logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 FOUR -- TOKOH DARI MASA LALU

Anya berjalan ke pinggir lapangan, tadi dia sempat memberikan arahan kepada teman organisasinya yang berada di bidang berbeda dengannya.
Terkutuklah teman seangkatannya yang berhalangan hadir. Membuatnya harus mengatur dua bidang sekaligus. Untung saja, di bidangnya sendiri, adik-adiknya tidak terlalu susah diatur.
Terkutuklah juga kepada senior-seniornya yang masih menjabat sebagai pengurus tapi malah menyerahkan semua tanggung jawab ke angkatan Anya. Dengan alasan, mengerjakan laporan pertanggungjawaban mereka.
Anya mendongak, merasakan benda dingin menyentuh pipinya, dia melihat Raka yang sesaat terkejut lalu memilih mundur menjauh darinya.
Anya mendecih. "Lo mundurnya telat, kenapa nggak ngomong aja sih? Gue pasti dengar 'kan, lo panggil," cibir Anya. Raka memang sesekali melanggar aturan yang bahkan begitu ia tegaskan pada orang lain. Beberapa kali, Anya harus menahan diri agar tidak kelihatan sedang tersiksa dengan perilaku cowok itu.
Raka menggaruk tengkuk belakang. "Ini, gue beliin minum. Capek banget keliatan," ucapnya menyodorkan sebotol air dingin. Anya menerimanya dengan sangat cepat, lalu membuang muka.
"Makasih."
Terdiam, Anya mulai berpikir, laki-laki di sampingnya ini begitu perhatian kepada anggotanya. Mungkin, saat pemilihan ketua umum nanti, ia yang akan mendudukinya.
"Duduk sini." Anya membolakan matanya, kaget sendiri dengan ucapannya. Ia mendongak, menatap Raka yang juga terkejut.
"Eh? Nggak usah, Nya. Gue di sini aja, lagian gue juga harus balik latihan."
"Gue pengin ngomong. Nggak pa-pa. Gue baik-baik aja, kok." Ia mendesah. Sudahlah, ia terlanjur mengajak laki-laki itu duduk di sampingnya. Menekan segala ketakutannya, ia berkata lagi, "itung-itung sebagai latihan biar nggak terlalu takut lagi." Ia mengendik, berusaha terlihat tenang walau seluruh tubuhnya terasa panas.
Raka terlihat begitu canggung saat memilih duduk di sisinya, ia tetap memberi jarak, agar tidak terlalu membuat Anya tertekan.
"Lo...." Anya menggantungkan perkataannya, menoleh ke arah Raka. Menurutnya, Raka cukup ganteng dibanding teman laki-laki seorganisasinya.
Raka juga menoleh, membuat mereka sesaat saling bertumbukan mata, tapi sekejap itu juga Raka membuang muka.
'Lo berambisi banget jadi ketua, ya?" Ia tentu sangat sadar, perlakuan baik laki-laki ini kepada teman seangkatan juga senior dan juniornya bukanlah hal yang ia lakukan secara tulus tanpa niat apapun.
Raka menyeringai, tak malu mengangguk. "Iya. Gue ngerasa senang aja sih dianggap pemimpin," jelasnya tanpa disuruh dan tanpa beban.
"Hm." Anya menyahut asal. Ia memandang ke arah adik-adik yang sebidang dengannya ditambah beberapa orang dari angkatannya sedang sibuk menghapal materi.
"Kalau lo kepilih, gue dapat jabatan apa?"
"Lo maunya apa?"
"Raka." Seruan itu membuat Anya mengatupkan kembali bibirnya tidak jadi merespon pertanyaan cowok itu. Ia menoleh ke arah suara, begitu juga dengan Raka.
Di sana ada Kak Naufal, ketua umum tahun ini. Ia berpikir, kenapa seniornya itu begitu santai di saat teman seangkatannya yang lain sibuk menyusun laporan pertanggungjawaban?
Anya membuka air dingin yang berada di tangannya. Meminumnya setengah dengan cepat, lalu memberikan kepada Raka sebelum laki-laki itu benar-benar melangkah menjauh darinya.
"Nih. Lo habisin aja." Ia tersenyum kecil, menyodorkannya tanpa berniat melakukan sentuhan fisik dengan Raka.
Raka menerima dengan gembira tentunya. Dan sisa hari ini, mereka habiskan dengan segala kesibukan latihan.
Sudah hampir dua minggu mereka melakukan latihan rutin, setiap hari. Karena, mulai dua hari ke depan, akan ada latihan bersama yang diadakan oleh sekolah lain. Tentu, mereka tidak ingin terlihat memalukan karena tidak melakukan persiapan.
Dan, hari Sabtu pagi, mereka kembali berkumpul di gerbang sekolah, berniat berangkat ke tempat latihan.
"Nya, bareng siapa, lo?" Anya menoleh, memandang Raka yang berjarak sekitar dua meter darinya. Ia tersenyum, bersyukur Raka tidak mengambil kesempatan sebab Anya sudah bisa dekat dengannya kemarin.
"Nggak tahu, nih. Si Ruri nggak datang. Sakit katanya." Anya terlihat gelisah, kenapa juga sahabatnya yang biasa bersamanya saat di organisasi malah jatuh sakit?
"Sama gue aja." Anya terkejut. Menatap Raka yang seolah tak sadar mengatakan itu.<
"Lo gila?!" Oke, Anya menarik kembali perkataannya soal Raka yang tidak mengambil kesempatan soal kedekatan mereka kemarin. "Bodo ah, kalau nggak ada cewek yang mau gonceng gue, gue pulang aja."
Raka meringis, merasa bersalah, ia mengutuk berkali-kali dalam hati, merutuk mulut bodohnya yang tidak bisa dikendalikan. Raka memandang kepergian Anya dengan raut sedih. Dia juga memilih berjalan berlawanan arah. Berusaha mencari motor siapa yang kosong saat ini.
Dan, sialnya, semua orang sudah punya boncengan selain dirinya. Masa iya Anya tidak ikut sama mereka?
"Anya.' Panggilan itu membuat Raka menoleh, memandang Anya yang berhadapan walau berjarak dengan seniornya, kak Putra. Raka memicingkan mata, mempertajam telinga berusaha mencuri dengar pembicaraan dua orang yang tidak jauh darinya.
"Kamu sama Raka, kan?" Ah, Raka baru mengingat, seniornya ini jarang ada di sekolah, membuat ia tidak terlalu mengenal mengenai diri juniornya.
Di pandangan Raka, ia melihat Anya menggeleng keras, nampak sangat tidak setuju dengan hal itu.
"Nggak bis--"
"Ikut." Suara itu begitu tegas. Anya sesaat merinding mendengarnya. Mengingat kembali pertemuan pertama mereka berdua, di mana Anya dimarahi habis-habisan hanya karena tidak mau bergandengan tangan dengan salah satu teman angkatannya--cowok.
Anya menghela napas. Tidak bicara, hanya memandang seniornya dengan tatapan yang di mana Putra tidak bisa mengartikannya.
Raka meringis di tempatnya, memandang kedatangan Anya yang memberengut marah.
"Sorry," cicitnya.
Anya hanya diam, memilih menerima helm dari Raka, naik ke motor saat laki-laki itu memerintahkannya. Berusaha menjaga jarak dan terus mengontrol pikirannya agar tidak berpandangan buruk soal Raka.
"Kata Raina, nggak semua laki-laki selalu punya pemikiran jahat tentang cewek," gumam Anya sedikit lebih keras sebenarnya, membuat Raka memandang dari spion dengan alis terangkat.
Jujur, ia tidak tahu apa alasan temannya itu begitu takut dan memberi jarak dengan laki-laki. Pertemuan pertama mereka, Anya mengatakannya dengan gamblang, membuat Raka seolah terpaku untuk mengikuti perintah serta melindung cewek itu.
"Kata mama, yang berpotensi lebih besar mengahancurkan perempuan adalah keluarga laki-laki mereka sendiri." Raka semakin tidak dibuat mengerti. Ia lebih memilih memandang lurus ke jalanan berusaha menghiraukan rasa penasarannya.
***
"Hey, Raka. Whatsapp?!' Seruan itu membuat Raka dan Anya menoleh, sedikit terkejut. Namun, sesaat setelahnya, Raka berjalan mendekat dengan senyum lebar dan mengangkat tangan ke udara yang disambut dengan hig five dari cowok yang menyapa.
"Hey, Rian. Apa kabar nih, calon ketua?" Mereka tertawa dengan hangat.
Laki-laki yang disebut Rian itu menoleh ke arah Anya, lalu kembali memandang Raka dengan alis terangkat. "Siapa, Ka?"
"Oh, itu si Anya."Raka mendekat ke arah Anya, ia berbisik pelan, "Nya, itu calon pengurus PMR di sekolah ini. Lo baik-baik sama dia ya, jaga jarak nggak pa-pa, kan? Asal jangan terlalu jauh aja."
Anya memandang tajam Raka. Tidak memperdulikan segala perkataan cowok itu. Apa ia melupakan soal Anya yang begitu ketakutan berhadapan dengan seorang laki-laki?
Namun, pernyataan Raka ada benarnya juga, ia harus menjalin hubungan erat dengan sesama organisasi di sekolah lain. Makanya, dengan tubuh sedikit tremor dan keringat dingin menjalar di punggung, ia mendekati Rian.
Kedua pasang mata berwarna hitam itu saling menatap. Anya membulatkan mata tidak sadar karena keterkejutannya.
Gemetar di tubuhnya semakin parah. Ia mengalihkan pandangan, berusaha untuk tidak menatap lebih lama.
"Rian, ini Anya. Anya ini Rian."
Rian, salah satu makhluk keji yang menghancurkan kehidupan putih biru Anya. Dirinya bahkan masih begitu mengingat semua kejadian itu. Seolah itu adalah sebuah cerita kemarin yang masih memberikan bekas luka basah.
Anya tersenyum getir, membalas salaman cowok itu dengan mempertemukan kedua tangan di dada, tanda bahwa ia tidak ingin bersalaman.
'Gu-gue duluan," ujarnya pelan. Berjalan setengah berlari, menyeret kaki yang mendadak seperti jeli.
Ia berhenti, merasa sudah cukup jauh dari dua laki-laki tadi. Ia memegangi dada, terengah. Rasanya sesak, seolah ada ribuan batu yang menyempitkan paru-parunya.
Perlahan, rasa sesak itu memanjat ke kerongkongannya, membuat Anya sangat ingin menjerit keras. Karena tak kunjung melakukannya, sesak itu naik ke atas mata, memberikan efek panas luar biasa.
Ia menitikkan air mata. Menjerit dalam batin seolah ingin mati saja.
Kenapa?
Kenapa setelah sekian lama ia berusaha menata hati, berusaha menata pikiran, ia malah dipertemukan kembali? Sudah tiga tahun berlalu, efek luka itu masih sama.
"Hey, are you okay?" Suara itu membuat Anya yang sedang setengah menunduk itu kembali mendongak. Menghapus jejak air mata di pipi, ia menoleh, tersenyum paksa. "You look so hurt. Where's the pain?" Suara yang begitu hangat.
Tangan panas yang kini menggenggam tangan tremor Anya menatapnya dengan sorot khawatir. Walau ia tidak mengenal Anya, kebiasaan dalam berorganisasi di bidang kemanusiaan ini sedikit demi sedikit melahirkan simpati dan empati dalam diri perempuan cantik ini
"Gue ...." Anya sesegukan. Membuatnya mengatupkan kembali bibir. Perempuan itu menggeleng, menuntun Anya ke sebuah gedung yang Anya rasa adalah UKS.
Dia didudukkan di salah satu ranjang di sana. Diberi segelas air.
Setelah tenang, Anya mendongak, menatap iris berlensa kebiruan itu dengan tatapan penuh terima kasih, walau sedikit ia menyelipkan tatapan seolah meminta agar perempuan itu memberikan waktu baginya untuk sendiri.
"
Lo udah baikan? I wanna go out, now. If you need somehelp, just call my name. Iris." Perempuan itu tersenyum tenang, menangkap maksud Anya dengan baik. Memilih melangkah keluar ruangan.
Anya bernapas, entah lelah atau lega. Memilih membaringkan diri di kasur empuk itu dan memejamkan mata.
Setidaknya, untuk saat ini ia harus bersyukur, bisa menahan diri sejauh ini.
Setidaknya, untuk saat ini ia harus berhati-hati, tidak lagi berhadapan dengan masa lalu, agar ia bisa hidup dengan tenang.
Iya, dia harus melakukannya.
Akan sangat bodoh jika ia kembali mengulang masa kelam tanpa cahaya sekali lagi, terjebak dalam masa lalu yang seolah membelenggu dengan rantai tak kasat mata. Itu ... tidak boleh terjadi.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (64)

  • avatar
    Ananda putri hafidah04

    bagus

    02/02/2023

      0
  • avatar
    rryJe

    good books

    11/01/2023

      0
  • avatar
    Kinantialzahra

    sangat bgs:>

    20/09/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด