logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Lembaran Baru

Udah seminggu Bapak pergi, meninggalkan aku, meninggalkan rumah, meninggalkan dunia.
Sampai sekarang, aku belum bisa menerima kenyataan kalo beliau harus meninggal secepat itu. Aku percaya, kalo manusia semuanya akan mati. Tapi buat beliau, itu belum waktunya, aku nggak terima Tuhan memanggil nama beliau duluan.
Pagi itu, Bapak masih segar bugar seperti biasa. Menghabiskan sepiring sarapan yang kuambilkan, juga segelas kopi. Bapak kayak biasanya, selalu semangat mengayuh sepedanya menuju sawah.
Aku nggak menyangka, begitu aku pulang ke rumah, bukan Bapak yang sehat kutemui, tapi beliau yang terbujur kaku, tanpa nyawa. Aku menangis sejadi-jadinya, nggak rela kalo beliau meninggalkan aku.
"Na, makan ya? Sedikit aja. Kamu bisa sakit loh kalo gini," Mbok Iyem membujukku untuk makan nasi yang seminggu ini sedikit sekali kutelan.
Semua hal yang kulakukan rasanya kayak mengingatkan aku sama Bapak. Beliau selalu ada saat aku melakukan apapun di rumah. Beliau yang selalu menyemangati aku saat aku menyerah menyelesaikan tugas sekolah. Beliau juga nggak kesal menegurku untuk menghabiskan nasi yang kumakan.
"Habisin Nduk, cari duit buat makan itu susah banget. Udah beruntung kita bisa makan,"
Mataku berkaca teringat ucapan Bapak dulu. Ucapan yang menjadi semangatku kalo aku punya niatan nggak mengabiskan makanan karena kenyang, atau karena makanannya nggak enak.
Aku bisa merasakan kalo Bapak masih disini. Hadir di sisiku, menemani aku menjalani hidup tanpanya. Bapak ada, tapi nggak kelihatan dan nggak bisa bicara.
"Teman sekolahmu kemarin nanya ke Mbok, katanya kapan kamu sekolah lagi?"
Sejak Bapak pergi, aku terpuruk dan tenggelam dalam kubangan kesedihan. Aku nggak sekolah, karena aku nggak bisa melupakan beliau. Ingin terus berada di rumah kayak menanti kalo beliau bakal kembali.
"Udah Na, Tuhan manggil bapakmu duluan, karena Tuhan sayang sama bapakmu. Jangan terus ditangisin, kasihan bapakmu disana. Tetap doakan, biar bapakmu diberi tempat yang terbaik disisi-Nya, " Mbok Iyem nggak pernah berhenti memberikan aku semangat. Dia yang menemaniku sejak bapak nggak ada. Dia bukan saudaraku, tapi dia peduli banget sama aku.
"Makan ya, nanti habis makan kamu mandi. Orang yang menabrak bapakmu nanti katanya mau kesini,"
Aku mengusap air mata, menatap Mbok Iyem serius. Kata dia, Bapak meninggal karena kecelakaan. Sepeda yang beliau naiki saat pulang ke rumah terkait di mobil orang, lalu beliau terseret beberapa meter.
Bapak yang kulihat terakhir kali, nggak ada bekas luka di wajahnya. Badannya juga utuh kayak nggak lagi kecelakaan. Beliau terbaring memejamkan mata, persis kayak pas lagi tidur, cuma nggak ada nafasnya.
Kecelakaan yang nggak masuk akal menurutku. Gimana bisa yang nyetir mobil nggak merasa kalo dirinya lagi menyeret bapakku? Sampai nyawa bapak terenggut. Emang, banyak orang yang naik mobil merasa sombong dan mengabaikan rakyat kecil.
Aku baru saja mandi setelah Mbok Iyem pulang. Menyisir rambutku yang kusut karena sudah seminggu aku nggak keramas. Bayangan sosok yang berdiri di depan pintu mengejutkanku. Laki-laki asing itu datang ke rumahku. Kayaknya dia yang dibicarakan Mbok Iyem sama aku tadi. Orang yang melayangkan nyawa bapakku.
Aku bergegas menghampiri laki-laki itu yang masih berdiri di depan pintu. Mendongak menatap wajahnya yang sama sekali nggak menampakkan raut bersalah. Tubuhnya tinggi menjulang, hampir saja menyentuh pintu rumahku.
"Kamu yang nabrak bapakku?" kataku kesal. Aku nggak punya niatan buat ramah tamah sama tamu. Dia nggak pantas di ladeni dengan hormat karena dia penjahat.
"Kamu yang buat bapakku meninggal....." teriakku. Laki-laki itu nggak bergeming, nggak terganggu sama aku yang menyambutnya dengan amarah.
"Kenapa harus bapakku?" kataku lirih penuh penekanan. Mencoba tetap bisa berkata walaupun kini bibirku bergetar seiring dengan air mataku yang berjatuhan.
"Kenapa kamu bunuh bapakku?" Aku terduduk lemas, pertahanan tubuhku melemah lagi. Sementara laki-laki di depanku diam kayak patung. Membuatku semakin ingin menggoreskan celurit ke lehernya.
Aku bangkit, mendekati laki-laki itu, sampai nggak ada jarak yang tersisa. Aku kesulitan menatap matanya, karena harus mendongak. Dia tinggi banget.
"Bapakku meninggal gara-gara kamu, kenapa? Kenapa? Kenapa harus bapakku?" teriakku lagi. Aku nggak peduli kalo dia orang asing, ingin melampiaskan kemarahanku sama orang yang membuat bapak meninggalkan aku.
Tanganku memukul bagian tubuh yang bisa kuraih, kupukul dadanya berkali-kali. Aku ingin sekali menampar wajahnya, tapi tanganku nggak sudi menyentuh pipinya.
Air mataku nggak mau berhenti menetes, dan tanganku terus memukul dada keras laki-laki ini. Aku sampai berfikiran kalo dia emang patung. Dadanya keras banget dan sedari tadi dia nggak bergerak, cuma matanya saja yang mengerjap.
"Pukulanku nggak sebanding sama yang kamu lakukan ke Bapak. Bapak meninggal, dan ninggalin aku sendirian. Aku bakal menderita," kataku sambil terus memukul. Aku sudah sekuat tenaga membuat laki-laki ini merasakan sakit, tapi malah tanganku yang sakit.
Lalu teriakan Mbok Iyem terdengar, disusul sosoknya yang datang dan menyuruhku buat berhenti menyakiti laki-laki ini.
"Monggo Mas, teh nya...."
Aku menatap sinis laki-laki yang kini duduk di kursi ruang tamu rumahku. Aku nggak terima kalo Mbok Iyem memuliakan orang yang membuat aku kehilangan sosok malaikat hatiku.
"Mbok Iyem nggak usah baikin orang yang sudah buat Bapak meninggal," kataku sarkas. Laki-laki itu menatapku dengan sorot mata tajam, lalu bibirnya membentuk seulas senyum.
"Na, bapakmu meninggal nggak sepenuhnya salah dia. Ada campur tangan Tuhan juga. Tuhan yang berkuasa menghidup matikan manusia," Mbok Iyem menegurku. Emang nggak seharusnya aku kasar sama orang lain. Tapi kalo orang lainnya itu jahat, kenapa enggak? Nggak semua yang jahat harus dibalas sama kebaikan.
"Sebelumnya, saya ikut belasungkawa atas meninggalnya Bapak," Laki-laki itu bersuara.
"Kamu bahkan nggak pantas buat ngucapin simpati kamu disini," kataku sewot.
Laki-laki itu nggak terganggu sama ucapanku, dan malah meneruskan perkataannya. "Saya minta maaf karena sudah buat bapak kamu kehilangan nyawa, saya benar-benar menyesal,"
Lidahku kelu kalo aku nggak mengucapkan sumpah serapah amarahku.
"Permintaan maaf kamu nggak bisa bikin nyawa bapak kembali," Aku nggak suka sama ketenangan wajah laki-laki itu. Sama sekali nggak menunjukkan kalo dirinya bersalah kayak yang dia ucapkan. Kayaknya dia cuma pura-pura bersimpati.
"Maafin dia Na, nggak selamanya kamu dendam begini," Mbok Iyem menegurku lagi.
Aku nggak bisa dengan mudah memaafkan orang yang bikin bapakku kehilangan nyawa. Rasanya nggak adil kalo orang itu tetap hidup sementara bapakku enggak.
Gara-gara dia, hidupku bakalan hancur dengan pelan. Aku nggak bisa lagi hidup nyaman, penuh semangat kayak pas lagi hidup berdua sama Bapak.
Aku beneran udah nggak bisa menjalani hidup dengan semangat. Alasanku buat semangat sudah nggak ada, dan nggak ada lagi yang jadi alasan buat aku meraih mimpi, kayak yang aku katakan sama Bapak waktu dulu.
Aku bakalan hidup sendiri, dan sibuk mencari penyambung hidup. Aku bakalan putus sekolah, karena nggak bisa bayar SPP. Aku nggak tau akan bisa berapa lama kayak gitu. Rasanya, kayak pengen meninggal saja menemani Bapak.
"Maksud kedatangan saya kemari, saya ingin meminta maaf sekaligus mau bertanggung jawab atas kesalahan saya. Saya mau mengurus kehidupan Anna, dan membiayai dia seumur hidup,"
###
"Itu kamar kamu."
Mataku mengikuti telunjuk laki-laki yang menunjuk ke pintu berwarna gading. Dia lalu pergi nggak tau mau kemana, karena ruangan di rumah ini banyak banget.
Laki-laki bernama David itu memintaku agar tinggal di rumahnya. Awalnya aku nggak mau karena aku masih ingin tinggal di rumah yang penuh kenangan sama Bapak. Lalu aku berfikir, kalo aku nggak bisa tinggal sendirian dan terus bergantung sama Mbok Iyem.
Mbok Iyem sudah banyak membantu, jadi aku nggak mau menambahi beban dia dengan keberadaanku yang menyusahkannya. Walaupun Mbok Iyem sudah menganggapku kayak anaknya sendiri, tapi aku nggak bisa karena aku anak Bapak.
Aku juga harus kembali punya semangat hidup. Biarpun bapakku nggak ada, tapi impian yang kujanjikan saat bapak masih ada, harus kugapai. Seenggaknya, aku bisa membahagiakan beliau disana.
Aku masuk ke ruangan yang katanya menjadi kamarku. Luas banget, beda sama kamarku di rumah. Sebanding juga sama ukuran rumah ini yang luas.
Aku dan Mbok Iyem sudah memutuskan, kalo rumahku bakalan dijual. Sawah bapakku juga, kambing, dan juga ladang yang ada di kaki gunung. Aku menawarkan ladang dan sawah untuk Mbok Iyem kerjakan, tapi dia menolak katanya nggak sanggup kalo harus mengurus itu lagi. Sawah miliknya yang luas sudah membuat dia kelimpungan mengurusnya.
Aku nggak ikut mencampuri urusan jual menjual itu, karena David menawarkan diri buat mengurus peninggalan bapakku.
Sekarang, aku nggak punya lagi kenang-kenangan saat hidup sama Bapak. Cuma sisa foto berduaku sama beliau, foto selfie kami pas lagi di gunung, lagi di sawah, juga foto pas aku wisuda SMP. Aku bersyukur karena sempat mengabadikan momen bahagiaku sama beliau. Sudah tergesa kupindahkan ke flashdisk, takut kalo mendadak handphone-ku rusak, dan menghilangkan semua foto kami.
Pintu kamarku nggak tertutup, dan tanpa izin David masuk begitu saja. Laki-laki itu dewasa, aku nggak tau tepatnya umur berapa. Yang jelas terpaut jauh sama umurku.
"Kamu bisa masak?" tanyanya.
Aku nggak berniat menoleh ke arahnya, dan masih memindahkan baju dari koper ke lemari.
"Bisa."
"Saya jarang masak disini. Jadi kamu bisa masak kalo lapar, atau kamu bisa delivery. Ini kartu kredit dan ATM buat kamu,"
Aku menoleh, melihat David meletakkan dua kartu itu di atas meja rias.
"Aku nggak butuh kartunya deh," kataku sambil bangkit. David mengernyit.
"Kasih duit aja. Keperluanku nggak seberapa. Susah juga kalo pake itu buat beli pentol, abangnya bingung mau gesek kemana,"
"Kamu bisa ambil pake ATM, berapapun kamu mau, kapan pun. Zaman sekarang tuh udah mudah, nggak perlu lagi bawa duit kemana-mana,"
"Kamu janji mau ngurusin aku kan?" tanyaku. David kayaknya tipe orang nggak mau kalah.
"Itu emang janji saya,"
"Kalo gitu jangan nyusahin aku. Tinggal kasih aku duit nyata, apa susahnya sih," dengusku.
David mengeluarkan beberapa lembar berawarna merah dari dompetnya, dan meletakkan uang itu diatas kartu yang dia berikan tadi. Aku lumayan terkejut sih, melihat berlembar-lembar uang seratus ribuan itu. Aku nggak pernah melihat uang sebanyak itu sebelumnya.
"Segitu dulu, ntar kalo saya sudah ngambil lagi, saya tambahin," kata David ke aku, sementara mataku nggak beralih dari rupiah berwarna merah itu.
Aku bukannya mata duitan, tapi kagum saja sama benda itu. Bapak nggak pernah ngasih uang berwarna merah bergambar Soekarno itu ke aku. Bukannya bapakku pelit, tapi emang nggak punya.
Kalo pun ada, bentuknya sudah beda. Jumlahnya seratus ribu, tapi uang pecahan semua. Itu pun untuk membayar biaya sekolahku, bukan untuk uang saku.
"Ini kunci rumah, saya nggak setiap saat ada di rumah. Jadi kalo kamu pergi, jangan lupa kunci semua pintu," kata David lagi sambil meletakkan kunci, lalu dia membalikkan badan. Kayaknya mau pergi, tapi nggak juga melangkah. Dan dia membalikkan lagi badannya, menatapku sejenak.
"Sementara ini, kamu sekolah pake ojol dulu. Bentar lagi saya beliin motor buat kamu," Setelah itu dia beneran pergi.
Sayang banget, padahal aku lebih senang naik sepeda. Aku juga bisa kejar-kejaran sama Wingki pas lagi berangkat sekolah. Tapi nggak mungkin aku naik sepeda dari sini ke sekolah. Jauh banget. Bisa-bisa sendi-sendi kakiku lepas sampai di sana.
"David, kamar mandi dimana?" seruku sambil mengejar dia ke depan pintu. Nggak tau, tiba-tiba saja kebelet pipis.
David menoleh, menatapku dengan alis bertaut.
"Panggil saya Om David,"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    1d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด