang boleh meninggalkan meja makan tanpa memerlukan izin dari Ibu terlebih dulu.
Hugo berjongkok, menyeringai, dan tampak ingin menyiksa Giotto lebih dari yang tadi sudah pria bodoh itu dapatkan. Rhys sudah pergi, berarti Hugo bebas melakukan apapun. Termasuk, tentu saja, membiarkan ruangan ini penuh darah karena ulahnya.
“Baik, baik! Tolong hentikan!” jerit Giotto, dia melambaikan-lambaikan tangan dari posisi setengah berbaring. “Tubuhku adalah aset berharga. Aku tidak bisa membiarkanmu mencelakaiku lebih dari ini.” Giotto berkata cepat. Aku mendengar getaran yang tiada habisnya dari suara Giotto.
*****
Sarapan yang tidak pernah menyenangkan, dan yang kali ini, membuatku mual. Rasa mualku bertambah ketika mengingat Giotto muntah di lantai ruang makan setelah dia selesai bicara seperti orang gila dan panik mengenai wajah dan tubuhnya adalah aset berharga karena dia seorang Aktor.
Aku butuh susu dan harus mengambilnya sendiri, karena tidak ingin mengurung diriku di kamar dalam kondisi seperti ini, jadi aku perlu ke mini bar, meneguk susu dan mungkin bisa memutar musik kencang-kencang di sana.
Saat menyusuri lorong menuju mini bar yang sebetulnya tidak berukuran kecil atau sempit sama sekali itu, sayup-sayup aku mendengar bisik-bisik di bawah tangga, menuju ke arah tempat para pelayan tinggal.
Mereka tidak akan tahu keberadaanku, karena aku bersembunyi di lorong kecil pemisah mini bar dan tangga penghubung ke kamar-kamar pelayan.
Suara itu, sebentar, aku ingat jelas siapa pemilik suara rendah itu, Frida. Dan sungguh, suara lembut dan terbata-bata bersamanya, aku tidak tahu milik siapa.
“Ya, benar sekali. Aku juga pernah mendengar ini dari Ibuku. Saat Orie masih hidup, dia selalu datang dan mengeluh bagaimana sulitnya menjaga serta mengasuh ZeeZee yang memiliki jiwa pemberontak sama persis dengan Anak-Anak kandung Tuan David.”
Bersambung.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (172)

  • avatar
    Maria Ratu Rosari

    emejing

    14/05/2023

      0
  • avatar
    KhaerunnisaChindar

    Nicee iloveeee yuuuu❤️❤️❤️

    02/02/2023

      0
  • avatar
    PradyaDiva

    bagus banget ceritanya

    28/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด