logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab Tiga Belas

Entah karena kepalaku yang terasa berat dan pusing, atau akibat dari rasa mengantuk yang masih ada, tapi kurasa, lebih tepatnya di karenakan sentuhan Rhys yang menyenangkan, membuat kepalaku terkulai kebelakang tanpa kusadari dengan cepat.
Sandaran berupa dada Rhys sepersekian detik kemudian, membuat kedua mataku lebih dulu terbuka, daripada kepalaku yang bergerak maju.
Sedikit mendongak, aku bisa melihat jakunnya yang naik turun teratur, sepanjang rahang hingga dagu yang baru selesai dicukur dan ah, ya ampun, hentikanlah!
“Menyenangkan tidur dan bersandar di sana?” Dia bertanya, tepat setelah aku melepas diri dari dadanya.
“Aku tidak sengaja,” gumamku pelan, menoleh sekilas pada Rhys yang masih bersedia duduk di belakangku. Sepertinya rasa takutku pada Rhys semakin menipis dari hari kemarin ke hari ini. 
Hening setelahnya dan aku berusaha membuka lebar-lebar kedua mataku dan hampir melotot, agar tidak terjebak kantuk yang luar biasa.
“Apa kau bisa membacakan buku untukku setelah ini?” Suara Rhys bergema, terasa begitu di kamarku yang luas tanpa adanya banyak perabotan.
“Sorcerer's Memory?”
“Ya.”
“Baiklah.”
“Sebaiknya tidak.”
“Apa?”
“Kau tidurlah,” katanya. Seolah memberi saran atau perintah yang ragu-ragu.
“Bukunya?” Aku menoleh melewati bahu sekilas.
“Kau masih bisa membacakannya besok. Sore ini kau terlihat mengantuk.”
Apa? Barusan Rhys terdengar sangat perhatian. Ada apa lagi ini? Masalah apa yang akan muncul setelah ini?
“Hem. Baiklah.” Aku senang sekaligus tenang—bersifat sementara—mendengarnya, kedua mataku terpejam, menyunggingkan senyum, sambil menikmati sentuhan lembut di rambut dan kepalaku.
Aku tidak pernah berharap sebelumnya untuk mendapat kasih sayang, perhatian, dan kebaikan dari ke enam Kakak laki-lakiku. Tapi Rhys muncul sebagai sosok ‘Kakak sebenarnya’ lebih dulu, setelah dua puluh tujuh tahun hidupku. Sebelumnya, dia selalu berusaha menjaga jarak dariku, dan menjauhiku tanpa sebab.
Dibalik tugas perdana yang dia berikan, ada hukuman yang memang nyata kudapatkan, meski bukan hukuman yang membahayakan nyawaku. Tapi kemudian, di sela-sela itu, dia mulai menyelipkan beberapa perhatiannya sebagai seorang Kakak, walau kadang, dengan cara yang kasar, benar-benar buruk.
“Kau tidak mendengarku?” Suara berat Rhys tepat bertanya di telingaku.
Terkejut, aku tersentak dan membuka kedua mataku. “Ya?”
Rhys menghela napas, masih di samping telingaku. Aku mendengar tanpa ingin melihat wajah kesalnya padaku saat ini.
“Ambilkan sisir.”
Aku beranjak. Kepalaku sedikit berdenyut dan aku terhuyung karena tersandung kakiku sendiri. Rhys memegang kedua pinggangku, dia menangkap tepat sebelum aku sempat mencium lantai.
“Ada apa denganmu?” Dia masih bertanya dalam situasi seperti ini.
Aku menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Sedikit pusing, hanya sedikit.” Berusaha tidak bersikap berlebihan atas apa yang dia lakukan pada kedua pinggangku, aku menoleh. “Akan aku ambil sisirnya sekarang.”
Rhys mengangkat tubuhku yang pastinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tubuh besarnya. Meski tidak berotot dan tergolong paling kurus di antara kelima Kakakku yang lain, dia punya tenaga lebih dari cukup untuk mengangkat beban lima puluh tujuh kilogram.
Setelah mendudukkanku di tepi ranjang sisi lain dari sebelumnya, Rhys berjalan menuju meja riasku dan mengambil sisir. Pantulan bayangannya di cermin, memperlihatkan betapa pantasnya dia diinginkan oleh banyak wanita, baik gadis, janda, atau wanita bersuami.
Dia pria lajang dewasa yang sempurna, tapi penuh aura membunuh di sekitarnya. Dia monster sekaligus iblis bermata ular.
“Kau mencintainya?” Sambil mulai menyisiri rambutku yang kusut dengan hati-hati, dia melontarkan pertanyaan yang tidak pernah kuimpikan sebelumnya untuk ditanyakan siapapun di rumah ini, apalagi seorang Rhys.
“Siapa yang kau—”
“Balin Atkinson. Apa ada pria lain selain dia yang kau cintai?”
Mendengar nama itu disebut, membuatku terluka. Yah, terluka meski tidak sedalam yang dia pikirkan tentunya. Aku tidak seberlebihan itu untuk urusan percintaan. Tidak seperti Hugo.
“Ah, dia. Benar, sejauh ini, hanya dia.” Aku mengangguk, jujur. Tidak menyangka akan berbagi tentang hal yang kupikir, selalu menjadi rahasiaku seumur hidup. Aku memang tidak memiliki teman—selain Orie—untuk berbagi cerita apalagi tentang kisah cintaku.
Musuhku memang lebih banyak. Tanpa sebab, aku memang dijauhi untuk hubungan yang melibatkan perasaan tulus dan didekati untuk kepentingan mereka yang membutuhkan bantuan atas nama besar keluargaku.
“Kau masih mencintainya?”
“Tidak.” Tanpa butuh waktu lama aku menjawab, menggeleng.
“Semudah itu kau melupakannya?”
“Ya.”
“Kau berkata jujur?”
“Tentu saja.” Aku menoleh saat melihat Rhys berpindah posisi. Sepertinya dia baru selesai menyisir bagian belakang rambutku.
“Jika dia ingin kembali, apa kau tidak mengizinkannya? Memberi satu kesempatan lagi.” Rhys masih menggenggam sisir, dia belum memulai untuk menyisiri rambut bagian depanku, hanya menatapku.
“Tidak akan. Itu tidak akan terjadi,” bantahku cepat.
“Kau yakin itu?” Dia mengangkat sebelah alisnya, memberiku tatapan meragukan.
Aku menghela napas. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari perasaanku pada Balin.
“Kau tahu harus seperti apa aku bersikap. Tapi mungkin kau tidak akan tahu, karena kau tidak pernah peduli pada hal yang bukan urusanmu. Keluarga Atkinson tidak akan senang ketika Putra tunggalnya yang diharapkan oleh seluruh keluarga besar untuk menjadi seorang pria dewasa baik-baik, menuntaskan gelar kedokterannya, justru menjalin hubungan dengan Putri bungsu keluarga Oxley,” jelasku secara rinci, benar-benar hanya cerita ini yang kupunya.
Rhys terdiam, tapi tangannya mulai bergerak untuk menyisiri rambut bagian depanku. Lagi-lagi, aku merasakan ketidaknyamanan akibat jarak yang terlampau dekat di antara kami.
Aku bisa merasakan hembusan napasnya di sekitarku. Aroma grapefruit dan pepper-nya sudah benar-benar melekat di hidungku, seolah menyatu dengan otakku yang akan selalu mengenali siapa pemilik aroma ini.
“Ini berarti, tidak akan ada gunanya aku menemui pria itu,” gumam Rhys yang langsung mendapat tatapan tercengang dariku.
“Kenapa kau lakukan itu? Aku tidak ingin kau memohon—”
“Aku tidak akan pernah memohon pada siapapun. Apa kau lupa?” Rhys meninggikan suaranya, jelas tersinggung dengan ucapanku.
“Lalu untuk apa kau menemuinya?” Aku menyesal bertanya ketika aku tahu bahwa jawabannya sudah jelas, meski saat ini Rhys sama sekali tidak menyeringai. Rhys mengancamnya, itu pasti.
“Untuk sesuatu yang harus kulakukan, pasti akan kulakukan.” Rhys sudah selesai menyisiri rambutku.
“Mengancam,” ucapku lirih.
“Tepat sekali.”
“Sudah kau lakukan?” tanyaku, penasaran. Tidak terbayang olehku bagaimana kedua pria ini bertemu.
Kakakku yang dingin, kaku, serta dikelilingi aura membunuh yang tinggi, mencoba bicara pada Balin yang hangat, ramah, dan lembut. Itu benar-benar berada di luar perkiraanku. 
“Menurutmu?” Dia memiringkan kepala, kedua matanya lurus menatap ke arah wajahku.
Menghela napas, aku berpura-pura tuli dan mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Tidak ada yang ingin kubahas tentang Balin. Pria itu akan terluka bila bersamaku. Elena, teman sekaligus wanita yang menyukai Balin sejak lama, sering mengatakan hal itu.
“Aku sudah melupakannya. Tolong jauhkan dirimu dari Balin.”
“Kau tidak perlu memintaku melakukan apapun. Aku tahu apa yang harus kulakukan, ZeeZee.” Rhys tiba-tiba mencengkeram pergelangan tanganku. “Aku terbiasa mendapatkan apa yang kumau, jadi akan kulakukan apapun untuk mendapatkannya.”
Bersambung.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (172)

  • avatar
    Maria Ratu Rosari

    emejing

    14/05/2023

      0
  • avatar
    KhaerunnisaChindar

    Nicee iloveeee yuuuu❤️❤️❤️

    02/02/2023

      0
  • avatar
    PradyaDiva

    bagus banget ceritanya

    28/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด