logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 36

Bab 36
Menemui Rosa
ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)
"Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.
"Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?" Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.
"Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan," ujarku seraya mengulas senyum.
"Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku," kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.
"Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana."
"Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan dia," ucap Hendra dengan tatapan iba.
"Siap, i'll be there for you!" Aku mengangguk, merapikan bajuku dan bergegas beranjak. Kamu sudah selesai makan dan menuju arah pulang.
Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, tak ada yang bersuara sepatah kata pun. Semuanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Terutama Hendra, dia sangat pendiam, lain dari biasanya. Aku pun tak berani mengajaknya bicara, ingin memberikan waktu luang untuk dirinya menenangkan pikiran. Setelah sampai di rumah, Hendra bergegas pulang, tak mampir dulu. Dia menjadi sedikit cuek semenjak mendengarkan penjelasan Bu Wak beberapa jam yang lalu.
"Makasih atas undangannya, see you. Hati-hati di jalan, ya!" ujarku saat turun dari mobil Hendra. Pria itu hanya menanggapi dengan senyuman lalu melangkah pergi dengan mobilnya. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Rasanya tubuhku lelah dan ingin beristirahat sejenak. Aktivitas yang padat membuatku kurang beristirahat.
Saat hendak masuk ke dalam kamar, Bu Wak yang baru saja menidurkan Vano, berjalan ke arahku. Seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
"Nay ... capek? Ibu mau ngobrol sebentar aja, boleh?" tanya Bu Wak meminta ijin terlebih dahulu.
"Boleh, Wak. Ada apa?" Karena tak enak hati menolak, aku pun terpaksa menyetujuinya, padahal tubuhku sudah pegal ingin bermanja dengan kasur.
"Ibu jadi nggak enak sama Hendra, dia langsung berubah gitu. Apa dia kecewa ya, sungguh ini membuat Ibu semakin kepikiran," kata Bu Wak dengan wajah cemas.
"Nayla tahu bagaimana Hendra. Kalau dikata kecewa, itu pasti, Wak. Siapa juga yang nggak kecewa kalau tiba-tiba dapat kenyataan begitu. Tapi, Hendra itu bijak, Wak. Sebelum menyalahkan orang lain, dia pasti mencari terlebih dahulu kesalahannya. Hendra memang sebaik itu yang aku tahu, jadi berhentilah untuk merasa tak enak hati begitu. Wak nggak baik ah, jangan banyak pikiran. Hidup yang tenang, bahagia gitu, loh!" Aku mengingatkan Bu Wak agar tak dilanda rasa kecemasan yang berlebih.
"Begitu, ya, Nay? Jujur saja Ibu takut. Penjelasan ini akan merubah semuanya, berdampak buruk untuk kehidupanmu juga. Ibu hanya ingin melihat kamu bahagia, Nay. Saatnya kamu hidup nyaman dan bahagia," ujar Bu Wak membuatku berkaca-kaca.
Mendengar penuturan Bu Wak membuat rasa egoku muncul. Aku juga ingin bahagia, siapa coba manusia di dasar bumi ini yang tak ingin bahagia? Tak ada ... bisa hidup tenang dan bahagia sudah menjadi keinginan terbesar semua umat manusia, begitu juga denganku. Setelah melewati puluhan badai, dihantam ombak dan terbentur karang, aku juga ingin mencicipi manisnya rasa bahagia dalam hidup. Tapi tetap saja, aku tak boleh egois apalagi memaksakan perasaan orang lain demi diriku sendiri. Biarlah aku menanti kebahagiaan, meskipun perlu waktu beberapa tahun lagi ... akan senantiasa kunanti.
"Nay? Kok ngelamun?" Bu Wak mengibaskan tangannya ke depan wajahku. Aku mengulas senyum terbaik yang ku punya. Meyakinkan Bu Wak bahwa aku akan baik-baik saja.
"Tenanglah, aku percaya akan takdir kehidupan. Tak selalu hujan yang mengguyur bumi ini, pasti akan ada masa terik, angin dan pelangi. Begitu juga dengan jalan hidupku. Tak mungkin sedih dan kecewa selalu yang aku rasakan. Suatu saat nanti, entah kapan dan dengan siapa, aku pasti bisa merasakan kebahagiaan, Wak. Pasti ... semua hanya karena waktu saja," ujarku seraya menghambur ke pelukan Bu Wak. Aku berbicara begini semata-mata hanya ingin membuat Bu Wak tenang.
"Masya Allah, kenapa kamu jadi orang terlalu baik, ya, Nduk? Semoga Allah selalu merestui jalanmu. Melindungi dan melancarkan semua urusanmu. Ibu yakin, suatu saat nanti ... kamu pasti akan menjadi orang yang paling bahagia dan merasa beruntung di dunia. Pegang omongan Ibu," kata Bu Wak mendoakanku dengan tulus.
"Alhamdulillah, makasih banyak, Wak ... atas doa dan kebaikan selalu yang Wak berikan untuk hidup Nayla. Semenjak kehadiran Wak, Nayla banyak belajar apa itu berjuang dan berkorban. Terima kasih karena selalu menasehati serta berupaya memberikan yang terbaik untuk Nayla. Sayang Wak banyak-banyak, deh!" Bu Wak memelukku begitu erat, hingga kurasakan hangat sentuhan layaknya Ibu kandungku sendiri.
"Ya sudah, tidurlah. Banyak istirahat, ya!" Bu Wak melepaskan pelukannya. Aku mengangguk dan bergegas masuk ke dalam kamar.
Baru saja aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, setelah mandi dan bersih-bersih diri. Deringan dari ponselku membuatku mengurungkan niat untuk rebahan.
Hendra is calling ....
Kening ku mengernyit saat melihat siapa yang telefon. Ada apa, ya? Tanpa menunggu lama aku pun segera mengangkat panggilan telefon dari lelaki yang pernah menjadi cinta monyetku dulu.
"Halo ... Assalamualaikum?" sapaku mengawali dengan salam. Terdengar suara helaan nafas dari seberang.
"Waalaikumsalam, Nay ... aku ganggu, nggak?" tanya Hendra tiba-tiba.
"Ehm, nggak kok. Kenapa?" tanyaku mengulum senyum.
"Besok, bisa kita pergi mengunjungi Rosa? Aku kepikiran terus, Nay. Entah kenapa perasaanku dari tadi nggak enak. Boleh kamu luangkan sedikit waktu sejenak untuk menemaniku ke sana?" pinta Hendra dengan suara memohon.
"Okay, siap. Besok jam berapa?" tanyaku untuk memastikan.
"Pagi aja, ya. Biar aku jemput ke sana," kata Hendra.
"Oke, deh!" Aku pun mengiyakan ajakan Hendra untuk menemui Rosa.
"Baiklah, sampai ketemu besok. Aku cuma mau bilang gitu aja, makasih banyak ya, Nay!" ujar Hendra.
"Sama-sama."
"Ya sudah aku tutup, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Aku pun menutup panggilan dari Hendra, kulempar ponselku ke atas ranjang. Entah kenapa aku merasa sesak saat Hendra memintaku menemaninya untuk bertemu dengan Rosa. Aku tak mau munafik, jujur saja aku cemburu. Aku takut perasaan Hendra kembali untuk Rosa. Bukankah Allah SWT Maha membolak-balikkan hati? Aku takut tak diberi kesempatan untuk merajut kisah lamaku bersama Hendra. Padahal beberapa hari yang lalu dia dengan terang-terangan melamarku, mendekati ku seakan ingin aku jadi tulang rusuknya. Tapi, sekarang? Semudah itu dia berpaling dan memainkan perasaanku?
Ah ... tak mau pusing aku memikirkannya, lebih baik aku beristirahat saja. Tubuh serta otakku sudah cukup terforsir dengan kegiatan hari ini. Aku tak ingin Hendra kecewa, aku harus supportif jika memang harus bersaing dengan Rosa, sekali lagi.
Aku menarik selimut hingga ke batas dada, setelah cukup lama terbaring ke kanan dan ke kiri, berguling ke sana ke mari, akhirnya mataku mau juga terpejam.
Aku terbangun saat adzan subuh berkumandang, bergegas mandi dan mengambil wudhu untuk menunaikan dua rakaat. Kudengar Bu Wak juga sudah bangun, mungkin dia sedang mencuci pakaian, terdengar dari suara pengering yang berputar. Setelah salat, aku membantu Bu Wak menyiapkan sarapan. Tak lupa juga berpamitan padanya bahwa hari ini aku akan pergi menemani Hendra ke tempat Rosa. Bu Wak pun mengusap pundakku, seakan mengerti isi hatiku, isi perasaanku. Aku hanya membalasnya dengan senyum singkat sembari berkata bahwa aku akan baik-baik saja.
Kami sarapan bersama, Vano rupanya masih tidur. Baru pukul 07.00 pagi, setelah sarapan aku menikmati acara siaran di Televisi untuk mengalihkan perasaanku yang tak karuan.
Tepat pukul 08.00 pagi, Hendra datang menjemputku. Aku mengganti pakaian rumahan dengan gamis simpel dan pashmina berwarna senada. Aku sengaja tak menggunakan makeup berlebih. Hanya sapuan bedak tipis dan polesan lipstik berwarna nude agar tampak fresh. Setelah berpamitan pada Bu Wak, kami pun berangkat membelah jalan raya, menggunakan mobil Hendra. Lagi-lagi hanya diam dan hening yang tercipta di antara aku dan Hendra.
"Kamu udah sarapan, Nay?" tanya Hendra setelah sekian lama kami hanya terdiam dengan aktivitas masing-masing.
"Sudah kok," jawabku singkat.
"Oh, ya sudah!" Hendra mengangguk dan kembali terdiam.
Apa-apaan? Ini bukan Hendra seperti biasanya. Dia memang berubah dan bodohnya aku hanya diam saja. Tak sengaja aku menghela napas kasar, yang didengar oleh Hendra. Dia melirikku sekilas sebelum akhirnya menatap lurus fokus ke depan lagi.
"Ada apa, Nay? Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan atau mungkin tanyakan?" tanya Hendra sembari tetap fokus pada jalan raya.
"Nggak, kok. Nggak ada," jawabku datar.
"Bohong, katakan saja. Ada apa? Apa yang membuatmu merasa tak enak atau mungkin mengganjal?" Hendra masih saja mendesak ku untuk jujur.
"Nothing!" Aku mengedikkan bahu, berusaha meyakinkan bahwa aku tak kenapa-kenapa.
"Kalau nothing, kok tingkah mu kayak aneh gitu. Pasti ada something, Nay?" Hendra masih saja mencoba mendesakku agar mau berbicara.
"Kalau kamu merasa seperti itu, kamu pikir kenapa? Apa mungkin kamu bisa menebaknya?" balasku padanya.
"Kalau aku cenayang yang bisa tahu tanpa bertanya, sudah pasti aku tak akan susah-susah dong, mendesak mu seperti tadi," ujar Hendra seraya terkekeh. Suasana pun kembali cair.
"Nggak lucu!" ujarku sedikit ketus.
"Nah, kan. Fix ini, pasti ada sesuatu. Kita mampir makan es pisang ijo dulu, yuk? Siapa tahu dengan begitu bisa membuat moodmu baikan? Mau?" tawar Hendra sambil melirik ke arahku.
"Nggak mood, lagi males!" jawabku.
"Ayolah, Nay. Kamu kenapa, sih? Apa aku membuat kesalahan?"
"No!"
"Lalu?"
"Sudah aku bilang, aku nggak kenapa-kenapa. Kenapa nanya terus sih?" ujarku mulai terganggu.
"Oh, okay-okay! I'm sorry. Bahkan aku nggak tahu salahku di mana," sahut Hendra dengan enteng.
Begitulah laki-laki? Dengan seenak jidat mengatakan nggak tahu salahku di mana. Padahal dia sudah berhasil memporak-porandakan isi hati seorang wanita. Setelah dibuat melayang tinggi, tiba-tiba dijatuhkan, dihempaskan begitu saja. Lalu direngkuh kembali, disanjung hingga terbang, lalu dilepaskan begitu saja. Begitu terus lalu dengan entengnya bertanya, apa salahnya? Ah ... tak mengerti dengan jalan pikiran si lelaki. Mereka bilang bahwa isi hati perempuan susah ditebak, selalu benar dan suka semaunya. Tanpa dipikir lagi bahwa kerap kali lelaki juga terkadang sama.
"Malah ngelamun! Emang kenapa, sih, Nay? Aku bingung loh, aku ngerasa kamu beda gitu hari ini. Apa, ya? Kamu jadi kayak lebih dingin gitu ke aku, Nay. Apa ini hanya perasaanku saja, ya?" Hendra meraih tanganku, menautkan dengan celah jemarinya lalu menggenggam erat. Hal sekecil ini saja sudah membuatku meleleh.
"Perasaan kamu aja kali," sahutku seraya melepaskan tautan jemari Hendra dengan lembut. Sontak hal itu membuat Hendra menoleh dan menatapku heran. Dia menepikan mobilnya dan berhenti tepat di jalan yang sepi. Matanya yang setajam elang menatapku dengan lekat, aku tak suka ditatap seperti itu sehingga sebisa mungkin aku mengalihkannya, membuang pandanganku ke jendela.
"Apa aku berbuat salah padamu, atau ada sikapku yang nggak aku sadari sudah melukaimu? Please, tell me!" Hendra meraih daguku perlahan, menatap bola mataku yang terpejam.
"Open your eyes, Nay! Izinkan aku melihat kesungguhan di sana!" Hendra membelai pipiku dengan lembut.
"Apa, sih!" tepisku menyingkirkan tangan Hendra. Jujur saja aku kesal melihat sikap labilnya yang seperti ini.
"Aku nggak ngerti, Nay. Tolong jangan cuekin aku begini! Ada apa sebenarnya? Apa ini ada kaitannya dengan kita menjenguk Rosa hari ini?" tanya Hendra membuatku sedikit berjingkat.
Yap! Tebakannya benar dan pas sasaran.
"Katakan, apa benar?" Hendra masih saja mencari jawaban atas rasa penasaran yang dia rasakan.
"Menurutmu?" Aku balas bertanya, biar saja, emangnya enak mempermainkan perasaan wanita begitu saja?
"Menurutku begitu, maybe!" ujar Hendra sembari mengedikkan bahu.
"Yeah!" Aku pun mengalah. Mending aku mengiyakan saja kemauannya.
"Kenapa?" tanya Hendra mendekatkan wajahnya padaku.
"I'm affraid to lose you, that's it!" ujarku dengan suara tertahan, meskipun malu, aku tetap harus jujur mengungkapkan apa yang aku rasa.
"Really? Do you love me?" Hendra semakin mendekatkan kepalanya ke arahku, sehingga hembusan nafasnya pun menyapu wajahku.
"Maybe," jawabku lirih.
"Kenapa kamu menyatakan cinta di saat seperti ini?" tanya Hendra dengan suara parau, tiba-tiba wajahnya menjauh dariku.
"Seperti ini? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Saat hatiku sedang bimbang untuk berlabuh kembali pada Rosa, maybe!" jawab Hendra pelan, pelan sekali.
Aku merebahkan tubuhku pada sandaran kursi mobil, seketika sendi-sendi di tubuh ini terasa lemas mendengar penuturannya barusan.
Dengan tarikan nafas, aku berkata. "Tak usah kamu pikirkan perasaanku. I'm Okay. Dengarkan saja isi hatimu, karena di antara kalian ada satu ikatan penting yang kita nggak punya."
"Maksud kamu?" tanya Hendra.
"Aku tak ingin membuat Vano kehilangan masa depan. Ada Vano di antara hubungan kalian. Dia lebih penting, jangan memikirkan ego. Sedangkan kita? Hanya serpihan masa lalu yang kebetulan bertemu kembali di saat kosong. Kebetulan saling mengisi dan hanya sebatas itu. Tidak lebih. Berbeda dengan ikatan cinta antara kamu dengan Rosa. It's oke, nggak usah sibuk memikirkan perasaanku lagi. Aku bahagia kalau kamu bahagia, trust me!" ujarku dengan senyum semanis mungkin, padahal hatiku rasanya pilu. Bak kertas yang diremas sekuat mungkin lalu dihempaskan begitu saja di tempat sampah. Ya ... seperti itu.
*****
Idih, sapa yang taro bawang di sini? Hiks

หนังสือแสดงความคิดเห็น (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด