logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 41

BAB 41
KEPUTUSAN NAYLA
ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)
Keesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.
"Udah siap? Berangkat sekarang, ya?" tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....
Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.
"Yuk!" seruku bersemangat.
Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.
"Kamu kenapa, kok gugup gitu?" tanyaku dengan nada menggoda.
"Usil, ya, kamu. Udah tahu aku lagi gugup begini kok. Ini pertama kalinya buat aku, Nay. Aku takut nanti salah ngomong, duh deg-deg an nih, suer!" kata Hendra menggigit bibir bawahnya. Aku terkekeh melihatnya salah tingkah begitu. Tampak lucu dan kontras sekali dengan penampilannya.
"Ayahku memang tegas, tapi dia nggak galak kok, kamu tenang aja. Selama niatmu baik dan cara penyampaian dirimu pun sopan. Insya Allah Ayah pasti terima dengan senang hati. Pinter-pinternya kamu lah, gimana caranya ambil hati orang tua aku. Usaha dan semangat!" ujarku mengangkat tangan untuk memberinya dorongan semangat.
"Iya deh, iya. Bismillah, ya, berhasil!" kata Hendra mengacungkan lengannya.
Tak lama kemudian, kami sampai lah di depan rumah berlantai dua dengan cat abu-abu dipadu hitam. Terlihat klasik dan terkesan simpel. Sesuai dengan karakter Ibu yang bijak dan tak banyak penuntut. Mirip sekali.
Hendra memasukkan mobilnya ke dalam garasi, setelah aku turun dan disambut hangat oleh Satpam yang berjaga di depan.
Ayah keluar untuk mengintip siapa tamu yang datang. Ketika melihatku, dia tersenyum dan bergegas memelukku. Aku terharu, rasanya lama tak bertemu. Padahal baru beberapa waktu yang lalu kita masih ketemu, mungkin karena keadaan dan kondisi saat itu yang tak memadai.
"Pulang kok nggak ngomong-ngomong kamu, Nak! Ayah kaget, Ayah kira siapa?" sambut Ayah seraya mencium pucuk kepalaku yang terbalut khimar berwarna cokelat. Ayah menuntunku masuk ke dalam rumah.
"Sengaja biar jadi kejutan. Ibu mana?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Ibu di dapur. Kamu ke sini sendirian?" tanya Ayah sembari melirik ke arah luar.
Astaga!
Aku sampai lupa, dengan langkah terburu-buru aku kembali lagi ke luar. Hendra berdiri di teras dengan cengiran khasnya.
"Sorry, aku lupa ajak kamu masuk. Yuk, ke dalam, aku kenalin sama orang tuaku!" ujarku seraya mengajak Hendra masuk ke dalam. Hampir saja aku lupa membiarkannya mematung di luar, karena keasyikan ngobrol dengan Ayah.
"Okay, santai aja!" Hendra berjalan mengekor di belakangku. Di ruang tamu sudah ada Ayah dan Ibu yang duduk di sofa melingkar.
"Yah, Bu, kenalin ... ini ada temen Nayla yang datang. Dia ke sini bermaksud ingin menjalin silaturahmi dengan Ayah dan Ibu. Sekaligus ada satu hal yang ingin dia sampaikan pada Ayah," ujarku memperkenalkan Hendra pada Ayah.
"Nama saya Hendra, Om, Tante. Senang berkenalan dengan Om," kata Hendra seraya mengulurkan tangan di depan Ayah lalu beralih menyalami Ibu.
"Baiklah, duduk!" kata Ayah menyuruh Hendra duduk. Lelaki berusia tak jauh dariku itu pun menurut. Duduk di seberang Ayah dengan wajah menunduk. Aku paham, dia mungkin gugup dan bingung.
Ayah yang menangkap sinyal ketidaknyamanan bergegas mewawancarai Hendra tanpa basa-basi. Sedangkan Ibu, seperti biasa, terlihat menyimak dengan tenang.
"Baik, langsung saja, ya. Apa tujuan kamu ke sini?" tanya Ayah membuat Hendra semakin menciut.
"Maaf, Om, kalau saya dianggap lancang. Tapi, kedatangan saya ke sini punya satu niat dan tujuan yang baik. Saya ingin melamar Nayla untuk dijadikan istri, Om. Sudilah Om mau merestui hubungan kami. Usia saya sudah dewasa dan Insya Allah kondisi kehidupan saya pun sudah cukup mampu menafkahi lahir dan batin untuk Nayla. Saya tidak bisa menjanjikan kemewahan atau pun gemerlapnya dunia, Om. Tapi saya berjanji, tidak akan mengecewakan Nayla. Saya juga tidak menjamin seratus persen hidup Nayla akan bahagia selalu bersama saya, tapi saya akan berusaha untuk tidak membuatnya terluka. Apa Om mengizinkan saya untuk menjadikan Nayla sebagai istri sekaligus Ibu untuk anak-anak saya kelak? Saya berharap sekiranya Om mau menjadikan saya menantu," kata Hendra membuatku tercengang.
Hebat, aku baru tahu Hendra bisa merangkai kata semenarik mungkin untuk meyakinkan Ayahku. Aku sampai terkagum dibuatnya.
"Apa yang membuatmu tertarik pada Nayla?" tanya Ayah di luar dugaanku. Yang ada di pikiranku, Ayah pasti akan bertanya tentang pekerjaan, kemapanan dan dilanjut hal-hal tak penting yang seharusnya tidak perlu ditanyakan. Tapi, kali ini berbeda. Ayah sungguh sulit untuk ditebak. Namun, aku pun menurut, mengikuti alur keinginan Ayah.
"Dia wanita yang mandiri, cerdas dan berhati baja, cantik itu bonusnya. Saya tidak bisa melihatnya terpuruk sendirian, maka dari itu saya ingin melindunginya. Berada di sisinya selalu, sebagai penguat, pendengar serta partner yang dibutuhkan kapan pun. Saya ingin menjadi tameng untuk tempatnya berlindung. Saya kagum dengan semua kepribadian yang dimiliki oleh Nayla. Termasuk sifat pekerja keras yang dia miliki," jawab Hendra mantap.
Lagi, aku kembali dibuatnya kagum atas jawaban yang diberikan kepada Ayah. Aku yakin seratus persen, Ayah pasti merestui. Hendra pria idaman para mertua dan istri. Limited edition. Bonusnya tampan, hi hi.
Kulihat Ayah tampak mengangguk, lalu melirik ke arah Ibu untuk meminta pendapat.
"Apa kamu tak keberatan dengan status Nayla yang tak lagi gadis?" tanya Ayah, lagi-lagi di luar ekspektasiku. Kenapa juga, sih, Ayah harus menanyakan hal seremeh itu.
"Sama sekali tidak, karena semua orang pasti punya masa lalu. Dari masa lalu kita bisa belajar kesalahan, dan tak mengulanginya di masa depan. Apa lagi status saya juga sebenarnya bukan lagi perjaka. Saya sudah mempunyai anak laki-laki meskipun belum pernah menikah. Seperti yang saya bilang tadi, semua orang punya masa lalu disertai kenangan yang buruk. Nayla pun mau mengerti dan menerimanya. Maka dari itu, kekurangan masing- masing yang ada dalam diri kita, bisa diperbaiki dengan kelebihan yang kita punya. Saya yakin ke depannya bisa melewati masa depan dengan baik bersama Nayla. Saya dan Nayla akan saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Meskipun dengan kehadiran anak dari pihak saya, tak akan membuat hubungan saya dengan Nayla memburuk. Saya akan berlaku adil sesuai porsinya," ujar Hendra dengan yakin.
Ayah lagi-lagi mengangguk sembari tersenyum. Wah, sepertinya lampu hijau akan datang untuk hubungan kami.
"Oke, apa saya boleh tahu status kamu yang sekarang bagaimana dengan wanita sebelumnya yang juga sebagai ibu dari darah dagingmu sendiri?" Ayah menatap lekat ke arah Hendra, mencari jawaban kejujuran di manik indah itu.
"Jujur saja, hubungan saya dengannya tak terlalu baik. Tak ada yang perlu diperbaiki lagi di antara kami. Saya pun sudah mantap melabuhkan hati kepada Nayla. Saya usahakan, kehadiran Rosa tidak akan mengganggu rumah tangga saya bersama Nayla nantinya. Saya akan mengusahakan yang terbaik, demi kebahagiaan Nayla."
"Rosa?" Mata Ayah membulat sempurna. Dia melirikku seakan meminta jawaban.
Aku mengangguk. "Iya, Yah. Hendra ini mantan suami Rosa. Vano adalah darah daging mereka. Mungkin semua ini sudah menjadi takdir. Jalan hidup Nayla memang sudah digariskan seperti ini, mau bagaimana lagi?" ujarku dengan pasrah. Aku punya senjata paling jitu untuk membuat Ayah tak berdaya agar mau menuruti keinginanku.
"Apa kamu yakin, Nduk, dengan keputusanmu? Menjalani rumah tangga dengan bayang mantan istri yang sudah menghasilkan anak itu susah susah gampang, Nak. Ibu takut kamu belum siap. Ini semua nggak semudah seperti yang kamu bayangkan. Percaya sama Ibu, Nak!" Kali ini Ibu ikut bersuara. Dia tampak kaget saat aku menjelaskan status Hendra yang masih berhubungan dengan Rosa, wanita yang berhasil membunuh Cahaya.
"Apa nggak ada laki-laki lain lagi di dunia ini, Nay? Kok kamu suka sekali cari yang rumit!" ujar Ayah dengan nada dingin.
"Laki-laki banyak, Yah. Tapi, hati Nayla sudah terpaut pada Hendra," ujarku mantap. Ayah hanya menggeleng sembari menatap Ibu dengan sendu. Mungkin mereka khawatir putri sulungnya ini tak akan bahagia nantinya.
"Apa kamu siap dengan segala konsekuensi yang akan kamu dapatkan di kemudian hari? Terkadang manisnya hidup berumah tangga hanya terasa di awal saja, bagi orang yang tak tepat dalam memilih pasangan. Ayah takut, kamu termasuk dalam hitungan orang itu. Coba pikirkanlah sekali lagi, pikirkan dengan kepala jernih, Nay. Mengambil keputusan hidup berumah tangga tak boleh gegabah. Kalian bukan hanya hidup bersama dalam hitungan hari, bulan dan tahun. Tapi puluhan ... ya, puluhan tahun akan hidup dengan orang yang sama. Jadi, pikirkanlah dengan matang terlebih dahulu. Ayah hanya nggak mau, kamu jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Jadikan kegagalan kemarin untuk penilaian di kehidupan yang selanjutnya. Namun, kamu yang menjalani semua. Kalau kamu memang setuju dan siap, silakan saja dilanjut." Ayah menghembuskan nafas perlahan, mengambil ulang kuat-kuat. Mungkin dadanya terasa sesak sehingga membutuhkan asupan oksigen yang banyak.
"Iya, Yah, Nayla mengerti!" jawabku paham.
"Ibu hanya mengingatkan sekali lagi, menikah dengan lelaki yang mempunyai anak dari wanita lain tidaklah gampang. Dia harus berlaku adil juga, agar hak dan kewajibannya bisa berjalan dengan baik sesuai porsinya. Jangan sampai timpang sebelah, itu bisa menjadi malapetaka di hari yang akan datang. Tolong, Nak, pikirkan sekali lagi! Kamu tak hanya berurusan dengan Hendra, tapi dengan Rosa juga, Vano, dan bahkan mungkin keluarga Rosa. Apa kamu sanggup?" tanya Ibu seolah keberatan melihatku bersanding dengan Hendra.
"Insya Allah Nayla sanggup, Bu!" ujarku mantap seraya mendongakkan wajah.
"Baiklah, semua keputusan ada di tangan kamu!" kata Ayah tajam.
"Apa Om merestui?" tanya Hendra takut-takut.
"Ya, Saya tahu Nayla sudah lebih tahu mana yang terbaik untuk kehidupannya. Saya sebagai orang tuanya hanya bisa mendoakan yang terbaik, serta membantu mengingatkan. Selebihnya, biarlah dia memilih jalan hidup sesuai keinginannya sendiri. Saya pasrah padamu, jaga Nayla dengan baik. Ingat, jangan sampai membuatnya terluka hingga terdengar di kedua telingaku!" ujar Ayah terdengar seperti mengintimidasi.
Hendra mengangguk mantap, dia tampak lega dan tersenyum padaku.
"Kapan kalian akan menikah?" tanya Ayah penasaran.
"Insya Allah dalam waktu dekat, Om. Setelah dari sini, saya akan menyampaikan kepada orang tua saya untuk menentukan tanggalnya. Mereka juga akan bersilaturahmi ke sini dahulu untuk proses pengenalan. Mungkin pernikahan akan dilaksanakan bulan depan paling cepat, Om!" kata Hendra tegas. Aku melongo, bulan depan? Kenapa secepat itu? Rasanya baru saja aku menyandang gelar sebagai janda, sekarang sudah mau berganti lagi menjadi istri sah.
"Baiklah, kalian atur saja!" tukas Ayah terlihat pasrah, antara ikhlas dan tidak melepaskan putri sulungnya kepada Hendra.
Setelah berbincang santai sejenak, kami melanjutkan makan dan bergegas pulang. Hendra langsung menyampaikan kabar baik ini kepada keluarganya, terutama Papanya.
Namun, sebelum pernikahan kami dimulai. Aku hanya ingin memastikan satu hal, yakni hubungan Hendra dengan Rosa harus diselesaikan terlebih dahulu. Kami bertiga harus bertemu, jika perlu membuat surat pernyataan juga, mengingat Hendra akan resmi menjadi milikku. Aku tak ingin adanya Rosa menghambat hubungan indahku dengan Hendra di kemudian hari. Dengan dalih Vano tentunya, seperti yang dikatakan Ibu. Aku tak mau itu terjadi, maka aku memutuskan mengajak Hendra bertemu dengan Rosa sebelum tanggal pernikahan ditentukan.
Kita lihat saja, bagaimana kehidupanku ke depannya?
Padahal permintaan ku hanya satu, ingin hidup bahagia bersama lelaki yang paham agama serta tahu bagaimana cara baik untuk memuliakan istrinya. Dengan begitu, hidupku pasti akan jauh lebih sempurna dari pada sebelumnya.
Semoga ....
*****
Next besok lagi, ya, Kak. Sekalian TAMAT, HEHE.
Kurang beberapa bab aja. Nantikan juga pengumuman give away di bab terkahir, ya! Jangan sampai terlewat! 😍😍😍

หนังสือแสดงความคิดเห็น (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด