logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 SATU -- EVERYONE HAVE A PROBLEM

Sekarang, Anya adalah remaja yang menduduki bangku SMA. Kehidupan yang menurutnya sangat harus dia syukuri dibanding dengan beberapa tahun yang lalu dia jalani.
Dulu, dia adalah siswi SMP yang masih lugu dan naif. Bahkan, dirinya masih terlalu sering menangis merindukan masa kanak-kanak yang seolah tak ada masalah menghampiri.
Dulu, sama seperti lainnya, dia juga ingin memiliki sahabat, ah, mungkin teman saja cukup baginya. Dia berhasil meraih itu, memiliki banyak teman yang mengasyikkan, sebelum dia menginjakkan kaki di SMP.
Entah karena apa, jiwa easy-going-nya menghilang bahkan di hari pertama masuk sekolah. Melihat orang-orang baru yang tentu saja berada satu tingkat di atasnya bukan hanya segi materi tapi juga segi penampilan, membuatnya menarik diri merasa ... iri, walau sisi terang dalam dirinya mengatakan ia hanya merendahkan dirinya.
Dia ... menjadi korban bullying secara verbal bahkan di hari pertama. Tak ada yang mengajaknya berbicara. Ketika dia menyapa, orang lain akan menatapnya seolah ia adalah orang paling aneh di dunia. Orang-orang baru itu hanya akan mengatakan, "Lo ngapain?! Ih, dekil!"
Awalnya ia hanya tersenyum, ikut tertawa saat beberapa orang yang mendengar hal itu tertawa.
Anya mundur beberapa langkah, masih tidak kehilangan tawanya. Memilih duduk di bangkunya, paling belakang.
Tapi, Anya saat itu tidak terlalu mengerti, ia tetap memilih duduk di sana, bersama dengan teman sekolah dasarnya, bahkan walau ia harus bersanding dengan beberapa pentolan kelas yang suka cari masalah, setidaknya dia bersyukur bisa mengenal seseorang di kelas ini.
Hari demi hari ia lewati, semakin beragam segala hal yang ia terima, masih sama seperti hari pertama, ia hanya akan ikut tertawa bersama dengan mereka, walau hatinya terasa seperti teriris belati.
Suatu hari, karena ia berusaha melawan dan menolak saat dimintai pertolongan untuk memberikan jawaban ulangan, ia malah harus mendengar kalimat-kalimat yang jaub lebih menyakitkan dibanding hari-hari sebelumnya.
"Eh, tangan gue gatal, nih. Kayaknya ada virus yang tadi gue sentuh." Salah satu dari mereka yang tadi ikut memohon agar dibantu melontarkan kalimat itu.
"Pasti banyak virus, lah. Kan ada sampah di sini, sampah masyarakat." Mereka tertawa, sesekali melirik ke arah kursi belakang, tertawa semakin kencang saat justru melihat wajah pias dari Anya.
Anya menggenggam tangannya erat, matanya terasa panas, ia berkedip beberapa kali, menghalangi air mata yang akan keluar, ia tersenyum pedih tidak bisa tertawa saat dilirik oleh orang-orang itu.
Anya yang sekarang bahkan sudah lupa dengan nama mereka, tapi sesekali kenangan itu akan merasuk ke otaknya, memberikan rasa sakit dan panas di sekujur tubuh.
Di hari itu, dia berlari keluar, memilih bersembunyi di salah satu kamar mandi di dekat kelasnya, terduduk tidak memperdulikan rok birunya yang basah dan kotor.
Ia memeluk lutut, merasa tidak kuat dengan hari ini. Ia ingin pulang, sekarang. Tapi bahkan jam belum menunjukkan tengah hari.
"Nya." Samar, gadis itu mengangkat wajah, tak ada siapa-siapa.
"Anya." Guncangan di tubuhnya membuat Anya berkedip, ia menoleh, melihat sahabatnya menatapnya heran.
Tangan yang berada di bahunya perlahan menggenggam pipi dan menghapus air yang Anya sendiri bahkan tidak meraskaan kehadirannya.
"Lo inget sama masa-masa itu lagi?" Suara itu begitu lembut, membuatnya refleks mendongak dan menggenggam tangan di pipinya, mendorongnya menjauh.
Anya menggeleng. "Nggak, nggak ada yang gue pikirin," imbuhnya. Ia menarik temannya duduk di sampingnya. Memiringkan kepala menatap sang sahabat.
"Lo gimana sama cewek lo? Kemarin berantem hebat banget." Jelas ini hanyalah topik pengalihan. Anya tidak ingin sahabatnya kembali mendengar kisah kelamnya. Jujur saja, jika bukan karena sering kedapatan menangis dan melamun sendiri, ia tidak akan pernah bercerita tentang masa lalunya itu kepada Raina, sahabat perempuannya, mereka kenal sejak SMA.
Anya tersenyum geli, merasa aneh dengan pertanyaannya sendiri, Raina perempuan, tapi dia bahkan menyebut kekasih perempuan itu dengan sebutan 'cewek'.
"Ah, udah, ah. Jangan bahas si Salsa. Masih pagi anjir, gue belum mau galau-galauan."
"Oke-oke. Terserah, deh." Anya tertawa kecil. Kembali memandang sahabatnya dari samping. Raina menatapnya juga.
"Lo kenapa malah tetap dekat sama gue, sih, Nya? Padahal lo tahu gue itu bagaimana. Si Raya aja yang gue kira dekat banget sama dia ternyata langsung mandang gue jijik sekarang." Anya dapat melihat, mata Raina sesaat menggelap saat mengatakan itu.
"Hm." Anya menopang dagu di atas meja, tidak lagi menatap sang sahabat, melainkan menatap lurus ke depan. "Sebelum gue jawab itu, gue penasaran deh," ujarnya melirik Raina yang menatapnya penasaran. "Lo yang jadi 'cowok' 'kan dihubungan lo sama si Salsa. Tapi aneh deh, sesekali lo malah kelihatan kayak cewek banget. Apalagi pas kayak gini, nih." Dia berdiri tegap, menoel pipi sang sahabat sambil terkekeh.
"Anjing," umpat Raina sangat pelan, tapi Anya bisa mendengarnya, membuat kekehannya berubah menjadi tawa yang keras.
Beberap detik, Anya menetralkan tawanya. "Gue serius nanya, Na. Penasaran gue ini. Lo ada kepribadian ganda, ya?"
"Bodo ah, Nya. Kayaknya sekarang gue nggak butuh jawaban dari pertanyaan gue tadi."
"Eh, kok ngambek, ih, Na." Anya menarik tangan sang sahabat saat perempuan tomboi itu berdiri menjauh. Karena pada dasarnya Raina adalah perempuan terkuat di kelasnya -- atau karena Anya begitu lemah -- Anya malah ikut tertarik.
"Raina, eh, gue bisa jatuh, sialan!" jeritnya karena Raina bahkan tidak berhenti melangkah.
Anya terengah, saat akhirnya Raina berhenti tepat di depan pintu. Sahabatnya itu menatap datar Raina. "Lo, sih."
"Ih, kok gue. Gue kan cuma nanya." Anya memasang wajah lugu. Saat sang sahabat semakin menggelapkan wajahnya, ia mengucapkan, "okey-okey. Gue nyerah. Minta maaf, ya, Raina ganteng." Anya menjerit kesakitan saat bahunya ditepuk begitu keras, tapi di detik berikutnya ia tertawa keras.
"Iya, iya." Setelah menetralkan tawa, Anya memandang serius Raina. Saat ini mereka berada di depan pintu, terlalu banyak orang di sini. Maka, ia menarik tangan Raina dan kembali duduk di dalam kelas, tempat awalnya tadi.
"Lo tahu, 'kan, kalau gue hampir nggak punya teman selama SMP?" Melihat Raina mengangguk, Anya menghela napas berusaha menenangkan diri dan melanjutkan, "Gue tahu rasanya dijauhin, rasanya dianggap jijik oleh orang di sekitar kita, gue ... ngerti banget itu, Na." Sesaat Anya memandang kosong ke arah Raina. "Itu makanya, gue nggak mau ngelakuin hal yang sama ke orang lain." Anya berkedip, ia tersenyum lucu.
"Lagian, ya, gue nerima-nerima aja sih orang-orang macam lo tuh, gue ... bahkan udah baca banget banyak novel yang membahas orang-orang macam lo itu. Bahkan hubungan itu jauh lebih parah." Anya mengendik, dia mengambil dua bungkus permen dari sakunya, memberikannya satu kepada Raina yang tidak ditolak perempuan itu.
"Asal, lo jangan sentuh gue aja dan juga gue harus pastiin lo nggak ngelakuin hal-hal aneh dalam hubungan lo." Mencecap rasa mint dari permen itu, Anya terkekeh geli membaca kalimat di belakang bungkus permennya. "I love you, Rainaaaa." Dia memberikan bungkus itu ke tangan Raina.
Raina membacanya dan tersenyum miring. "Apa ada pengecualian kalau lo yang ngegoda gue?"
"Bangsat."
Raina tertawa, tapi tawanya lenyap diganti dengan raut wajah datar saat seseorang masuk ke dalam kelas.
Anya mengikuti arah pandang sang sahabat, dia tersenyum manis. "Halo, Raya," sapanya dengan nada ceria.
"Hai, Anya." Perempuan anggun itu menoleh ke arah Anya dengan senyum merekah, saat menoleh ke arah Raina, dia mengganti memasang wajah jijik. Dia melengos tak peduli, lebih memilih duduk di bangku dan mulai melahap cemilannya.
"Oh, ya, Raina." Panggilan itu membuat Raina menoleh dan kembali memasang senyum lebarnya. "Ke kantin, ayok."
Anya mengerti bagaimana perasaan sahabatnya saat ini. Raya bukanlah orang yang biasa saja di mata sosok Raina, setidaknya sebelum dia menceritakan sesuatu yang membuat Raya memberikan reaksi yang tak diinginkan Raina.
Dulu, Raya dan Raina adalah dua orang yang tak terpisahkan. Mereka bersahabat bahkan sejak di hari pertama bertemu.
Raya seolah menjadi ibu terhadap Raina yang masih saja sering ceroboh dalam segala hal, terutama dalam pelajaran.
Anya bahkan begitu terkejut saat mengetahui bagaimana reaksi Raya saat tahu Raina memiliki masalah dalam urusan seksualnya.
Saat itu, kemanapun Anya pergi, selama Raina dan Raya menghirup udara di ruangan yang sama, atmosfernya akan terasa begitu penuh dengan kebencian dan juga rasa jijik.
Saat itu Anya berpikir bahwa dua orang temannya itu mungkin hanya sekadar mengalami masalah kecil, jadi seperti biasa yang terjadi pada temannya yang lain, ia membiarkan.
Dan bahkan hingga saat ini Anya membiarkan, bahkan ketika dia tahu masalah itu bukanlah masalah kecil.
"Sudahlah. Selama mereka nggak ngelewatin batas, mending gue nggak ikut campur," pikir Anya saat itu.
"Nya, lo di sini, aja. Gue beliin. Nggak usah masuk. Lo mau apa?" Anya menyengir, mengucapkan terima kasih lewat ekspresi wajahnya. Dia menyebutkan apa yang ingin dia makan dan memilih duduk di bangku yang tidak jauh dari mereka.
Iya. Dia harusnya tidak peduli masalah orang lain dan harus memikirkan masalahnya sendiri.
Anya menghela napas, dia meluruskan kaki dan memusatkan pandangan tepat di ujung kakinya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (64)

  • avatar
    Ananda putri hafidah04

    bagus

    02/02/2023

      0
  • avatar
    rryJe

    good books

    11/01/2023

      0
  • avatar
    Kinantialzahra

    sangat bgs:>

    20/09/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด