logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab Dua Belas

Hugo meninggalkan nomor kontak si Aktor tampan—Giotto Armstrong—yang memiliki wajah licik dan senyum menawan.
Meski dia Aktor terkenal, aku tidak begitu tahu apalagi peduli tentang siapa dia. Tapi kuakui si Aktor ini cukup tampan, meski tidak mampu menandingi ketampanan Hugo.
Masih tiga jam sebelum Rhys tiba. Aku akan mencoba cara konyolku mengganggu Giotto, tanpa prasangka apapun. Coba saja dan tidak perlu mempedulikan hasilnya.
Hugo memberitahuku bahwa tidak akan menjadi masalah ketika Giotto berhasil melacak keberadaanku, atau berhasil mencari tahu siapa aku, karena tidak akan ada satupun orang di Yellowrin yang mau berurusan dengan keluarga Oxley.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mencobanya. Memberi umpan basi yang menurutku, mungkin, masih berfungsi dengan baik.
“Kau di mana?” Pertanyaan langsung yang kuberikan ketika panggilanku segera dijawab, meski dia belum mengatakan ‘halo’ karena menurutku, serangan cepat itu, penting.
“Maaf, dengan siapa ini?” Nada suaranya sedikit bingung dan terkejut. Mungkin dia berpikir, karena dia seorang Aktor, nomor pribadinya akan sulit didapatkan oleh orang lain atau penggemarnya.
“Ali, aku bertanya kau di mana? Kenapa berpura-pura tidak mengenaliku?” Kalimat-kalimatku penuh dengan rasa kecewa dan tersinggung.
“Oh, maaf Nona, aku bukan Ali yang kau maksud.” Dia terdengar kesal, kemudian bergumam sendiri dengan tidak jelas.
“Ya ampun, apa aku harus percaya bahwa kau sepayah ini?” Aku terpekik.
“Hei Nona, dengar baik-baik, aku tidak tahu dari siapa kau mendapatkan nomorku, tapi kau salah sambung! Aku bukan Ali atau siapapun yang kau maksud, apa kau mengerti?” Dia membentak dan aku sudah mulai menangis sebelum dia memutuskan untuk mengakhiri obrolan tidak seru ini.
Aku rasa, Giotto tipikal seseorang yang tidak bisa mengontrol emosi. Bagaimana bisa dia menjadi seorang Aktor dengan keadaan emosi yang tidak stabil seperti itu?
“Jika kau bukan Ali, lalu kau siapa? Aku ingat kau memberiku nomor kontakmu di malam itu, sebulan lalu saat kau menyelamatkanku yang ingin melompat dari atap gedung. Apa kau lupa?”
Mendadak hening di seberang. Benar kata Hugo. Awali dengan caraku, di pertengahan, aku cukup mengungkap luka lamanya.
“Ta-tapi ... aku bukan Ali.”
“Baiklah. Mungkin kepalaku terbentur cukup kuat, hingga aku melupakan memori terakhirku. Tapi aku memiliki nomor kontakmu, satu-satunya yang kumiliki ketika aku terbangun dari koma tadi pagi.” Aku terisak-isak. Sedikit sulit, karena aku sudah cukup lama berusaha untuk tidak menangis.
Sambungan telepon langsung terputus. Aku tertawa karena hal itu. Dia termakan umpan basiku. Apa Giotto Armstrong sebodoh itu? Ya mungkin saja. Melihat catatan kriminalnya bukan apa-apa.
Aku mulai menghitung dalam hati, dan tepat pada hitungan ke delapan, ponsel pemberian Hugo berdering di tanganku. Tanpa basa-basi, aku mengangkat panggilannya.
“Halo.”
“Apa yang kau inginkan?” Nada penuh getaran dari seberang membuatku ingin tertawa lagi.
“Apa maksudmu? Siapa kau?” tanyaku bingung, merubah suaraku menjadi nada yang lebih tinggi.
“Jangan main-main denganku, Nona. Kau yang lebih dulu menghubungiku dan ....” Dia terdiam, aku mendengar helaan napas penuh ketidaksabaran bercampur ketegangan dari seberang, aku yakin itulah yang dirasakannya sekarang ini.
“Hei, Bung, kau yang seharusnya jangan main-main denganku. Kau siapa? Ada apa menghubungiku? Kau penelepon iseng yang ingin mencari uang dengan cara menipu?” bentakku kasar. Aku benar-benar ingin tertawa.
“Hei, hei ... bukan, bukan begitu,” katanya panik.
“Lalu apa maumu?”
“Bisakah kita bertemu?”
Yap, kau pintar, Giotto!
“Tidak. Untuk apa kita bertemu? Aku bahkan tidak mengenalmu.”
“Tapi tadi kau mengaku mengenalku, kau menghubungiku sekitar beberapa menit yang lalu. Kau ... kau bahkan menangis. Atau ... apa ada yang meminjam ponselmu sebelumnya, sekitar beberapa menit yang lalu?”
“Tidak ada yang seperti itu, Bung! Kau membuang-buang waktuku! Jadi berhentilah berkhayal dan jangan pernah berani menghubungi nomor ini lagi. Atau kau ...” Memberi jeda, sebelum meledakkan bom ke telinganya, “kulaporkan ke Polisi atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.”
Aku tertawa pelan setelah memutuskan panggilan. Konyol! Sejujurnya, ini membosankan. Entah apa tujuan Hugo sebenarnya memintaku melakukan ini. Tapi kurasa, Giotto tidak akan tinggal diam pada apa yang baru saja kulakukan padanya.
Tidak akan ada orang bodoh yang mau menerima hal itu sebagai perbuatan orang iseng atau menyebutnya dengan panggilan salah sambung.
Baiklah. Pikirkan itu besok saja. Aku harus mandi dan bersiap karena Rhys akan tiba dua setengah jam lagi.
*****
Sial!
Aku tertidur lagi untuk kedua kalinya ketika Rhys tiba di kamarku. Kali ini dia bukan menggelitik telapak kakiku seperti sebelumnya, tapi mengusap kepalaku yang setengah basah. Ketika aku membuka kedua mataku, dia hanya berdiri di tepi ranjang tanpa melakukan apapun.
Ya, aku tahu dia mengusap-usap kepalaku saat aku tertidur, dan pasti dia tidak akan tahu bahwa meski aku tertidur, aku merasakan sentuhannya.
Kupikir, apa yang Rhys lakukan sebelumnya hanyalah ilusiku sebelum terbangun, tapi sekarang, aku tidak akan percaya pada khayalanku. Karena semua itu nyata.
“Rambutmu terlalu basah.” Dia menunjuk ke arah kepalaku. “Bangunlah, ayo kita keringkan.”
Dengan enggan, benar-benar enggan, aku bangun. Sudah sadar sepenuhnya bahwa Rhys tidak hanya akan berkunjung sekali dua kali, jadi aku mulai mengenakan pakaian yang hampir tertutup seluruhnya.
Piama flanel motif kotak berwarna merah cerah, lengkap dengan celana panjang senada, membuatku merasa nyaman. Aku turun dari ranjang dengan kepala yang sedikit pusing. Aku terlalu malas membuatnya setengah kering, jadi kupikir, setelah bangun, rambut ini akan mengering dengan sendirinya.
“Kenapa di kamarmu tidak ada satupun kursi untuk duduk?”
“Karena aku tidak suka,” jawabku dengan tidak peduli.
Dia menatapku tajam. “Kembali ke ranjangmu, kita duduk di sana saja.” Dia menunjuk ranjangku yang sudah berganti seprei.
Sebenarnya, aku menunggu dia membahas tentang ancaman aroma itu. Tapi melihatnya berekspresi datar saat memandang seprei hijau pastel-ku yang kini sudah terganti, mungkin aku harus bungkam dan berpura-pura tidak tahu apapun.
Rhys sudah duduk lebih dulu, dia menatapku. “Mana handuknya?”
“Tanpa ... hairdryer?” Aku ragu, mungkin, bisa saja dia berubah pikiran tentang itu untuk kali ini saja.
“Tanpa hairdryer.” Dia mengulang ucapanku dengan satu kali gelengan tegas.
Dengan cepat aku mengambil handuk putih kecil di dalam lemari. Memberikan padanya setelah aku ikut duduk di tepi ranjang.
Rhys sudah merubah posisinya. Kupikir awalnya, dia akan membentak dan memerintahkanku untuk duduk merapat padanya.
Tapi kali ini, dia yang mendekatiku, bergeser hingga benar-benar berada di belakangku.
Tidak terlihat begitu, tapi gerakan Rhys saat mengeringkan rambutku menggunakan handuk, teramat lembut.
Ini seperti bukan dirinya. Apa dia yang sebenarnya saat ini sedang bertukar jiwa dengan orang lain? Mustahil seorang Rhys yang kulihat hidup bersamaku selama ini begitu lembut memperlakukan manusia.
“Jangan tidur sampai rambutmu benar-benar kering.”
“Hem.” Aku mengangguk pelan. Sentuhan Rhys di kepalaku benar-benar menyenangkan.
Bersambung.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (172)

  • avatar
    Maria Ratu Rosari

    emejing

    14/05/2023

      0
  • avatar
    KhaerunnisaChindar

    Nicee iloveeee yuuuu❤️❤️❤️

    02/02/2023

      0
  • avatar
    PradyaDiva

    bagus banget ceritanya

    28/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด