logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 38

BAB 38
PERSEPSI NAYLA
ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)
Saat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dari itu. Biar saja.
Hendra berjanji akan menghubungi ku ketika sampai di rumah nanti. Aku hanya menanggapi dengan anggukan. Rasa kantukku kembali menyerang, rupanya aku benar-benar butuh waktu untuk beristirahat. Aku sudah berpesan pada Bu Wak agar tak membangunkanku sebelum aku bangun sendiri dan Bu Wak pun mau mengerti. Setelah mandi dan membersihkan badan, aku memakai piyama bersiap untuk tidur. Ponsel kumatikan dan ku isi daya karena baterai sudah memerah. Aku ingin tidur dengan tenang tanpa diganggu. Otakku juga perlu beristirahat.
Cukup lama aku tertidur, mungkin sekitar tiga jam. Tubuhku pun rasanya menjadi lebih ringan dan fresh. Aku mengaktifkan kembali ponsel yang sempat kumatikan tadi. Ketika menyala, ada pemberitahuan bahwa Hendra menghubungi sebanyak tiga kali. Tak lupa dengan disertai chat di aplikasi berwarna hijau.
Tumben dia menghubungi ku seintens ini? Aku jadi penasaran, apa mungkin ada sesuatu yang perlu disampaikan? Kuputuskan untuk membiarkan saja panggilan darinya. Aku ingin mandi dan makan terlebih dahulu, perutku terasa lapar dan cacing di sana sudah berdemo minta diisi. Keluar dari kamar, mataku menyapu ke seisi rumah. Sepi, ke mana semua? Aku celingukan dan bergegas ke depan. Terdengar suara laki-laki dan perempuan sedang asyik berbincang. Apakah ada tamu? Kupercepat langkahku ke depan, melihat siapa yang datang. Mataku membelalak sempurna saat mengetahui Hendra yang sudah duduk dan bersantai dengan Bu Wak, aku kembali mengucek mata, untuk memastikan bahwa tak ada yang salah dengan penglihatanku. Namun, benar. Hendra memang ada di sana, nyata masih dengan pakaian yang sama seperti tadi.
"Ada tamu rupanya," ujarku basa-basi saat memutuskan bergabung dengan mereka.
"Eh, iya ... Ibu nggak enak tadi mau bangunin kamu, Nduk. Hendra udah sekitar 1 jam yang lalu di sini, dia khawatir karena ponselmu tak bisa dihubungi katanya. Eh, malah nyamperin ke sini ... padahal yang sedang dikhawatirkan lagi tidur nyenyak." Bu Wak terkekeh, sedangkan aku tampak salah tingkah dibuatnya.
Benarkah Hendra sampai bela-belain menemui ku? Apa dia benar-benar khawatir denganku? Atau mungkin ada hal penting lain yang ingin dia sampaikan padaku? Aku hanya menggeleng, menepis semua prasangka yang meninggalkan tanda tanya besar di kepala.
"Ya sudah, kalian ngobrol aja dulu. Ibu mau masuk ke dalam sekalian mau mandikan Vano, Ibu tinggal dulu, ya," pamit Bu Wak seraya mengambil Vano dari pangkuan Hendra dan membawanya masuk ke dalam. Vano pun melambaikan tangan ke arah Hendra disertai senyuman.
"Di sini aja apa masuk? Maaf, ya, aku ketiduran soalnya, jadi nggak tahu kalau kamu telefon," ujarku dengan perasaan bersalah.
"Di sini aja nggak papa, duduk sini!" Hendra menepuk kursi yang berada di sebelahnya. Matanya fokus melihat ke dapan, padahal hanya ada mobilnya yang terparkir rapi di dalam garasi. Entahlah, apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
Aku pun menurut, duduk di kursi sebelahnya sembari memperhatikan tingkahnya.
"Ada apa? Sepertinya penting banget?" tanyaku menatap lekat wajah tampan lelaki yang baru-baru ini mengisi hatiku.
"Nggak ada apa-apa. Perasaanku nggak enak aja tadi, jadi aku ke sini langsung saat kamu tak bisa dihubungi. Maaf, ya, mungkin kehadiranku mengganggu. Aku hanya khawatir dirimu kenapa-napa." Hendra memandangku dengan tatapan yang ... penuh dengan kasih sayang.
"It's okay. Nggak papa kok. Dan seperti yang kamu lihat sekarang, aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan, atau mungkin ada yang ingin kamu sampaikan padaku? Kenapa kamu gelisah begitu?" tanyaku dengan pandangan menyelidik.
"Aku nggak tahu apa yang aku rasakan ini, Nay. Hatiku terasa resah, gundah, gelisah dan seperti hampa. Tak seperti kemarin-kemarin. Aku sendiri nggak tahu kenapa tiba-tiba aku jadi aneh dan sering salah tingkah begini. Seperti jatuh rasanya," ujar Hendra tampak gugup. Berkali-kali tangannya meremas ujung bajunya.
"Jatuh?" Mataku memicing, tak mengerti dengan arah pembicaraannya.
"Ya ... aku rasa sedang jatuh cinta untuk yang kesekian kali," ucap Hendra seraya menatapku teduh, pas di manik mata.
Hal itu membuatku salah tingkah, mungkin saja pipiku merona saat ini. Rasanya aku menjadi ... malu.
"Sudahlah, kita ini sudah dewasa, tak elok bermain cinta-cintaan layaknya anak remaja. Saat ini yang aku butuhkan hanya keseriusan, itu pun sepertinya juga akan membutuhkan sedikit waktu mengingat aku ingin bernapas lega terlebih dahulu untuk menyembuhkan lukaku," sahutku dengan ekspresi datar. Hendra tampak serius mengamatiku, aku pura-pura tak memperhatikan hal itu.
"Bagaimana jika aku beneran serius, Nay?" tanya Hendra berusaha meraih tanganku namun dengan lembut ku tolak. Hendra pun menarik kembali tangannya dan tersenyum.
"Buktikan saja dahulu keseriusan dirimu. Sudah kubilang, aku ini wanita dewasa, tak hanya butuh ungkapan cinta saja. Aku harap kamu paham juga kan apa yang aku katakan?" Aku tersenyum menggodanya, padahal rasa di dalam hatiku ini terasa ingin meledak.
"Baiklah, akan aku buktikan. Aku juga perlu beberapa waktu lagi untuk meyakinkan diriku bahwa perasaan yang menggebu ini memang benar untukmu," kata Hendra terdengar gamang di telingaku.
"Nah, kamu benar! Jangan sampai kamu masih labil di usia yang se-dewasa ini. Bisa kacau di akhir hari kemudian, aku bicara seperti ini pun tak ada maksud untuk menolak atau mengecilkan hatimu. Aku begini ingin memberimu tantangan, bahwa cinta saja tidak cukup dijadikan modal untuk serius dalam menjalani hubungan. Butuh konsisten, usaha dan jiwa besar dalam menjalani sesuatu yang dinamakan komitmen. Aku ingin pria yang seperti itu. Tak peduli berapa jumlah hartanya, berapa nominal saldo di ATM-nya, merk apa mobil yang dia punya dan berapa keuntungan bersih dari usahanya. Bukan seperti itu yang aku perlukan. Perhatian saja pun juga tidak cukup, aku tidak perlu ditanya sudah makan apa belum, apa hariku menyenangkan dan bagaimana pekerjaan hari ini? Bukan juga tentang itu. Yang aku butuhkan, bagaimana seorang lelaki mengerti arti dari komitmen untuk mencintai seumur hidup, dan tidak menyakiti meskipun dia sanggup. Lelaki yang hebat adalah lelaki yang paham bagaimana cara terbaik untuk tak membuat wanitanya terluka. Meskipun belum mampu membahagiakan, setidaknya jangan pernah mengecewakan. Dan aku rasa, susah sekali mencari lelaki sesuai kriteriaku itu tadi. Bagaimana menurutmu? Apa aku terlalu berlebihan untuk menentukan standar lelaki yang ingin mendekatiku? Aku memang bukan seorang permaisuri, aku juga bukan siapa-siapa. Tapi, sekali aku jatuh cinta dan berpegang teguh janji dengan satu lelaki, maka selama itulah aku akan berjuang mati-matian untuk menjaganya, menjadikan diri ini perempuan yang layak agar tepat berada di sampingnya. Dan satu lagi, pasangan itu di samping tempatnya. Bukan di depan, bukan pula di belakang. Dari sini mungkin kamu paham, setinggi apa ekspektasiku terhadap pasangan hidup?" Aku tertawa. Kulihat Hendra sampai terbengong mendengarkan penjelasan ku. Aku sendiri juga tak tahu dari mana belajar merangkai kata-kata seperti tadi. Tapi, itulah kenyataannya. Itu memang benar sesuai dengan keinginan dari dalam hatiku.
"Good job. Aku suka wanita dengan pikiran cerdas sepertimu. Kamu bukan hanya dominan, lebih dari itu, bahkan aku sendiri sampai terpana mendengarmu berbicara seperti tadi," puji Hendra ikut tertawa.
"Hanya kebetulan, tanpa direncakan. Semua keluar begitu saja tanpa aku script sebelumnya," ujarku disertai dengan senyum menggelegar. Hendra tak mau kalah, dia juga ikut tersenyum melihat tingkahku.
"Tapi, Nay?" tanya Hendra menggantung.
"Kenapa?"
"Jika nanti aku berhasil seperti yang kamu harapkan, apa kamu benar-benar menepati perkataanmu? Seperti yang kamu bilang, kamu akan memperbaiki diri lagi agar lebih pantas bersanding dengan lelaki yang sesuai dengan kriteria mu. Begitu?" tanya Hendra penasaran.
"Tentu saja, aku juga akan memantaskan diri. Tak adil rasanya jika pasanganku saja yang aku tuntut sempurna dan sesuai dengan kemauanku. Tapi aku sendiri hanya menikmatinya tanpa memberikan timbal balik yang sesuai. Hubungan harus saling memberi dan memberi, bukan memberi dan menerima. Salah itu!" ujarku terdengar yakin dan mantap.
"Kamu memang benar-benar perfect, Nay! Membuatku ingin segera menghalalkan mu," ujar Hendra sungguh-sungguh.
"Coba saja kalau kamu bisa!" ucapku sarkasme.
"Siapa takut? Dengan senang hati akan aku coba!" Hendra menatapku serius dan mengerlingkan matanya dengan genit.
Oke, kita akan lihat saja ke depan, siapa yang lebih dulu 'jatuh' dalam permainan berjudul cinta ini? batinku dalam hati.
*****
Next nanti jam 1 siang 2 bab ya, Kak. Mwah😁

หนังสือแสดงความคิดเห็น (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด