logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Sebuah pertemuan

Irwan, Nuno, Jamet, Hamdan, Sarwan, dan Vina sedang makan bersama-sama di kantin. Ya, kali ini Vina sedang ulang tahun. Lumayan bagi anak kos tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk menghemat uang bulanan mereka. Vina sengaja merayakan ultahnya sesudah selesai PKL.
"Sering-sering traktir gini, ya, Vin, " ucap Jamet sambil mengunyah makanan ke dalam mulutnya yang penuh makanan. "Lumayan ini buat anak kos, biar bisa hemat gitu."
Vina memutarkan bola matanya. "Seneng buat lo, rugu di gue, Mamet, " cibir Vina, memanyunkan bibirnya. Dari awal kuliah Vina memang selalu memanggil Jamet dengan sebutan "Mamet", nama plesetan spesial untuk Jamet.
Irwan pun hanya tertawa melihat perdebatan antara Vina dan Jamet yang masih berseteru dan saling ejek.
"Besok bentar lagi si Jamet kayaknya ultah, jangan lupa traktirannya, Bro." Hamdan melihat layar ponselnya dan melihat dua minggu lagi Jamet akan berulang tahun. Ya, ultah Vina dan Jamet hanya berjarak dua minggu saja dan masih bulan yang sama. Vina lahir bulan November awal sedangkan Jamet November akhir.
"Tuh, Mamet, jangan lupa traktirannya, " celetuk Vina, tak mau kalah. Gadis itu menjitak kepala Jamet yang keribo.
Jamet hanya terkekeh. "Gue nggak janji, ya. Kalau ada uang pasti gue traktir, deh. Kalian tahu sendiri, gue aja kadang suka ngutang sama Irwan. Ya, nggak, Wan?" Jamet berkata tanpa dosa di hadapan teman-temannya kalau dia suka berutang pada Irwan. Bagaimana lagi, kadang orang tuanya telat mengiriminya uang, mengingat tidak hanya dia yang butuh biaya, tapi adik-adiknya yang lain pun perlu biaya.
"Gue tunggu traktiran lo, ya, Mamet, " cibir Vina lagi sembari mengibaskan rambutnya.
Jamet mengacungkan dua jempol.
Irwan pun bangkit dari kursi. Kebetulan dia  akan bergegas ke kamar kecil seudah menghabiskan makanannya tadi
Irwan pun berjalan menuju kamar mandi yang tak jauh dari kantin.  Saat akan berbelok,  Irwan tak sengaja menabrak seorang perempuan.  Untung saja perempuan itu tidak terjatuh, hanya menabrak lengannya.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Irwan dengan rasa bersalah.
"Saya nggak apa-apa, " jawabnya.
Irwan mengangguk,  lalu ada dorongan apa dia mengulurkan tangan ke perempuan itu.  "Kenalin, gue Irwan."
Perempuan itu engan membalas uluran tangan Irwan.  "Saya Safira."
"Safira?" Irwan mengangguk.  "Oke Safira salam kenal,  dan maaf karena gue nggak sengaja nabrak lo."
Safira mengangguk, lalu berlalu begitu saja.
Irwan pun meneruskan ke kamar mandi dan setelah selesai dia kembali ke kantin.
"Lama amat lo?" tanya Hamdan.  Setelah perseteruan itu,  kini Hamdan bersikap biasa pada Irwan.
"Tadi nggak sengaja nabrak cewek,  Ndan.  Ya,  nggak mungkin, kan gue langsung pergi gitu aja?" Irwan duduk di kursi.
Hamdan berdecak.  "Cantik nggak ceweknya?" Hamdan setengah melirik ke arah Vina yang sepertinya terbakar api cemburu.
Irwan terdiam.
"Cantik,  kan?" Hamdan menaikkan sebelah alis,  masih memandangi raut wajah Vina.
Irwan menggeleng.  "Nggak, lah,  biasa aja kok,  Ndan."
"Halah .... bilang aja cantik?" Hamdan terus memanas-manasi Vina yang tengah diam.
"Apaan,  sih,  lo Ndan,  berisik banget tahu nggak?" Vina sedikit mengebrak meja.
Hamdan hanya terkekeh.  Usahanya menggoda Vina sukses.
"Bro, gue duluan,  ya?" Sarwan bangkit dan berpamitan kepada kelima temannya.
"Oke,  Bro.  Hati-hati,  ya?" Nuno melambaikan tangan disusul keempat temannya.
Irwan terdiam. Ada rasa aneh saat melihat perempuan bernama Safira tadi.  Sepertinya dia pernah melihatnya,  tapi di mana?
"Udah,  lupain aja, " lirih Irwan.
Nuno yang sedari tadi memperhatikan Irwan yang seperti kebingungan pun menepuk bahu Irwan.
"Wan,  lo kenapa?" tanyanya.
Irwan mengangkat bahu.  "Nggak tahu, No,  gue kayak nggak asing sama cewek yang gue tabrak tadi."
Mata Nuno melotot.  "Emang lo pernah lihat dia di mana sebelumnya?"
Irwan menggaruk kepala.  "Gue juga nggak tahu,  No,  tapi beneran muka dia nggak asing."
Nuno diam sejenak,  mencoba mencerna perkataan Irwan.  "Emm ... besok kalau lo ketemu dia,  lo tunjukin ke gue,  ya?  Kali aja gue juga pernah kenal."
Irwan mengacungkan jempol sebagai jawaban.
***
Irwan merasakan ngantuk dalam dirinya. Tapi belum juga dia bisa tertidur. Jamet sudah tertidur pulas.
"Ya Allah udah jam segini, belum juga bisa tidur." Irwan masih tetap memejamkan mata, berusaha tertidur. Namun tetap tidak bisa.
Sial, batinnya. Dia akhirnya menyalakan radio dari ponselnya, siapa tahu dengan mendengarkan lagu-lagu dia bisa tertidur.
Beberapa saat kemudian Irwan pun tertidur pulas. Samar-sama dia mendengar suara radio itu berubah menjadi jeritan minta tolong.
"Tolong."
Suara itu semakin terdengar jelas saat Irwan terbangun.
"Tolong."
Suara itu terdengar lagi di radio itu. Irwan memekakan telinganya, mencoba mendengar suara yang didengarnya benar atau tidak. Irwan pun mendekatkan ponselnya ke telinga. Benar suara minta tolong itu berasal dari radio ponselnya. Irwan pun mematikan radio itu. Cowok itu menggelengkan kepala. "Beno mau minta tolong lagi?"
Irwan pun membangunkan Jamet yang tertidur. Dia menguncangkan bahu temannya itu
"Apa, sih, Wan, " ucap Jamet masih menahan kantuk.
"Baru saja di radio ponsel gue si Beno minta tolong lagi, Met, " jawab Irwan.
Jamet mengerjap-ngerjap, dia menggelengkan kepalanya. "Mana?"
"Udah gue matiin, Met." Irwan memegang pundak Jamet. "Gue jadi nggak yakin bisa mengungkap ini semua."
Perkataan Irwan membuat Jamet heran. Bukankah dia yang paling semangat menguak kasus ini? Lantas kenapa sekarang sepertinya Irwan putus semangat?
"Ayolah, Bro. Kita pasti bisa, " sahut Jamet. "Lo itu nggak sendiri."
Irwan menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. "Gue takut gara-gara sikap sok detektif kita, kita semua celaka, Met." Irwan menatap Jamet tajam, kemudian dia menunduk. "Gimana kalau dia bakal celakain kita semua?"
Jamet hanya terdiam, dia juga tidak tahu menjawab apa. Mungkin benar apa yang dikatakan Irwan kalau pelaku itu bisa saja menyelakai siapa saja yang ingin ikut campur masalah pribadinya.
"Tapi gue yakin, dia bakal nyelakain orang yang ada kaitannya sama Beno. Contohnya Sari dan Thoriq. Jujur gue sekarang nggak ngerti sama dia,  kenapa dia juga bunuh Thoriq,  tapi gue yakin, Wan, si Thoriq juga punya kaitan khusus sama pelaku itu.  So, gue rasa lo nggak usah terlalu khawatir. Kita nggak bakal kenapa-kenapa, Wan, " jelas Jamet.
Irwan merangkul bahu Jamet. Ucapan Jamet menyadarkannya. Toh, penyelidikan ini sudah di tengah-tengah, tidak mungkin juga mereka mundur. Ibarat sudah akan mencapai garis finish.
"Toh, kalau kita nggak bisa menguak pun, gue rasa suatu saat nanti dia bakal ngaku sendiri. Nggak ada kejahatan yang nggak mungkin terungkap, " ucap Jamet lagi. "Lo pasti pernah lah baca berita atau apa? Nah, lo pernah tahu nggak, seseorang pembunuh yang mengubur jenazah orang di dalam rumahnya aja bisa ketahuan polisi. Itu dia nguburnya udah puluhan tahun aja kebongkar, kok. Apalagi ini masih lingkup kampus, Wan."
Irwan mengangguk. Ucapan Jamet memang sangat briliant. Benar kata Jamet tidak ada kejahatan yang tak bisa terungkap.
"Makasih, Met, lo udah nyadarin gue." Irwan tersenyum pada temannya itu.
"Nah, intinya kita jangan putus aja, lah." Jamet merangkul bahu Irwan erat. "Kalau kita lapor polisi pun gue rasa percuma juga, Wan. Lo tahu lah, dari awal sidik jari pelaku itu nggak terdeteksi."
Irwan mengangguk. Hal itu lah yang sampai sekarang menjadi perkara. Saat awal mereka menemukan mayat Beno dan dievakuasi oleh polisi tidak ditemukan sidik jari pelaku. Jadi pihak polisi mengklaim kasus Beno murni bunuh diri.
"Apalagi keluarga Beno enggan buat autopsi, " ucap Irwan. "Dan gue merasa ibu Beno selama ini juga menganggap anaknya emang bunuh diri. Ya,  pada akhirnya setelah kita ke rumah dia untuk yang kedua kalinya,  ibunya bilang Beno sering muncul,  kan?"
Jamet mencerna kata perkata yang diucapkan oleh Irwan. Dia jadi teringat kasus yang juga menimpa Thoriq. Ya, kasus itu memang tidak dikasuskan ke polisi karena ibu Thoriq memang yakin anaknya ditabrak secara tidak sengaja.  Itu yang jadi persoalannya. Apa sebenarnya motif pelaku.
"Tapi apaa, ya, Wan motif pelaku itu?" Jamet mengernyitkan dahi.
Irwan mengedikkan bahu. "Gue juga nggak tahu, sih."
"Sari juga nggak tahu apa-apa, ya?"
Irwan menggeleng. "Kita juga harus suruh Sari hati-hati. Gue yakin aja dia bakalan nyelakain Sari lagi,  kayak kapan itu."
"Gue juga ngerasa gitu," jawab Jamet. "Mungkin dia terobsesi sama Beno. Dari hasil analisa gue,  sih,  gue yakin dia cewek. Seperti apa yang Vina pernah bilang ada orang yang naksir berat sama Beno."
Irwan berpikir sejenak, memikirkan pola pembunuh itu. "Kalau gue mikirnya gini, dia mungkin tahu kalau Beno pacaran sama Sari. Nah, mungkin aja dia cemburu gila, ya? Karena dia nggak bisa dapatin Beno, sekalian aja dia bunuh Beno supaya nggak ada yang milikin Beno."
Jamer menunjuk-nunjuk Irwan. "Bener, tuh, Bro. Tapi kenapa dia juga ngebunuh Thoriq?"
Irwan lagi-lagi menggelengkan kepala.
"Gue nggak tahu, Met."
**

หนังสือแสดงความคิดเห็น (417)

  • avatar
    MoeSITI NUR SARAH BATRISYIA BINTI RIDHWAN TONG

    thankyou author , alur cerita menarik , plot twist dia memang power lah 😭💗

    11/08/2022

      0
  • avatar
    NouviraErry

    ya menarik x ngwri

    22d

      0
  • avatar
    Gorengan88Sambalpedas1989

    bagus banget

    24d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด