logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Jihad Terindah

Jihad Terindah

Masruroh Samir


Bab 1 Risalah Hati yang Tersembunyi

Cinta adalah anugerah, ia bersemayam di setiap hati atas irodah-Nya. Mencinta bukanlah sesuatu yang salah, saat cinta mampu terjaga dalam fitrahnya. Indahnya cinta bukanlah saat kita mampu menggapai apa yang kita cinta, indahnya cinta adalah saat kita mampu bertahan dalam batasan syariat-Nya. Karena sejatinya cinta ada dalam cinta-Nya.
Seperti halnya Hana, begitulah gadis itu biasa disapa. Sejak dulu, dia begitu istiqomah dengan hatinya. Meski begitu banyak cinta menyapanya, Hana tetap pada prinsipnya. Seringkali bisikan tetangga mengusik hatinya, mengiranya terlalu memilih dalam cinta. Harusnya gadis seusia dirinya sudah menggandeng pasangan, tapi Hana masih tetap tenang dalam kesendirian. Bukan karena dia enggan menjalin sebuah hubungan, melainkan karena kehati-hatian menempuh sebuah jalan.
KRIIIIIIIIIIIIING!!!
Bunyi alarm membangunkan Hana dari tidurnya, wajah sayup itu langsung memandang jarum jam backer samping tempat tidurnya. Masih pukul 02:30, waktu di mana semua jiwa tengah asyik terlelap dalam mimpi-mimpi mereka. Namun tidak dengan Hana, dia langsung beranjak ke kamar mandi membersihkan diri. Sepertiga malam itu hampir tiap hari dia isi dengan kusyuk mendekatkan diri dengan Sang pemilik segala kasih. Qiyamullail adalah salah satu ibadah yang menjadi agenda hariannya. Usai mendirikan dua rokaat, butiran tasbih pun mulai dia putar sambil melafazkan zikir tuk lebih mengingat-Nya. Sembari menanti fajar subuh, Hana mengisi waktu dengan membaca kalam-kalam robb-Nya. Begitulah Raihana, membuka lembaran dalam setiap hari yang dilaluinya dengan indah. Tak lama, akhirnya azan subuh pun berkumandang. Subuh pagi ini seperti ada yang berbeda, ada yang menelisik hati Hana. Syahdu, irama suara muazin itu tiba-tiba menumbuhkan sirat rindu dalam kalbunya. Angannya seketika berlari, mengingat sosok yang dulu ia kagumi diam-diam.
"Rousyan??" Hati Hana menebak pemilik suara itu.
"Maa Syaa Allah,kenapa tiba-tiba aku jadi berfikir itu suaranya?" lirih Hana dalam hati.
Di belakang sang ayah, dia melangkahkan kaki menujuh mesjid dekat rumahnya. Seperti pagi sebelumnya, selesai zikir sholat para jama'ah membalikkan badan mereka memposisikan diri untuk bersiap menyimak kajian subuh dari kyai Hanif.
"Assalamu'alaikum warrohmatullahi wabarokatuh...!" Suara salam pembuka itu membuat hati Hana tiba-tiba bergetar. Suara itu sama seperti suara muazin yang ia dengar tadi.
"Suara itu ..., apa memang dia ..., Rousyan?" gumamnya dalam hati. Hana yang berada di bilik sebelah hanya berusaha menerka sang pengisi kajian itu karena tertutup tirai pembatas. Dan benar,bdia adalah Rousyan, keponakan kyai Hanif. Dia menggantikan pamannya mengisi pengajian kali ini. Hana menyimak kata demi kata dengan seksama, materi yang Rousyan sampaikan begitu ringan namun dalam. Hampir semua jama'ah memujinya, termasuk Hana. Terpancar jelas dari raut wajahnya, bahwa dia sungguh telah jatuh cinta. Beragam rasa kini tengah memenuhi hatinya, rasa itu seolah menyatu begitu indah menuturkan gejolak hatinya.
"Astaghfirullah...," lirih Hana saat dirinya tersadar. Wajahnya nampak berseri sambil senyum-senyum sendiri, mengingat kembali masa-masa di sekolah dulu. Rousyan adalah kakak kelas Hana, dia pernah mejadi ketua di salah satu organisasi keagamaan yang diikuti pula olehnya. Seperti ada rindu yang terobati, setelah empat tahun tidak bertemu. Setelah lulus dulu, Rousyan melanjutkan pendidikannya ke Surabaya. Sedangkan Raihana, dia masih setia menjadi gadis desa yang tetap tunduk pada adat dan budaya. Tak disangka perasaan Hana masih tetap sama pada pemuda yang setiap kali bertemu, hanya merunduk malu.
"Ya Allah, ampunkan rasa dalam hatiku ini," lirihnya lagi. Sekeping hati itu seakan mengalun syahdu, menafsirkan makna sebuah rasa. Entah,sejak kapan rasa itu ada. Selama ini Raihana menyimpannya begitu rapih, hanya dalam untaian doa. Mencintai dalam diam adalah bahasa cinta terindah baginya. Karena cinta adalah anugerah, bukan sekedar rangkaian aksara yang harus diunggah. Bukan pula sebuah ungkapan yang memerlukan jawaban.
Mentari mulai menepi, membiarkan senja menyapa hari dengan seulas cahaya yang hampir pudar tertutup awan yang kian larut menggapai malam. Jalanan pun mulai sepi dari jejak langkah para pejuang mimpi, sesekali hanya terdengar nyanyian jangkring dari arah pematang sawah menambah syahdu suasana desa itu. Sementara Raihana, dia tengah kusyuk bersimpuh di sudut kamarnya. Lantunan ayat-ayat yang dibaca Hana seolah berpadu merdu bersama nyanyian semesta.
"Shodaqollahul'adziiiim...," Hana mengakhiri tilawahnya.
"Nduk ..., kalau sudah selesai makanlah dulu!" seru Ibu dari balik pintu kamar.
"Enjih Bu," jawab Hana seraya membuka pintu kamar.
"Sepertinya barusan ada tamu, siapa Bu?" tanya Hana sambil memindahkan nasi ke piringnya.
"Ooh ..., itu pak Hamdun. Kawan lama bapakmu."
"Pak Hamdun, hm .... Sepertinya Hana kok tidak asing dengan nama itu ya Bu?" tanya Hana kembali sambil mengingat-ingat.
"Ya tentu, waktu kamu kecil dulu beliau kan memang sering ke sini bersama putranya yang gendut itu. Dan kalian sering main bareng."
"Oh ..., iya. Rasyid yang nakal itu ya? Kalau pak Hamdun itu Hana inget," jawab Hana asal.
"Hush!! Kamu itu kalau ngomong, beliau itu yang sering bantu keluarga kita,pak Hamdunlah yang telah meminjamkan modal pada bapakmu hingga bisa mengolah lahan yang akhirnya dari hasil lahan itulah kamu dan adikmu bisa sekolah, Nduk."
"Alhamdulillah, mudah-mudahan silaturahminya tetap terjaga ya Bu."
"Aamiiin,tapi saat ini sepertinya hubungan baik itu tergantung padamu, Nduk." Pernyataan Bu Rahma membuat Hana heran dan tercengang di meja makan.
"Maksud Ibu?"
"Nggak, tadi ibu salah bicara. Lanjutkan saja makannya nggak baik makan sambil ngobrol!" seru Bu Rahma berusaha mengalihkan. Sementara Hana masih penasaran, hatinya terus bergumam sendirian.

Hari ini adalah jadwal Raihana mengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyah, pendidikan yang setara dengan SD. Raihana memang bukan lulusan sarjana, namun entah tawaran untuk mengajar sering datang padanya. Namun Raihana selalu mawas diri dengan latar belakang pendidikannya yang hanya sekedar tamatan SMA sederajat. Baru sebulan ini dia memberanikan diri menerima tawaran Anisa, sahabat dekatnya untuk membantu mengajar di yayasan milik ayahnya itu. Pelajaran yang dipegangnya pun hanya BTQ(Baca Tulis Quran).
Dilihatnya jam yang di tangan, "Masih ada waktu dua jam lagi," ucap Hana. Dalam satu minggu Hana hanya mengajar tiga kali, dan tiap harinya hanya mengajar dua jam pelajaran saja.
"Belum berangkat kamu, Nduk?" sapa Bu Rahma saat Hana menghampirinya di dapur.
"Hana masuk pukul 09.00 nanti Bu. Sini Bu,biar Hana yang menggoreng ikannya!" ujar Hana.
"Kalau Nak Salma bagaimana kabarnya, Nduk? Sudah lama sekali tidak pernah main kemari." Salma adalah sahabat dekat Hana.
"Alhamdulillah, dia baik Bu. Kemarin juga Hana sempat komunikasi dengannya, Salma sekarang sudah punya dua anak yang masih kecil-kecil Bu jadi mungkin susah cari waktu buat main," jelas Hana.
"Weaaalaaa, kapan nikahnya? Tau udah punya anak saja. Nah,kamu sendiri gimana, Nduk?"
"Gimana apanya Bu?" Hana balik bertanya pura-pura tidak mengerti maksud perkataan ibunya.
"Sampai kapan kamu mau sendiri terus? Ibu juga kan pengen punya cucu," tukas sang ibu sambil menyiapkan hidangan yang sudah matang.
"InsyaAllah, tentu sampai Allah mengizinkan. Semua sudah diatur dalam skenario-Nya Bu, Hana hanya bisa mengikuti alurnya saja."
"Tapi manusia juga butuh ikhtiar, Nduk. Ibu dan bapak sudah tua, adikmu Naya juga sudah besar." Nada suara Bu Rahma mulai serius. Tak terasa, akhirnya semua pekerjaan dapur juga selesai dan Hana langsung menghampiri ibunya yang mulai nampak galau merindu kehadiran menantu dan cucu.
"Ibu do'akan saja ya, mudah-mudahan Allah mudahkan jalan untuk itu," jawab Hana seraya tersenyum tipis.
"Ibu selalu minta sama Allah, biar membuka hati kamu," jawab bu Rahma agak menyindir.
"Kok, gitu Bu do'anya?" Mendengar itu, Hana sedikit ketawa.
"Kalau kamu mau, sebenarnya jalan itu sudah ada dari dulu. Tapi kamu itu, Nduk, selalu saja bilang belum siap," jawab Bu Rahma.
"Menikah itu kan untuk seumur hidup Bu, Hana hanya berusaha mengikuti petunjuk yang Allah beri lewat istikhoroh Hana. Tentu Hana pun juga sangat merindukan sosok yang benar-benar bisa membimbing Hana menjadi lebih baik dalam dien. Dan sepertinya, saat ini mungkin Allah ingin Hana belajar untuk lebih sholihah dulu agar menjadi pantas untuk suami Hana kelak." Ucapan Hana selalu mampu membuat ibunya kembali damai dengan perasaannya.
"Kalau menurutmu, nak Rasyid gimana?" tanya bu Rahma pelan. Akhirnya beliau mulai memberanikan diri membuka pembahasan yang sempat tertahan semalam. Rasyid adalah putra pak Hamdun, teman kecil Hana. Dia seorang Sarjana Tehnik yang bekerja sebagai logistik. Setelah lulus SMA, dia melanjutkan kuliah di Jakarta.
"Rasyid?"tanya Hana penuh heran.
"Kemarin itu ...," Belum sempat dijelaskan,btiba-tiba ponsel Hana berbunyi sebagai tanda bahwa satu pesan telah masuk. Pesan itu adalah dari Anisa yang menyuruhnya berangkat lebih cepat.
"Maa syaa Allah Bu, sepertinya Hana mesti cepat-cepat berangkat nih. Anisa sudah menunggu," potong Hana sambil membereskan meja. Usai pamit, Hana pun berlalu pergi.
"Ya sudah, segera siap-siap!" titah Bu Rahma sembari mendengus.
"Kenapa ibu tiba-tiba tanya soal mas Rasyid y, apa ini ada hubungannya dengan kedatangan pak Hamdun semalam?" terka Hana dalam hati. Sepanjang jalan, Hana memikirkan ucapan ibunya yang sempat tertahan semalam. Dia baru mengerti maksud pembicaraannya tadi kemana.
"Ya Allah, hamba harap dugaan hamba ini salah. Akan sulit untuk hamba menyikapi semua," lirih hati Hana.
***
Dari jauh, terlihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah Hana. Langkah Hana seketika mengayun lambat, seperti ada batu besar yang membebani tubuh mungilnya. Mobil itu sama seperti mobil yang dia lihat semalam.
"Assalamu'alaikum...," ucap Hana sesampai di depan pintu rumahnya.
"Wa'alaikum salaaaam warohmatullahi wabarokatuh." Sontak jawaban itu terdengar kompak sambil menatap ke arah Hana yang baru datang. Hana pun buru-buru menunduk saat laki-laki berkaos biru itu menatapnya dengan lekat. Setelah menyapa mereka, Hana langsung pamit masuk.
Firasat Hana mulai tidak enak, melihat pak Hamdun datang kembali bersama putra kesayangannya. Selama di Jakarta Rasyid memang sering menanyakan kabar Hana. Berulang kali dia mencoba menghubungi Hana, tapi selalu gagal.
"Hana, tolong antarkan ini ke depan yah!" seru bu Rahma seraya menyelodorkan nampan berisi air dan kue ringan. Sepertinya sengaja dia lakukan itu pada puterinya.
Dan benar, akhirnya Hana terperangkap. Seperti seorang terdakwah Hana hanya duduk merunduk menjadi pendengar. Hatinya mulai gelisah saat Rasyid terus menatapnya hingga membuatnya risih. Dan setelah lama berbincang, akhirnya Hana benar-benar tercengang saat dengan lancar Rasyid mengutarakan maksudnya. Bersama ayahnya dia datang melamar Hana. Wanita yang dicintainya sejak dulu. Kedua kepala keluarga itu tentu sangat bahagia, karena hubungan persahabatannya akhirnya akan berlanjut menjadi hubungan keluarga. Namun berbeda dengan Bu Sarah, istri pak Hamdun. Saat mengetahui putranya menaruh hati pada Hana, wanita itu nampak enggan setiap diajak berkunjung ke rumah sahabat suaminya itu.
Mendengar apa yang di utarakan oleh Rasyid, Hana hanya terdiam. Bibirnya keluh, hatinya tak bisa luluh. Melihat sikap Hana, Pak Hamdun berusaha mencairkan suasana sambil bercanda.
"Nak Hana nggak perlu menjawabnya sekarang, Rasyid hanya berusaha menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. Dan saya di sini hanya mengawalnya takut dia gemeteran," sela Pak Hamdun sambil menepuk pundak Rasyid. Akhirnya semua jadi ketawa, sementara hati Hana masih berkecamuk.
Menjawab lamaran seseorang adalah hal tersulit bagi seorang wanita. Bahkan lebih sulit dari menjawab soal-soal ujian, karena satu jawaban yang kita pilih itu akan menjadi penentuan. Tak hanya bagi kita, tapi ada banyak hati yang harus kita hargai dan kita jaga. Seringpula kita terbebani dengan sebuah anggapan bahwa penolakan seorang wanita terhadap lamaran seorang pria bisa menjadi bumerang untuk dirinya sendiri di kemudian hari, entahlah.
Hati Hana terus bertarung, antara perasaannya dan hubungan persahabatan orang tuanya.
***
"Apa kamu sudah punya keputusan atas lamaran Rasyid kemarin, Nduk?" tanya Bu Rahma penasaran.
"InsyaAllah Bu, kali ini aku akan mencoba belajar," jawab Hana dengan nada sedikit sungkan.
"Bukannya ibu mau memaksa kamu, tapi ibu nggak bisa ngebayangin kalau kamu nolak lamaran ini. Bagaimana ya, Nduk, sikap Pak Hamdun setelah ini. Apalagi Bu Sarah, mungkin beliau akan berfikir buruk tentang kita."
"Ibu tenang saja, semua akan baik-baik saja."
"Aamiiin, walau sebenarnya ibu juga tahu Bu Sarah itu kurang setujuh nak Rasyid melamarmu. Tapi, orang kaya seperti mereka kalau ditolak justru akan semakin marah karena merasa terhina."
"Hana juga berfikir begitu Bu, sebenarnya aku pun dilema. Rasanya malu Bu, dilamar oleh orang yang berpendidikan tinggi seperti mas Rasyid. Tentu siapapun akan berfikir, orang sepertinya bisa mendapatkan istri yang sepadan dengannya, sama-sama bertitel dan dari kalangan berada. Entah, kenapa dia justru memilihku yang hanya lulusan SMA dan dari kalangan biasa."
"Mungkin dia punya penilaian sendiri terhadapmu, tapi ibu lega mendengar kamu mau belajar menerimanya." Wajah bu Rahma nampak begitu cerah. Sementara Hana dalam gundah. Tiba-tiba wajah itu nampak pilu, hatinya seketika sakit saat bayangan Rousyan tiba-tiba muncul dalam fikirannya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (67)

  • avatar
    NasribasanSamir

    mantap

    21d

      0
  • avatar
    AsrilAsril

    bagus ceritanya

    04/03/2023

      0
  • avatar
    Herlen Asya Dzifah

    sangat memotivasi

    15/02/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด