logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab Empat Belas

Suasana suram setelah percakapanku senja kemarin bersama Rhys di kamar, menyisakan keenggananku untuk bertemu dengannya lagi dalam waktu dekat.
Memilih flowy dress hitam hampir semata kaki, aku menambahkan belt warna gold di pinggang sebagai pemanis. Lalu untuk kedua kaki, aku merasa nyaman dengan ankle boots pagi ini.
Berjalan tanpa terburu-buru, aku keluar kamar, menyusuri lorong menuju ruang makan sebelum yang lain duduk mengitari meja makan.
Lebih menyenangkan ketika mata mereka tidak mengawasiku yang baru tiba karena terlambat. Apalagi sudah beberapa hari aku melewatkan sarapan pagi di kamar dan pergi bersama Rhys.
Masih ada lima belas menit lagi sebelum jam sarapan akan dimulai. Jadi aku merasa tidak perlu terburu-buru.
Hampir tiba di ruang makan, aku berhenti berjalan ketika dua telapak tangan yang dingin, menutup kedua mataku.
“Leon?” Aku menebak mungkin saja dia berniat untuk bercanda denganku pagi ini.
“Kau salah, tebaklah yang benar.”
“Ed?” Aku tahu suara serak yang hanya dimiliki oleh dia di rumah ini, Adorjan. Dia Kakak ketiga.
“Yap!”
Aku berbalik, ketika telapaknya terlepas dari kedua mataku. “Ada apa, Ed?” Aku bertanya karena memang terkejut pada tindakannya.
Adorjan hanya peduli pada pekerjaan, lebih tepatnya, kekuasaan. Dia terlalu serius menjalani hidupnya. Jadi wajar saja ketika wajah Adorjan terlihat paling tua dari dua Kakaknya yang lain, Hugo dan Rhys.
Bahkan Rhys terlihat lima tahun lebih muda jika berjalan di sisi Adorjan. Tapi meski begitu, ini hal yang mengejutkan, ketika dia mencoba bercanda denganku.
“Bantu aku!” pintanya tanpa basa-basi. Yah, hampir semua anggota keluargaku tidak pintar berbasa-basi.
“Apa itu?”
“Temani aku ke pesta ulang tahun salah satu kolega bisnis kita.” Adorjan berdiri dalam jarak cukup dekat denganku. Dia memiliki kulit sawo matang, tubuh tinggi tegap, dan sorot mata penuh semangat.
“Kapan?”
“Jam sembilan malam ini.”
“Itu—”
“Rhys tidak akan bermalam di kamarmu, jadi jangan khawatir. Aku bisa mengerti jika kau terlambat beberapa menit karena mengurusnya,” sela Adorjan cepat, dia paham bahwa ada ular berbisa yang melilitku mulai jam enam setiap sore.
Walaupun tidak ingin, wajahku tetap saja memerah karena malu. Seharusnya, aku tidak perlu merasa seperti ini. Mereka semua Kakak-Kakak kandungku, meski sampai kapanpun, aku tetap bertanya-tanya, kenapa aku berbeda dari mereka.
“Hem, baiklah.” Aku mengangguk setuju. Kedua mataku menangkap Ludwig dan Leon yang berjalan mendekat ke arah kami.
“Hai, saudariku,” sapa Leon. Dia si penggoda di rumah ini. Dengan gerakan pria sempurna, dia memelukku sekilas, “terlalu cantik hanya untuk sarapan pagi, benar?” Dia menilai caraku memilih pakaian pagi ini.
“Tidak, itu bagus,” bantah Ludwig. Dia mengacungkan ibu jarinya kepadaku, “Rhys sedang melakukan tugas memenjarakanmu di dalam permainannya. Kau harus sedikit bersenang-senang,” himbau Ludwig, wajahnya terlihat sangat serius.
“Hei, ayolah, jangan bicarakan hal berbahaya di lorong ini!” bentak Adorjan.
“Rhys tidak akan hadir, tidak masalah,” sahut Ludwig, tampak tidak peduli dengan mengangkat kedua pundaknya.
Ludwig bisa bebas bicara karena tanda-tanda kehadiran Rhys belum tampak sama sekali. Tidak ada satupun dari kelima Kakakku yang berani menantang Rhys, jika mereka berani, kurasa bukan di sini mereka sekarang.
“Ayo, ke ruang makan. Ibu akan marah jika tamunya datang lebih awal dari kita,” kata Leon, mengambil jalan tengah di antara Adorjan dan Ludwig.
“Lagi?” Aku mengernyit. Ibu selalu senang mengundang tamu di jam sarapan. Meski sebelumnya juga sering, tapi akhir-akhir ini terlalu sering.
“Ya, itu bagus, sebenarnya begitu.” Adorjan menjawabku. “Kau tahu, sebagian besar para penjilat itu tidak hanya menerima, mereka bisa membayar lebih sesuai yang Ayah dan Ibu inginkan.”
Aku mendesah malas. Leon tertawa dan merangkul pundakku. “Jangan mengeluh. Jika kau membuat keseruan di meja makan seperti sebelumnya, itu akan jadi tontonan seru bagi kami.”
“Kau seharusnya sudah bosan atau setidaknya, frustrasi karena hukuman Ibu dan Ayah tidak main-main.” Adorjan berjalan di sisi kananku.
“Terakhir kali aku merasakan hukuman itu dua tahun lalu,” timpal Ludwig, “bagaimana rasanya saat ini, ZeeZee?”
Aku menoleh ke arahnya yang berjalan di sisi Leon. “Sepertinya, rasa sakitnya masih sama saja, tidak berubah.” Aku tersenyum kaku. Sungguh, hukuman dan peraturan aneh keluarga Oxley, membuatku muak.
“Kalian merusak suasana bagus pagi ini. Berhentilah, jangan bicarakan hal-hal seperti itu lagi.” Leon melirik Ludwig.
“Kau yang memulainya, Leon.” Ludwig menunjuk Leon, memperingati.
“Hentikan, teman-teman!” Adorjan berseru dengan wajah menahan amarah, dia menekan suaranya agar tidak terlalu keras, dan bergema di lorong. “Cepat masuk, Ludwig.” Adorjan memerintah Ludwig menggunakan dagunya. “Kau juga, Leon, lepaskan ZeeZee dan masuklah.” Dia menepuk lengan Leon yang merangkul pundakku.
Keduanya menurut, langsung bergegas masuk lebih dulu. Tampilan mereka bertiga hampir sama hari ini, mungkin selalu begitu. Setelan jas dan celana kerja dengan oxford atau derby yang mengkilat. Setelah sarapan, biasanya mereka akan pergi ke kantor seperti pegawai sebuah perusahaan pada umumnya, selebih itu, aku tidak bisa memastikan kegiatan ilegal apa saja yang mereka jalankan.
Aku masuk paling akhir, dan kulihat sudah ada Ibu yang sedang meletakkan peralatan makan di meja bagian Ayah.
“Hai, sayang. Akhirnya kau memperlihatkan dirimu juga,” sapa Ibu, setengah menyindir.
“Hai, Ibu.” Aku membalas dan sama sekali tidak peduli pada tatapannya yang tajam ke arahku.
Ini pasti soal pesan yang disampaikan Frida, dan aku yang tidak memenuhi undangannya.
Ayah muncul tidak lama setelah kulihat Ibu ingin membuka mulut untuk bicara padaku.
“Kau sehat, Nak?” tanya Ayah yang baru saja menyadari kehadiranku. Aku tidak tahu apa itu bermakna sindiran atau pertanyaan yang tulus. Ayah mengucapkannya terlalu datar, aku tidak bisa menebaknya.
“Sehat, Ayah.” Kupikir, ini jawaban yang paling tepat, singkat, dan cepat. Aku benci suasana ini dan perasaan di meja makan ini. Sejak usia lima belas tahun aku sudah dikenalkan dengan tradisi sarapan pagi aneh di keluarga Oxley. Itu artinya, sudah tiga belas tahun berlalu, dan kebiasaan ini tidak berubah sama sekali.
“Bagus. Kau akan senang dengan tamu kita pagi ini.” Ayah melihat ke arah pintu ruang makan. “Sebentar lagi dia tiba.”
Berusaha menahan mual, aku sadar, bahwa kebiasaanku mengulang kegilaan dan kekurangajaranku terhadap tamu mereka, akan segera terjadi lagi.
Tapi kali ini, aku merasa sedikit aman dengan ucapan Rhys yang terus kuingat.
Aku menatap ke semua penjuru meja makan yang berbentuk oval dengan total sepuluh kursi. Jika anggota keluarga lengkap, kami bersembilan akan sarapan pagi dengan ‘tenang’ di meja ini. Tidak ada penambahan kursi untuk sarapan. Jadi tamu yang diundang selalu dan hanya satu orang, untuk mengisi kekosongan di kursi kesepuluh.
Bersambung.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (172)

  • avatar
    Maria Ratu Rosari

    emejing

    14/05/2023

      0
  • avatar
    KhaerunnisaChindar

    Nicee iloveeee yuuuu❤️❤️❤️

    02/02/2023

      0
  • avatar
    PradyaDiva

    bagus banget ceritanya

    28/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด