logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 8 Bulan Madu

"Apakah ada barang?" tanya Ayu saat sopir mengantar mereka ke rumahnya. Dia sudah berganti kembali ke gaun hijau limau yang diberikan ibunya pagi itu.
"Ya, itu sudah di bagasi," katanya dengan mata berat.
"Apakah kamu?" Ibunya telah mencoba untuk memberitahu Ayu sepanjang sore untuk sedikit saja minum anggur. "Kurasa kamu terlalu banyak minum."
Dia terkekeh sinis, tangannya sibuk menarik dasi kupu-kupunya, "Kamu bertingkah seperti orang Bodoh, kamu tahu itu?"
"Gak, gue mah gak mabuk."
"Lalu kenapa tiba-tiba khawatir?"
"Gue gak khawatir. Gue cuma kasih tahu bahwa lo terlalu banyak minum, itu saja."
"Hmm ... ya, mungkin ...." Roy terdiam dan mulai tertidur.
"Lo mungkin menyesal ketika naik pesawat nanti," katanya dengan seringai jahat.
"Kenapa?" Roy bertanya, matanya tertutup.
"Lo akan lihat..." jawabnya misterius.
Ayu menatap suaminya yang sedang tidur dan tersenyum.
*****
Hari sudah mulai gelap ketika mereka sampai di rumahnya. Ayu membangunkan Roy dan menyuruhnya untuk membantu. Dia dengan malas menurut dan turun dari mobil.
"Apa semua ini?" tanyanya saat melihat koper-koper di samping pintu.
"Bawa saja mereka ke mobil," katanya sambil pergi ke telepon untuk mendengarkan pesan.
Roy menggerutu pelan ketika mengambil dua koper. Ayu berjalan keluar pintu tetapi pesan di teleponnya berbicara, suara Soni nyaring dan jelas, "Ayu, ini Soni. Saya harap kamu menerima pesan saya. Saya ingin bicara. Tolong telepon saya kembali."
Ayu tahu suaminya mendengar semuanya, tapi dia tidak terlalu peduli. Roy bisa mati karena rasa ingin tahu tapi Ayu tidak akan pernah mau menjelaskan apa pun.
"Siapa itu?" Roy bertanya seraya pergi mengambil koper terakhir yang tersisa.
"Tidak ada," jawabnya seraya mengangkat alisnya ke arah Roy. Ayu hanya berdiri di sana tanpa bergerak, menatapnya dengan saksama. "Apa?"
"Sudah gue bilang gak ada hubungan seksual dalam pernikahan ini. Tidak ada pacar atau kekasih," kata Roy, dingin.
Ayu menghela nafas. Dia lebih suka Roy mengantuk daripada terjaga. "Gue gak punya hubungan yang seharusnya mengkhawatirkan reputasimu, oke?"
"Lalu siapa itu?"
"Seorang teman."
"Tidak terdengar seperti itu, kok," pungkas Roy.
"Berhenti kepo. gue gak suka. Gue bahkan gak nanya tentang Yeyen atau siapa pun dia."
"Yeyen?"
"Kenapa? Kamu lupa namanya? Yang saat makan malam," katanya sinis.
"Berhenti lakukan itu."
"Melakukan apa?"
"Apa pun yang kamu lakukan," katanya.
"Apa yang gue lakukan?"
"Kamu bersikap sarkastis."
"Gue anggap seni," kata Ayu, mengakhiri percakapan mereka. "Ayo pergi, gue sarankan lo kembali tidur. Gue lebih suka."
*****
Ayu menyerahkan tiketnya ketika mereka sampai di bandara. Hanya butuh beberapa detik sebelum Roy menatap tajam ke arahnya.
Ayu tersenyum puas padanya, sisi jahatnya berkuasa sekarang.
"Saya gak nyangka kamu benar-benar melakukan ini." Roy hampir berteriak.
"Percayalah." Ayu tersenyum sinis.
"Papua? Apa kamu bercanda?"
"Dan gue sudah membuat rencana untuk pergi ke sana sebelum lo muncul, jadi gue tetap pergi sama lo atau bukan sama lo."
"Kamu memesankan saya penerbangan komersial." Roy menunjuk. "Kita akan bepergian selama berjam-jam!"
"Ya, emang. Kayaknya lo juga bakal duduk di belakang. lo tahu, itu adalah ketidaknyamanan terbesar." Ayu tidak menyembunyikan tawa yang keluar dari bibirnya ketika wajah Roy diwarnai frustrasi.
"Kamu melakukan ini dengan sengaja."
"Tentu saja ...." Ayu meletakkan tangannya di dadanya, "
Gue melakukannya. Gue juga yakin lo gak akan tidur. Gue udah kasih tahu mereka bahwa suami gue menyukai anak-anak dan wanita itu dengan senang hati mengatakan bahwa lo akan menyukainya. Beruntunglah karena ada sekelompok anak sekolah yang duduk di samping lo."
"Terus kamu duduk di mana?" Roy bertanya.
"Gue punya penerbangan kelas bisnis yang udah gue pesan beberapa bulan yang lalu."
"Gak, saya gak bisa membiarkan itu terjadi." Roy mulai berjalan ke barisan panjang konter.
"Apa yang akan lo lakukan?" Ayu bertanya dengan keras.
"Saya akan menyelesaikan masalah ini," katanya dari balik bahunya.
"Terserah, Sayang. Lo bisa pulang setelah bicara."
Dia berhenti dan berbalik ke arahnya. "Maksud kamu apa?"
"Apakah lo gak lihat waktu di tiketmu? Kita akan naik." Ayu melihat arlojinya sebelum melanjutkan, "seperti sekarang. Jadi, temui gue atau pulang." Dia berjalan ke arah yang berlawanan sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak peduli apakah dia akan pergi atau tidak.
"Sialan!"
Ayu mendengar Roy mengutuk di belakangnya, tetapi langkahnya terdengar saat dia mengikutinya ke area asrama.
"Lo akan menikmati bulan madu ini, Sayang!" ucap Ayu keras-keras.
*****
"Kamu akan baik-baik saja, Sayang," kata Roy menatapnya. Dia duduk begitu tidak pada tempatnya di antara dua anak yang sedang bertengkar. Ia berhasil menggantinya dengan celana panjang dan kemeja putih terang.
"Kamu gak bisa ninggalin saya begitu saja di sini," desisnya.
Ayu tersenyum mengejeknya. "Oh, Sayang, saya punya kursi yang bagus. Kamu tetaplah di sini, oke? Jangan buat anak-anak ini menangis," kata Ayu sebelum dia mendaratkan kecupan di pipinya. Roy memalingkan wajahnya dan dia tertawa. "Kamu gak akan menangis, kan?"
Ayu menatapnya, rahangnya terkatup. "Jangan berharap begitu, Sayang. Kita akan bertemu lagi sebelum kamu menyadarinya." Peringatan dalam suara Ayuseharusnya membuat siapa pun khawatir.
"Saya akan menantikan saat itu," ucap Ayu, dengan keceriaan pura-puranya sebelum berjalan menyusuri lorong pesawat menuju kelas bisnis. Dia melirik suaminya. Matanya terpejam—lebih seperti berdoa, saat kedua anak besar itu saling mengulurkan tangan di depannya, tangan mereka meraung ke mana-mana. Roy yang tampan dan kurus itu tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
Segalanya pasti lebih baik, Ayu berkata pada dirinya sendiri, sambil memikirkan apa yang bisa dia lakukan selanjutnya, ketika mencapai tujuan bulan madu mereka.
*****
Mereka transit di Makssar untuk penerbangan selanjutnya..
"Darimana saja kamu?" Suara Roy menggelegar tepat di telinganya saat dia menjawab telepon.
Ayu bisa mendeteksi kemarahan dan kelelahan dalam suaranya dan tidak bisa menahan senyuman. Dia memberi tahu nama kafe dan memutuskan sambungan sebelum Roy bisa meneriakkan komentar lain.
"Ambilkan saya kopi," katanya ketika Ayu tiba setelah beberapa menit. Dia menjatuhkan diri di kursi di sampingnya lalu merosot.
Roy menghela nafas, melihat rambutnya yang berantakan dan lingkaran hitam di sekitar matanya, lalu bangkit untuk memesan minuman keras. Lagi pula, dia tidak berperasaan untuk membuatnya menderita sepanjang jalan. Roy akan menghadapi lebih banyak cobaan dalam beberapa hari ke depan.
"Ini.'
Ayu menyodorkan kopi panas yang mengepul. Roy mengambilnya, memandangnya dengan mata setengah tertutup di tepi cangkir. Dia menyesap sedikit cairan panas tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya yang sangat segar. "Kamu terlihat sangat tenang, Sayang," katanya dengan nada pahit.
"Saya tahu, saya tidur nyenyak," ucap Roy berseri-seri, "Tapi kamu tidak terlihat begitu baik."
"Ini salahmu." Roy menunjukkan. "Tapi," dia menghela napas sambil bersandar di kursinya sambil tersenyum, "penderitaan akan segera berakhir."
Ayu membeku, sepertinya Roy tidak lagi marah seperti sebelum meninggalkan Jakarta. "Kenapa?"
"Saya berbicara dengan teman tepat setelah saya turun dari pesawat." Senyum melebar dan mata coklatnya berkilat. "Tampaknya ada kursi tambahan tepat di sebelahmu."
Butuh beberapa detik sebelum Ayu akhirnya mengerti. "Tidak, saya tidak memiliki kursi tambahan di sebelah saya. Saya akan duduk dengan orang lain."
"Kemudian orang lain tampaknya memutuskan kamu tidak akan menjadi teman yang baik dan memilih untuk pindah tempat duduk."
Dia mengerang, "Tuhan, Saya ingin Ayu lebih menderita ..."
"Yah, Sayang, sepertinya itu tidak akan terjadi." Ayumengedipkan mata padanya.
"Terserah," bentaknya. Seharusnya Ayu tidak memesan kopi untuknya, sesal Roy.
*****
"Gue gak nyangka lo menggunakan koneksi lo." Ayu mendengus dua jam kemudian.
"Dan saya tidak percaya kamu akan membiarkan suamimu menderita berjam-jam tidak tidur dan kelelahan dengan dua anak laki-laki hiperaktif yang tidak akan berhenti berkelahi," jawabnya. "Saya bahkan tidak akan tertekan jika menemukan memar di lengan saya."
Ayu mendengus, "Memar? Jangan bilang kamu ikut adu mulut dengan mereka?"
"Saya tidak. Mereka hanya memutuskan bahwa saya adalah karung tinju yang bagus." Roy dengan gelisah berubah dari satu posisi ke posisi lain dan ketika akhirnya menemukan yang terbaik, dia menutup matanya sambil tersenyum, "Akhirnya, ada tempat yang bagus untuk istirahat. Jangan bicara pada lagi, Sayang. Saya benar-benar butuh tidur yang nyenyak."
"Tidur nyenyak, Sayang, Gue masih punya banyak kejutan buat lo," bisiknya dengan manis mengejek.
"Seharusnya saya tidak membiarkanmu mengatur bulan madu sialan ini." Roy terdiam, lalu tertidur.
Mereka tiba di Indonesia dan langsung disambut panasnya terik matahari. Saat mereka melangkah keluar dari bandara, kaus tipis Roy sudah basah kuyup oleh keringat dan wajahnya memerah, karena karena cuaca panas dan kekesalannya terhadap Bandung.
"Kamu gak punya tumpangan?" Roy bertanya tidak percaya ketika Ayu mengatakan bahwa mereka harus mendapatkan taksi.
"Gak," jawabnya. Matanya seraya mencari tukang taksi mana pun.
"Saya kira kamu sudah merencanakan ini!" Roy bertanya dengan kesal. Cuaca panas tidak terlalu membantu meredakan amarahnya.
"Gue gak merencanakan hal-hal kecil seperti tumpangan!"
"Sekadar informasi, Sayang, detail kecil seperti tumpangan akan sangat membantu." Roy berbalik menatapnya, matanya sipit karena matahari.
"Dan yang lo harus tau, ini kedua kalinya gue di sini dan tahu persis ke mana kita akan pergi."
"Terus di mana tepatnya?"
"Pokoknga adalah," jawab Ayu.
Mata Roy menatap curiga, "Di suatu tempat di mana tepatnya?"
"Njir! jangan banyak tanya napa! Biarkan gue yang menangani ini, oke?"
Roy cemberut, "Bagaimana saya bisa tenang kalau kamu gak tahu ke mana kita harus pergi selanjutnya?"
"Gue tahu ke mana harus pergi! Lo diam aja!" seru Ayu, lalu mengangkat tangannya untuk meminta perhatian seseorang di belakang. "Ambil tas kami dan pegang erat-erat barang-barang berharga," perintah Ayu pada Roy, untuk membawa semua kopernya menemui sopir taksi.
"Luar biasa!" ucap Roy sampai terlihat giginya.
"Percayalah!" Ayu berteriak dari balik bahunya. "Pergilah, Roy, kita gak punya banyak waktu di dunia ini."
"Kamu ngomong mah enak, sesangkan saya bawa koper," pungkas Roy. "Kenapa sih baju kamu banyak banget?"
"Itu bukan pakaian, Sayang. Itu perlengkapanku, jadi tangani koper-koper itu dengan hati-hati."
"Sepertinya saya benar-benar gak peduli ...."
"Hei! Gue yakin lo gak akan senang apa yang akan gue lakukan jika cat gue hancur saat membukanya nanti." Ayu memperingatkan sebelum naik ke dalam taksi.
Roy dan supir berjuang untuk mengangkut koper di bagasi selama beberapa menit. Setelah selesai, dia membuka pintu dan membungkuk, "Bergeserlah," perintahnya.
"Maaf, gue gak dengar," tantang Ayu.
"Ngeselin!" Roy menegakkan dan membanting pintu di sampingnya, melangkah ke sisi lain lalu naik.
"Nah, gitu kan baik," ejek Ayu.
"Diam, Sayang," sinis Roy. Betapa lucunya mereka mengatakan sayang sembarangan satu sama lain ketika mereka bercanda. Keringat menetes di pelipis Roy, mengalir di pipinya yang memerah sekarang dan Ayu refleks menyekanya. "Saya sedang dalam suasana hati yang sangat buruk dan berusaha sangat keras untuk tidak menggunakan emosi sekarang," lanjut Roy dengan gigi terkatup.
Ayu pura-pura ngeri, "Gue gak percaya lo akan benar-benar berpikir seperti itu!"
"Hentikan ocehanmu. Saya gak akan mengecewakanmu. Ayahmu yang berpesan."
"Oh, kontraknya? Menurut logue harus berterima kasih gitu?"
Dengan cepat Roy menoleh menatapnya, "Apakah ini semua tentang kontrak sialan itu? Benar, bukan?"
"iyalah! Gue gak akan berada di sini jika bukan karena kontrak terkutuk itu," balas Ayu.
"Kalian berdua mau kemana?" Supir berbicara dengan agak ragu-ragu, takut memotong perdebatan mereka.
"Bukan kamu yang terjebak, tapi saya yang terjebak bersamamu. Lo gak tau," kata Roy yang belum mendengar pertanyaan supir.
"Gue juga gak mau mendengar ocehan logismu lagi," kata Ayu seraya berbalik menghadap supir, "Hotel Aston, ya."
"Oke," jawab supir seraya menyalakan mesin, dengan senang hati akhirnya berjalan setelah memutar meteran.
*****
Ayu mengantar suaminya ke lobi utama Hotel Aston, koper dan semuanya. Udara sejuk ber-AC menyambut mereka dan dia menikmatinya sejenak.
Seorang gadis cantik tersenyum padanya ketika Ayu sampai di konter. "Selamat datang di Aston Hotel, ada yang bisa saya bantu, Bu?"
Ayu tersenyum ramah pada wanita itu dan berkata, "Saya memesan kamar dengan dua tempat tidur terpisah." Ayu mengatakannya dengan cukup penekanan.
"Boleh saya tahu nama Anda?" Wanita itu melihat ke komputernya.
"Ayu Suwarjo," jawabnya.
"Suwarjo?" Roy bertanya di sampingnya. Dia bau matahari, kemejanya basah kuyup seperti biasanya.
"Ya, Suwarjo. Saya sudah membuat reservasi sebelum menikah denganmu," jawa Ayu. Lalu kb di wajah itu. "Apa yang salah?"
"Bu Ayu Suwarjo membuat reservasi untuk kamar Double Bedroom."
"Apa artinya?"
"Ini kamar ganda, Bu."
"Bisakah Anda menjelaskannya?" Ayu bertanya lagi. Dia tidak terlalu suka suara kamar Double Bedroom.
"Kurasa itu artinya kita harus berbagi ranjang, Sayang," bisik Roy di sampingnya sebelum wanita itu sempat membuka mulutnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (127)

  • avatar
    HiaJulita

    baik

    1d

      0
  • avatar
    Tiara Ara

    Seruuu abiiissss❤️❤️

    12d

      0
  • avatar
    Koko Ucul

    Bagus ccc

    26d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด