logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Ibu keceplosan

Siang ini ibu datang ke rumah. Sekedar mampir dan bermain. Apalagi kan rumah kami sekarang sangat berdekatan.
Ibu menghampiriku yang sedang duduk-duduk santai berdua dengan Dona.
"Aduh Cucu Nenek. Lagi ngapain nih?" katanya yang tiba-tiba datang.
Aku sudah melihat langkah kakinya dari kejauhan. Namun aku belum menyapanya karena jaraknya masih belum terlalu dekat.
Ibu membuka pagar dan mulai menginjak bagian teras rumah.
Senyumku mulai keluar menyambutnya.
"Bu."
Aku mencium punggung tangannya. Meskipun kami sering bertemu namun rasa hormat dengan mencium punggung tangan ibu tak hilang dari akalku.
"Dona, ada Nenek, Sayang!" kataku manja pada Dona.
Dona yang masih ada di pangkuanku perlahan berpindah ke pangkuan ibu.
Kulihat ibu tidak habis pulang dari manapun. Dia mungkin sengaja mampir dan bermain ke rumah.
Aku menatapi ibu dan Dona yang sedang bercanda.
"Dona sudah kamu kasih makan?" tanya ibu padaku kala itu.
Aku mengangguk dan menjawab.
"Sudah, Bu. Diandra sudah memberi Dona makan siang. Baru saja. Ya kan, Nak?" jawabku seraya memastikan pada Dona.
Ya meskipun dia belum mengerti, anggap saja itu sebuah kata basa-basi menjawab pertanyaan ibu.
Aku senang, karena sekarang aku dan ibu tak lagi berjauhan. Kami bisa saling perlindungan dan menitipkan diri satu sama lain.
Mas Dani juga tak akan terlalu khawatir pada keadaan orangtuanya seperti dulu. Yang tidak bisa berjumpa setiap saat karena jarak yang memisahkan kami.
Aku juga merasa kalau aku ingin dekat dengan orangtuaku juga. Tapi apa daya, ibu dan bapak pasti lebih nyaman tinggal di kampung halamannya. Mengurus bisnis kecilnya disana.
Yang aku harap mereka selalu baik-baik saja.
Zaman sekarang terbantu oleh saluran telepon genggam yang bisa membuatku memantau dan menanyakan kabar ibu dan bapak setiap saat.
Kini mataku tertuju kembali pada ibu yang sedang bermain dengan Dona.
Aku melihat gerak-gerik ibu amat lihat saat bercanda dengan Dona. Membuat Dona nyaman di pangkuannya.
"Oh ya, Ibu darimana barusan? Ataukah Ibu akan pergi?" tanyaku sedikit basa-basi.
Ibu menyeringai.
"Oh enggak. Ibu sengaja ingin main saja kesini. Tadi sih Ibu baru pulang dari rumah bu Harjo. Ikut-ikut arisan gitu. Lumayan lah, buat nyimpan uang dikit-dikit," jawab ibu santai.
"Emh. Ya sudah kalau begitu. Gimana kalau kita main di dalam saja, Bu. Cuaca terik sekali, panas," gumamku.
Ibu pun mendengar apa kataku.
Kami akan masuk ke dalam rumah dan bermain di atas helaian surpet berwarna hijau yang baru sebulan kubeli dari tetangga yang berprofesi sebagai pedagang online.
Ibu mendudukkan Dona dan kami bermain bersama.
Kini ibu makin sumringah saja.
Apalagi aku melihat beberapa gelang dan kalung emas baru yang menghiasi bagian lengan dan leher ibu.
Cincin baru pula yang menurutku gramannya cukup besar sekali.
Aku tidak tahu apa usaha bapak suamiku. Yang pasti uang bapak lebih dari cukup. Karena kalau mas Dani tak mungkin memberikan uang sebanyak itu. Apalagi mas Dani hanya memberi orangtuanya uang setiap satu bulan sekali. Itupun pasti hanya cukup untuk makan mereka saja.
Dan untuk uang dari bapak, pasti hasilnya bersih. Maka dari itu mungkin ibu sekarang bisa membeli banyak perhiasan.
Karena terakhir aku melihat ibu, perhiasan itu belum dipakai oleh ibu sama sekali.
Tak lama setelah itu, Dona akhirnya tertidur.
Mungkin dia ngantuk, apalagi barusaja dia makan siang. Pasti Dona tertidur nyenyak.
"Diandra, kamu tidurkan dulu gih Dona. Kasihan kalau dia harus tidur disini," suruh ibu padaku.
Aku pun segera meraih tubuh Dona dan membawanya ke dalam kamar.
Segera Dona kubaringkan.
Bobot Dona semakin hari semakin berat. Apalagi perawakan Dona yang tinggi dan kekar.
Si malaikat kecilku itu tumbuh dengan baik dan mewarisi tinggi badanku. Ya, memang tinggi badanku ini sama dengan mas Dani, bahkan aku sedikit lebih tinggi. Jadi memang tinggi badanku memang diatas rata-rata wanita mayoritas di area rumahku.
Setelah aku menidurkan Dona di atas ranjang, segera aku keluar kembali menghampiri ibu yang sudah duduk di sofa.
Terpikir kembali untuk menyuguhi ibu makanan dan minuman.
Langsung saja aku pergi ke dapur dan mengambil cemilan beserta minuman seadanya.
"Silahkan, Bu," ucapku sambil menyimpan makanan dan minuman di atas meja.
Ibu mengangguk dan tersenyum.
Aku belum mengetahui sosok dan kepribadian ibu sebenarnya. Tapi sejauh ini aku yakin, kalau ibu adalah seperti wanita yang baik dan bijak. Buktinya dia mengerti dengan apa yang aku rasakan atas anaknya, yaitu mas Dani, suamiku.
Aku tak bisa berbicara banyak dengan ibu, jadi kami lebih banyak diam.
Dan tak lama kemudian ada tetangga kami, bu Roro datang bertamu ke rumahku.
Tak ada hujan tak ada angin bu Roro pun datang.
"Assalammualaikum," sapanya.
"Waalaikum salam," jawab kami berdua.
"Bu Roro, masuk, masuk, Bu," ucap ibu seketika.
Aku sedikit heran.
"Ya Bu, silahkan masuk. Silahkan duduk, Bu," tawarku demikian pada bu Roro.
Apa ibu yang mengundang bu Roro?
Aku langsung menuju dapur hendak mengambil segelas minuman untuk bu Roro.
Saat kukembali.
"Ya, Bu. Saya akan beli emas yang Ibu tawarkan itu!" kata ibu demikian.
Hah, emas?
Mereka berdua berbincang-bincang di rumahku.
Apa maksud ibu membawa bu Roro ke rumah ini?
Ah aku langsung saja menghampiri mereka berdua yang sedang asyik ngobrol.
"Maaf ya, Di. Ibu sengaja mengundang Bu Roro kesini. Soalnya Bu Roro enggak mau datang ke rumah Ibu. Kenapa pula, Bu?"
Ibu berkata demikian.
Meminta maaf padaku atas niatnya yang telah mengajak bu Roro untuk datang ke rumahku.
Aku makin tak habis fikir dan heran.
Aku hanya bisa tersenyum sambil mengerutkan dahi sedikit.
Mengangguk sambil menyuguhkan segelas air putih pada bu Roro.
"Wah, Ibu lagi banyak uang, ya?" kata bu Roro memuji dengan mata lincahnya.
Kini aku makin dibuat heran.
Apa maksud mereka.
"Ya, Bu. Bisnis anak saya sedang memuncak. Eh, maksud saya, bisnis suami saya," jawab ibu seperti keceplosan menyebut kata anaknya.
Raut wajah ibu seketika berubah ketakutan. Namun ia seperti terlihat membuang ketakutannya.
Hah?
"Oh ya, kenapa Bu Roro enggak mau datang ke rumah saya, sih? Kok Ibu malah ngajak ketemu saya di rumah anak saya?" ujar ibu seperti mengalihkan pembicaraan.
Aku seperti kambing conge yang hanya bisa bungkam.
"Eu, eu, sa-saya. Saya sengaja kok, biar menantu Ibu bisa beli juga perhiasan dari saya," jawab bu Roro tergugup.
Ih, aneh sekali.
"Maaf, Bu. Tapi saya belum ada uang lebih," sigapku bicara. Padahal aku masih punya uang simpanan. Tapi aku malas saja.
"Masak, sih? Ibunya juga bisa punya uang banyak. Mbak Diandra pasti uangnya lebih banyak, deh," rayu bu Roro.
Senyumku keluar dengan terpaksa.
Bu Roro mengeluarkan perhiasan bermacam-macam yang hendak ia tawarkan pada kami. Namun aku sama sekali tak berminat.
Aku hanya menyaksikan ibu yang memilah milih satu persatu perhiasan tersebut.
Padahal, aku fikir, perhiasan di lengan ibu sudah nampak banyak sekali.
Kepalaku sedikit menggeleng-geleng.
Kok sekarang terkesan seperti ingin pamer, ya?
Dari gelagatnya pula. Hemh.
Nafasku berhembus pelan menyaksikan ibu dan bu Roro yang saling beradu cerita.
Aku masih bingung dengan apa yang ibu katakan tadi. Tentang ucapan ibu mengenai bisnis bapak.
Memang bapak bisnis apa?
Setahuku, bapak hanya diam di rumah. Penikmat udara pagi sampai malam. Ia habiskan waktu di rumah saja.
Bapak tidak terlihat seperti pebisnis.
Apa bapak seorang freelancer?
Makin bingung juga aku.
Entah apa yang mereka sembunyikan. Ibu pasti tahu sesuatu tentang suamiku juga.
Apa jangan-jangan ibu tahu bisnis mas Dani? Dan ia mendapatkan persenan dari suamiku begitu banyak?
Sama sekali aku tak masalah selama uang belanjaku tidak ia kurangi. Tapi yang masih mengganjal adalah mengenai bisnis mas Dani.
Apa ibu juga tak tahu sepertiku?
Apa bapak dan mas Dani ada sangkut paut tentang bisnis mereka?
Lagipula kan kemarin aku melihat mereka bertemu berdua malam-malam pula. Aku yakin, bayangan di gorden kaca itu pasti bapak dengan suamiku.
Sejarah kecurigaanku makin bertambah dengan sikap ibu yang salah kuduga.
Ibu seperti menjadi sosok wanita yang ambisius dengan harta yang ia miliki. Dan yang makin membingungkan, bapak bisnis apa sampai ibu bisa mendapat uang sebanyak itu.
Bukannya dulu ibu dan bapak orang yang sangat sederhana sekali? Dan semenjak pindah ke tempat ini ... !
Hah, ini benar-benar makin menambah barisan pertanyaanku.
---

หนังสือแสดงความคิดเห็น (90)

  • avatar
    CirengitKomar

    bagus

    26/07

      0
  • avatar
    MbullGembull

    mantap

    10/06

      0
  • avatar
    rahardiShinta

    mantap

    21/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด