logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Kirana Efelin

Sesuai perkiraan Kirana. Pak Yoga berdiri di depan pagar sekolah saat ia turun dari angkot. Senyum khas Pak Yoga lebih menakutkan dibanding saat guru berumur tiga puluhanitu marah. Kalau marah, pak Yoga jelas marahnya tapi kalau tersenyum seperti sekarang, Kirana tidak tahu apakah Pak Yoga sedang bahagia atau diam-diam sudah menyiapkan serangan balik.
Kirana menundukkan kepalanya ketika mengikuti di belakang Pak Yoga. Pasrah dan ikhlas dengan hukuman yang akan ia terima nantinya.
" bersihkan sampai kinclong sebelum jam masuk pelajaran pertama dimulai!" Pak Yoga melirik jam tangannya." lima belas menit.
Kirana tersenyum kecil.Cuma lima belas menit. Enggak berat.
Di lanjut menulis ringkasan materi sejarah semester lalu dan harus selesai sebelum pulang," lanjur pak Yoga.
Senyum Kirana lenyap tanpa sisa."Tapi, Pak."
"Tidak ada tawar-menawar antara guru dan siswanya. Kalau kamu tidak menyelesaikan tugas yang Bapak berikan hukumannya bertambah. Kamu mengerti maksud bapak?"
Hukuman bertambah, berarti lima belas menit bertmbah, dan ringkasan materi yang harus dikerjakan juga bertambah.
Kirana jelas mengerti." Iya, pak," jawabnya kemudian.
"Bagus." Pak Yoga berbalik karena mendengar suara langkah mendekat.
"Pak, ini anak yang Bapak cari," ucap satpam sekolah sembil memegang lengan Herman.
Herman mendelik ke arahnya, tidak terima dengan ucaan satpam itu yang seolah mengatakan kalau ia adalah anak hilang. Tapi dehaman Pak Yoga memaksanya tersenyum manis kembali.
Pak Yoga geleng-geleng kepala melihat Herman hanya tersenyum tak berdosa sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
"Bagus, ya. Masih bisa berdiri santai setelah tertangkap basah membolos kemarin," ucap Pak Yoga. Kedua tangannya bersedekap di dada.
Herman mengubah posisi tubuhnya menjadi tegak Tapi kepala menunduk. Ia lalu berkata dengan suara kecil,"Maaf, Pak, saya tidak akan mengulangi kesalahan saya yang kemarin."
Kirana menutup mulutnya. Tawanya nyaris meledak. Apa yang dilakukan Herman sama sekali tidak seperti permintaan maaf dan penyesalan dari orang yang bersalah. Herman tampak seperti bergurau.
"Anggap saja Bapak tidak mendengar kalimat menyebalkan itu dari mulutmu,"kata Pak Yoga yang sudah tahu sikap Herman luar dalam."Kalian kerjakan yang saya perintahkan sekarang, Bapak mau ke kantor.
Tinggal Kirana dan Herman di depan musholla keduanya saling tatap beberapa menit Herman masih tidak percaya kalau cewek yang berdiri di depannya sekarang adalah pelaku kejahatan kemarin membolos di hari Senin ketika jam pertama selesai apalagi cewek itu adalah Kirana. Kirana.
Kirana yang itu, Kirana yang dia kenal sebagai salah satu siswa paling bersinar di antara siswa IPA lain. Herman memang tidak kenal dengannya tapi ia tahu kalau di sekolahnya hanya ada satu orang yang bernama Kirana.
"Lo?!" Kata itu yang berhasil dikeluarkan Herman. Kata yang sama dengan kemarin.
"Iya, ini gue, jawab Kirana dengan polos."Ada yang salah dengan gue?"
Herman mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke bagian bawah bibirnya." Nama lo Kirana, kan?"
Kirana mengangkat alis."Iya, kenapa?"
"Hmmm." Herman memutar matanya lalu berjalan masuk ke dalam musholla sambil menekankan jari tekunjuknya ke pelipis
kanan.
Kirana melongo di tempatnya , ditinggal begitu saja oleh Herman. Dia memang bukan salah satu siswa populer di sekolah tapi perlakuan Herman sangat tidak sopan.
Ditanya kok malah pergi, gumam Kirana dan ikut masuk ke dalam musholla.
Herman dan Kirana saling lirik. Kirana benar-benar tidak mengerti kenapa tatapan Herman padanya seperti sedang melihat sesuatu matanya lepas dari tatapan Herman.
Herman mengikuti gerakan Kirana."Oh, itu doang?" tanyanya tanpa sadar.
Itu doang?
Menurut Kirana hukuman meringkas yang diberikan Pak Yoga adalah hukuman paling berat yang pernah ia terima.
Kirana mengangguk dan setelah mereka perlengkapan bersih-bersih. Mereka membagi tugas dalam diam. Melihat Kirana mengambil sapu, Herman memutuskan mengambil alat pel. Melihat Kirana mengambil kemoceng, Herman mengambil pembersih kaca.

Membersihkan musholla hanya berdua membuat Kirana lelah Bukan main. Ia masuk ke kelasnya dengan ekspresi lemas.
"Dari mana aja lo? Masih pagi udah berkeliran ke mana-mana?" tanya Angel saat Kirana duduk di kursinya. Mereka adalah teman sebangku.
Kirana menunjuk ke arah kanan dan Angel mengikuti arah telunjuk itu."Ruanf kepala sekolah?"
Musholla memang berdekatan dengan ruang kepala sekolah.
Kirana mengangguk lalu berkata dengan napas ngos-ngosan, Musholla."
" Tumben amat lo ke musholla pagi-pagi? shalat dhuha, ya?" tebak Angel meskipun kaget dengan jawaban Kirana. Setahunya, Kirana tidak masuk dalam jajaran wanita Salehah di sekolah.
Kirana menggeleng lemah. Kebiasaan Angel yang banyak bertanya kadang membuatnya kesal.
"Kalau bukan shalat Dhuha, lo ngapain di musholla, Kir?" Angel tidak akan berhenti bertanya kalau ia belum mendengar jawaban yang pasti dari temannya itu.
"Abis dihukum sama Pak Yoga karena kemarin gue pulang lebih awal,"Jawab Kirana. Napasnya mulai teratur.
Seketika Angel tertawa sambil memegang pundak Kirana.
"Ahh lo, ngaku nya pulang lebih awal. Ituu bolos namanya, Kiranaaa."
"Terserah lo deh. Pulang lebih awal atau membolos sama saja artinya buat gue." Kirana menyandarkan tubuhnya.
"Pantes aja kemarin gue lihat Pak Yoga lari terbirit-birit ke belakang dan pulangnya beliau memasang wajah marah. Jadi elo penyebabnya?" Tawa Angel mereda.
"Ya gitu deh. Tapi bukan cuma gue, Herman juga biang kerok dalam hal ini."
"Herman?" Angel mengangkat alis."Lo bolos bareng Herman?"
Kirana menggeleng Cepat." Gue dan Herman membolos tapi enggak bareng hanya kebetulan ketemu di sana."
Di waktu-waktu tertentu Angel terlihat seperti orang ke sasar. Wajahnya menatap Kirana dengan pandangan bingung.
Melihat Angel terdiam, Kirana menambahkan,"Enggak perlu bahas masalah bolos kemarin, bikin gue tambah capek,"pinta Kirana.
Herman menarik kursi dengan kasar. Tiara yang melihat itu menggelengkan kepalanya lalu bangkit menuju Herman.
"Kenapa lo? Pagi-pagi udah suntuk gitu. Enggak baik, tahu enggak," cerocos Tiara.
Herman menghela napas sambil Mengayunkan tangannya menyuruh Tiara pergi dari hadapannya. Tapi cewek itu malah memukul tangan Herman dan berkata," apaan sih."
"Tiara, gue baru saja menjalankan kewajiban sebagai siswa yang diberi sanksi, membersihkan musholla sekolah ini sampai kinclong," sambil meniru cara bicara Kirana saat menyebutkan kinclong," Jangan menambah beban mental gue dengan mengomel ini itu."
Tiara mendengus."Salah lo juga sih, makanya jadi orang jangan sering melanggar aturan dong. Lo capek sekarang? syukurin," ucap Tiara.
Herman hanya menatap sebal pada Tiara. Sebagai sahabat dari kecil, Tiara memang paling sering mensyukuri setiap kejadian yang menimpa Herman.
Putus dari pacarnya Minggu lalu , kehilangan uang sepuluh ribu, lupa bawa tugas ke sekolah, terlambat ke sekolah sebulan yang lalu, dan kalah saat main bola ketika Porseni, Tiara mengeluarkan kata yang sama, syukurin.
Satu yang Pasti untuk Herman. Kehadiran Tiara yang cerewet dalam kehidupan Herman adalah berkah yang ia syukuri. Jadi apapun yang keluar dari mulut Tiara, Herman menerimanya dengan lapang dada.
"Kemarin mantan lo datang ke.kelas nyariin lo. Matanya bengkak kayak abis nangis,"ucap Tiara. Nadanya tidak sesinis tadi.
Herman menatap Tiara dengan ekspresi biasa, tidak kaget sama sekali dengan kabar itu." terus?"
"Gue jawab sesuai yang terjadi. Gue bilang sama dia kalau lo lagi main kejar-kejaran sama Pak Yoga di belakang sekolah," jawab Tiara ketuk.
Herman memperlihatkan jempolnya dengan bangga pada Tiara." bagus-bagus, nggak sia-sia lo sahabatan sama gue selama bertahun-tahun, Ra. Otak lo makin encer," ucap Harus sambil mengelus kepala Tiara.
Tiara memonyongkan bibirnya. Menyembunyikan rona merah yang hinggap di pipinya ketika tangan Herman terasa di atas kepalanya. Perlakuan seperti ini yang membuatnya betah berada di samping Herman. Sekalipun selamanya Herman tidak akan melihat dia sebagai perempuan.
Bel masuk berbunyi, Tiara berlari kecil menuju kursinya yang berada di belakang tempat Herman. ia melirik meja lalu kursi disamping Herman sejenak. Hari ini tidak lengkap jika Adit belum ada diantara mereka. Dalam hati Tiara memohon semoga ketua OSIS itu secepatnya sembuh dan kembali ke sekolah.
Pak Yoga masuk ke dalam kelas membawa tas hitam yang tergantung di salah satu pundaknya. Senyumnya tersungging ketika ia menangkap ekspresi lelah di wajah Herman.Tidak sia-sia ia menyiapkan sanksi untuk anak itu. Herman terlihat sangat kelelahan sekarang.
"Gimana, Her?" tanya pak Yoga sambil membuka tasnya dan mengeluarkan laptop ke atas meja.
Herman terkesiap tapi kemudian mendengus."Lumayan, Pak."
Pak Yoga tersenyum simpul. Ia berharap ini awal yang baik untuk mengembalikan Herman ke dirinya yang dulu.
"Kalau kamu lelah, kenapa kita tidak menghargai diri penyebab kelelahanmu? Bapak yakin masih ada niat baik dalam dirimu yang sekarang, masih ada kesempatan untuk berubah her."
Herman menunduk, menatap buku yang terbuka lebar di depannya dengan nanar."Saya belum lelah, Pak." ucap Herman dengan lirih.
Tiara memandang punggung Herman dengan wajah sedih. Tidak bisakah ia menemukan cara untuk mengembalikan Herman yang dulu? Pernyataan sama dengan yang ada dalam pikiran Pak Yoga.

Kirana berlari menghampiri Pak Yoga. Bel pulang sudah berbunyi lima belas menit lalu tapi karena Angel yang minta ditemani ke toilet, Kirana nyaris lupa dengan tugasnya.
"Pak Yoga, tunggu!" seru Kirana sambil mempercepat larinya. Pintu mobil yang sudah tertutup, dibuka kembali oleh pak Yoga.
"Maaf, Pak. Ini tugas saya."Kirana menyodorkan tugas berbentuk makalah rapi."Sesuai perintah, saya sudah mernagkum materi sejarah semester llu."
Pak Yoga melihat hasil kerja Kirana sambil manggut-manggut. Tulisan Kirana memang selalu rapi, tugasnya terlihat seperti dikerjakan dengan sangat hati-hati, tidak ada coretan salah kata. Pak Yoga yakin kalau Kirana mengerjakan ini dengan terburu-buru, sekalipun hasilnya sangat rapi.
"Bagaimana, Pak?" tanya Kirana waswas. Disuruh menulis ulang adalah ketakutan terbesar nya saat ini. Ia sudah melewatkan jam istirahat hanya untuk menyelesaikan ringkasan itu.
"Bagus."
1 kata itu membuat Kirana lega. Bebannya hilang minggu ini. Minggu ini saja karena Senin selanjutnya ia akan membolos lagi.
"Bapak mau tahu alasan kamu, kenapa setiap hari senin kamu membolos setelah jam pertama selesai?" tanya pak Yoga dengan serius. Tugas Kirana sudah di masukkn ke dalam tas oleh beliau.
"Jawab dengan jujur,"Tegas Pak Yoga.
"Hm, sebenarnya begini, pak." Kirana ragu untuk mengatakan alasannya kalau iya kerja paruh waktu, nanti dikiranya dia sedang cari perhatian, minta dikasihani. Kirana tidak ingin terlihat menyedihkan. Hidupnya sudah menyedihkan.
"Kamu tidak suka dengan pelajaran berikutnya? Atau kamu tidak suka dengan gurunya?" cecar Pak Yoga.
Kirana membantah cepat."Bukan, pak. Bukan karena itu."
"Lalu?"
"Tidak ada alasan khusus, Pak.Mungkin saya memang terlahir sebagai siswa yang hobi membolos," jawab Kirana akhirnya. Jawaban dengan level keanehan tertinggi.
Pak Yoga mendecakkan lidahnya. Beliau sudah sering menghadapi beragam siswa membolos selama jadi guru. Tapi baru kali ini ia mendengar alasan konyol seperti itu.
Setelah menyuruh Kirana pulang, Pak Yoga masuk ke dalam mobil. Ia mengambil tugas Herman yang berada dalam mobil lebih dulu dan mengeluarkan tugas Kirana dari tasnya. Pak Yoga membandingkan kedua makalah itu dengan ekspresi puas. Keduanya berhasil melewati hukuman yang ia berikan.

Lampu merah berganti kuning, lalu hijau. Herman membunyikan klakson dengan bruntal. Alunan musik yang keras di dalam mobil membuat kepalanya bergerak kiri kanan mencari kenikmatan sendiri. Setelah mobil di depannya melaju lebih dulu, Herman juga menancap gas.
Herman baru menyadari kalau ada panggilan setelah merasa ada getaran dalam saku celananya. Dering handphone itu terkalahkan oleh suara musik yang semakin memekakkan telinga.
Herman mengurangi kecepatan mobil lalu mengeluarkan handphone. Alisnya terangkat saat melihat nama yang tertera dilayar. Selanjutnya, ia meletakkan handphone itu.
"Bodo amat," ucap Herman dan kembali fokus menyetir.
Handphone-nya kembali berbunyi dengan nada yang sama setelah du menit dari panggilan pertama tadi. Herman hanya meliriknya sekilas. Handphone itu mati lagi dan berbunyi lagi.Kali ini jeda dari panggilan yang kedua cukup singkat. Dengan helaan napas berat, Herman menepikan mobil lalu menyambar handphone-nya.
Tepat sebelum panggilan itu berakhir, Herman menjawabnya dengan jutek," ada apa?"
Suara dari balik telepon tidak kedengaran jelas. Suara musik yang ia putar berkali-kali lipat besarnya dari suara orang yang meneleponnya. Herman langsung menghentikan musik dengan menekan tombol off tanpa mengurangi volume suaranya.
"Lo ngomong apa, sih?" tanya Herman setelah pendengarannya berfungsi lebih baik.
"Gue tanya lo ada di mana sekarang? Kok enggak nunggu gue?"
Herman menarik napas jengkel dan mengeluarkannya lewat mulut dengan cepat. Heni tidak lebih baik dari Tiara jika menyangkut urusan mengomel. Bedanya, omelan Tiara tidak membuatnya sampai sekesal ini. Heni lebih cocok jadi emak-emak daripada pacar. Mimpi apa dia dulu sampai mbak Heni hingga terjebak pacaran sama dia.
"Di jalan," jawab Herman agak malas.pertanyaan kedua Heni tidak dihiraukan.
Heni terdengar memekik." bisa-bisanya lo pulang tanpa gue, Her. Gue nunggu lo di parkiran sekolah dari tadi . Eh, nggak tahunya lo pulang duluan. lo jahat!"
Herman menggerak-gerakan bibirnya tanpa suara. Ya-ya-ya terusin, memangnya gue peduli.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (241)

  • avatar
    AshaPrincess

    serasa nya cerita ini bagus,sebab dari awal bacaan saya jalan cerita nya menarik..bagaimana kesudahan hidup kirana dan herman..lanjutkn saja bacaan nya..ok

    29/01/2022

      6
  • avatar
    Devi Framsisca

    bagud banget

    16d

      0
  • avatar
    HidayatGiyan

    bagus

    21d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด