logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Pengakuan

Belum ada semenit bel istirahat berbunyi, tapi kelas sudah kosong melompong. Menyisakan aku dan juga Andhika yang masih asyik dengan game-nya.
Buku-buku kubereskan, lalu kukeluarkan bekal nasi yang kubawa dari rumah. Dari kelas satu sampai sekarang, aku selalu membawa bekal makan, dan hampir nggak pernah sarapan di kantin sekolah.
Alasan utamanya buat menghemat sih. Aku sungkan kalo minta uang saku sama bapak, sebelum bapak ngasih uangnya sendiri ke aku. Kadang bapak lupa nggak ngasih aku uang padahal waktu tenggat uangku habis sudah kelewat jauh. Makanya aku berhemat, buat jaga-jaga kalo suatu saat bapak lupa lagi nggak ngasih aku uang.
"Tumben lo nggak ke kantin," celetukku ke Andhika yang sudah duduk di kursi sebelahku. Kotak bekal miliknya tersaji di depan mata, dan nggak lupa botol Tupperware berisi air minum.
"Gue menghemat ini. Hemat kan pangkal kaya," responnya santai.
Aku mendelik, memberikan tatapan nggak percayaku. Cowok ini bakal jadi yang pertama keluar kelas saat bel istirahat berbunyi, dia bakal menerobos gerombolan anak-anak yang lagi desak-desakan beli makanan di kantin.
"Ceileh, sejak kapan lo sadar kalo hemat itu pangkal kaya," kataku menyindir. Aku membuka kotak makanku. "Oh gue tau, lo pasti bokek kan? Ibu lo belum tf duit ke lo," sambungku.
"Nah, itu lo tau."
Andhika nge-kos nggak jauh dari sekolah. Dia nggak cuma satu-satunya temanku yang menyandang gelar 'anak kos'. Fajar, Yuda, dan temanku yang lain juga sama. Bahkan Riko, cowok yang sedikit pendiam itu satu kos sama Andhika.
"Lo masak apa?" tanya Andhika sambil melirik bekalku. Aku menyodorkan nasi goreng milikku. "Nasi goreng, mau?" tawarku.
Tawaranku di angguki, lalu menyerobot bekal di tanganku. Aku berdecak menyaksikan Andhika yang lahap menelan nasi goreng buatanku.
"Enak," Kunyahan nasi goreng di mulutnya belum tertelan sempurna, tapi dia menyempatkan ngasih pujian buat aku.
Aku tersenyum dan dengan bangga berkata, "Iya dong, gue kan calon istri idaman."
Andhika mengembalikan bekal makanku yang kini nasinya sudah berkurang beberapa sendok. Mata sipitnya menatap mengejek. "Heh, iya. Lo kan calon istri idaman gue,"
Aku mencebik menanggapi gurauan Andhika.
Sama sekali nggak memasukkan hati candaan si ketua kelas. Teman-temanku emang gitu, ngomongnya blak-blakan nggak bisa direm, sampai lupa kalo mereka berkelamin jantan. Ibu-ibu tukang ghibah mah kalah, kalo udah kalimat bar-bar nya keluar.
"Oh iya Na, hampir aja lupa" kata Andhika setelah memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. Cowok itu bergegas menuju ke mejanya, lalu kembali dengan membawa kotak persegi yang kali ini terbungkus kado bercorak bunga-bunga.
Aku yang asyik mengunyah cuma menunggu gerakan Andhika selanjutnya, "Ada kado lagi buat lo,"
"Lagi?"
Bola mataku membesar, lumayan terkejut melihat kado itu diangsurkan Andhika padaku.
"Beneran ini buat gue lagi?" tanyaku. Kemarin aku sudah dapat kado tanpa nama pengirim, dan sekarang aku mendapat kado lagi dari tanpa nama pengirim juga.
"Buka aja,"
Andhika masih sama semangatnya kayak kemarin pas aku nyuruh dia buat bukain kado. Kalo kemarin matanya langsung berbinar cerah melihat isinya, tapi kali ini enggak. Dia tampak kecewa.
"Bukan coklat Na," keluhnya lirih.
Satu persatu isi kado dia keluarkan.
"Jepit rambut, anting-anting, kalung, bando....sama...." Sebuah amplop dia keluarkan, " Ada suratnya Na," lanjutnya sambil menunjukkan amplop di hadapanku.
Aku melahap suapan nasi terakhir.
"Baca", suruhku di sela-sela mulutku mengunyah makanan.
"Maaf ya, selama ini kado-kado dariku buat kamu terganggu. Aku kayak pengecut nggak berani nampakin diri. Tapi kali ini, aku punya nyali buat nunjukin siapa aku. Kalo kamu penasaran, kamu bisa datang ke gazebo tengah sepulang sekolah,"
Usai Andhika membaca surat itu, kami saling tatap. Saling bertukar sorot mata enggak tau. Lalu dengan bersamaan kami berdua menoleh kanan kiri, menelusuri ruangan kelas yang masih kosong melompong.
"Anak sini nih berarti. Hebat lo punya secret admirrer,"
"Berasa jadi artis kan gue,"
"Songong lo."
Andhika meraih bando pita berawarna pink yang menjadi isi kado tadi, lalu memakaikan aksesoris rambut cewek itu di rambutnya yang cepak. Mengambil cermin kecil di mejaku tanpa izin, dia lalu senyum-senyum nggak jelas di depan cermin. Berpose-pose layaknya dia pantas memakai benda itu.
"Gimana Na? Ucul kan?" katanya padaku sambil mengedip-kedipkan kedua matanya.
"Mirip banget sama banci JB, udah ikut nongkrong aja ntar malem, jangan lupa pake daster."
"Masa iya sih? Yaudah lo ikut gue juga ntar malem, cari om-om berduit,"
"Ogah." tolakku.
"Ini bando unyu banget di lo Na, pasti."
Bando pink itu sudah berpindah di kepalaku, tentu Andhika yang memasangkannya.
"Unyu banget sumpah, ngaca noh." ucapnya lagi sambil mengulurkan cermin.
Aku jarang memakai aksesoris rambut seperti jepit, bando, juga aksesoris yang lain. Terlalu kekanakan, dan girly menurutku. Cukup dengan menguncir rambutku ala ekor kuda, sudah bisa membuatku percaya diri menjalani hari. Beda sama Ratih si tukang baperan yang selalu menghiasi rambutnya dengan perintilan warna-warni. Sudah kayak rambut anak TK.
Melihat bando pink ini bertengger cantik di rambutku, nggak terlalu buruk. Nggak aneh dan lumayan bagus juga. Membuat rambut hitamku terlihat lebih hidup, dan nggak monoton. Bando ini bakal aku simpan dan aku pakai buat aksesoris rambutku lain waktu.
"Uluh uluh, comel banget sih....anak siapa?" Pujian Andhika yang kayak lagi muji anak kecil membuatku memutar bola mata kesal. Nggak tinggal diam, tangan cowok ini mencubit pipiku, itupun bukan cubitan gemas tapi lebih ke cubitan geram. Dan ini sakit banget.
"Ceileh, kalian....berduaan di kelas, lagi pacaran? Awas nih benih-benih cinta bertebaran, cie...."
Wingki datang bersama anak-anak yang lain. Aku belum mendengar bel masuk berbunyi sih. Tumben kan mereka sudah kembali ke kelas.
"Eh Ka, mabar yok." Doni, temanku yang bertubuh paling tambun menghampiri Andhika yang masih menandaskan makanannya. Andhika sih kebanyakan ngomong, nasinya jadi terbengkalai. Dengan buru-buru dia menutup bekal nasinya, lalu berlari mengikuti Doni ke pojok kelas.
"Guru baru bukan sih?" Ratih menghampiriku, menggeser kursi milik Wingki disejejarkan dengan kursiku. Pemilik kursi sudah melanglang buana menggerakan si Layla buat menghancurkan turennya Zilong.
Aku nggak menjawab karena menurutku Ratih bertanya sama Kenya yang duduk di kursi depanku.
"Lo tau nggak Na? "
Aku bingung, cewek ini tiba-tiba saja datang lalu menanyaiku tanpa aku tau apa permasalahannya. Kan ambigu.
"Ratih tadi katanya ketemu sama mas-mas ganteng, masih muda. Dan asing wajahnya, kayaknya sih guru baru," jelas Kenya seakan tau kebingunganku.
"Oh....ngemeng dong, masa iya gue langsung ditanya begitu, kan gue bingung,"
"Beneran ganteng sumpah, kumisnya ya ampun......" Ratih histeris, dan aku jadi penasaran seganteng apa guru baru itu.
"Ngajar kita nggak sih?" Tanyaku.
"Kayaknya enggak deh," Kenya berasumsi. Cewek itu lalu mengeluarkan liptint dari saku bajunya. Men-touch up bibirnya biar kelihatan nggak pucat.
"Tapi, bukan tipe gue deh. Gue masih doyan yang muda," Lalu tawa lirih terdengar. "Buat Lo aja deh Na, kan lo pemuja pria berumur."
"Ya kali, sono mau sama gue, " Aku merendahkan diri.
Kedua temanku ini tau kalo tipe laki-laki idamanku itu yang umurnya lebih diatasku. Lebih tua dariku, yang lebih berumur, tapi gak tua-tua juga. Lima tahun, atau enam tahun diatasku mungkin. Ya intinya masih pantas lah dipanggil 'mas', bukannya 'om'.
Nggak tau kenapa aku menanamkan prinsip itu dari sekarang. Disaat umurku masih belasan tahun, dimana anak seusiaku diluar sana pasti masih memilih buat menjalin hubungan dengan anak seusianya, beda denganku yang malah berharap dapat pria berumur.
"Gue kemarin habis beli lipcream warna baru. Warnanya cantik sih coral gitu, bakalan natural kalo dipake di bibir. Nggak bikin dempul. Kaya pake lipstik, tapi nggak kelihatan kalo pake," Pembicaraan kami tentang guru baru tergantikan. Ratih menuju mejanya lalu kembali dengan membawa lipcream kayak yang dibicarakannya.
"Emang bener nggak dempul?" Kayaknya Kenya nggak yakin sih. Biasanya ucapan Ratih emang berbanding terbalik dengan fakta.
"Cocok buat lo Na, gue kasih gratis deh,"
Kenya langsung merebut lipcream yang Ratih gembor-gemborin itu, mengoleskan isinya di punggung tangan. Mengetes warna dan tekstur mungkin.
"Ini mah pantesnya buat gue. Buat Anna mah cukup gitu aja, nggak usah dipakein apa-apa, bibirnya udah merah menggoda"
Ratih merebut kembali lipcream dari Kenya, dengan gaya kemayu sembari mengerucutkan bibir, dia berkata "Biar tambah seksi dong. Muah."
###
"Beneran nggak papa nih, gue ikut?"
Andhika tampak ragu-ragu. Padahal dia sudah janji buat nemanin aku menemui si pengagum rahasiaku.
"Enggak papa, kenapa sih? Lo kan teman gue," Aku meyakinkan. Sarana biar Andhika nggak kabur gitu aja ninggalin aku. Aku juga pengen tau, siapa sih dibalik kado-kado itu.
"Tapi bentar deh Na, kayaknya nggak etis banget deh kalo gue nemenin lo disini. Gue takutnya itu orang nggak jadi nampakin diri karena tau kalo lo nggak sendirian. Dia gak mau identitasnya ada yang tau selain lo,"
"Masuk akal juga sih,"
Andhika manggut-manggut argumennya ku setujui.
"Gimana kalo gue pantau dari jauh. Di balik tembok sono," Mataku mengikuti telunjuk Andhika yang menunjuk tembok yang dimaksud. "Ntar kalo dia macem macem, gue langsung nongol."
"Nggak mungkin juga dia macem macem disini Ka, sekolah nih. Masih rame. Ada cctv juga,"
"Ya kan siapa tau. Kemungkinan terburuk tuh harus diantisipasi."
"Hooh deh, sana sembunyi," Aku mendorong tubuh Andhika pelan, lalu cowok itu berlalu.
Menanti kedatangan sosok misterius yang nggak kunjung datang, aku terus melihat jam di handphone. Kalo gini terus aku bisa pulang kesorean, kasihan bapak belum makan kalo masakan yang kumasak tadi pagi sudah habis. Aku memutuskan untuk menunggu lima menit lagi, kalo dia tetap nggak datang yaudah aku pulang.
"Riko...nungguin siapa?" tanyaku pada cowok yang mendadak duduk di sebelahku. Teman kelasku yang satu kos sama Andhika, yang sedikit pendiam, dan sedikit juga interaksiku dengannya.
"Cari Andhika ya?" kataku lagi setelah Riko tak berniat membalas tanyaku. Riko lagi lagi cuma diam, dan aku nggak tau harus ngapain, karena emang dari dulu Riko ini udah pendiam.
Dia menatapku tajam, tatapannya nggak biasa menurutku. Beda sama tatapan teman cowokku yang lain. Walaupun Wingki juga sering menatapku tajam kayak gini, tapi sorot mata Wingki nggak sama kayak sorot mata Riko.
"Kado-kado itu dari gue," Setelah sekian detik gak ada suara, Riko bersuara dengan nada yang dingin.
"Kado apaan?" tanyaku.
Aku sama sekali nggak membahas tentang kado. Dan masalah kado yang tau cuma aku sama Andhika, bukan Riko.
"Coklat, kalung, bando, surat, itu dari gue,"
Mendengar kalimat itu bibirku menganga. Belum sepenuhnya percaya sih kalo sosok misterius itu adalah Riko. Riko nggak pernah terlihat mencurigakan, dan aku sama sekali juga nggak mencurigai dia. Interaksinya denganku saja bisa dihitung dengan ruas jari kelingking.
Sedikit dan sejarang itu.
"Candaan lo gak lucu deh," Aku tertawa lirih. Siapa tau kan, Riko mengaku kalo dirinya bohong.
"Gue serius. Gue suka sama lo, gue nggak berani ngomong langsung ke lo. Dan kado kado itu sebagai penghantar. Gue kira lo bakalan kepo dengan pengirim tanpa nama itu, lalu lo cari. Dengan begitu gue bisa dengan berani nunjukin kalo dibalik kado itu ada gue yang suka sama lo. Tapi nyatanya, o cuek Na. Dan itu bikin gue lama-lama nggak tahan."
Aku masih ternganga dengan pengakuan Riko yang panjang lebar. Nggak nyangka kalo cowok yang pendiam di kelas ternyata menyimpan segenap rasa buatku. Lalu dia berani memaparkannya dengan panjang dihadapanku sekarang, walaupun butuh waktu yang lama buat ngumpulin keberanian.
"Sorry Rik, gue nggak tau," Aku mehela nafas lalu melanjutkan ucapanku, "Rasa suka itu wajar kok. Siapapun yang Lo suka itu hak lo. Gue maklumin."
Aku tersenyum, berusaha meyakinkan bahwa keputusan Riko untuk jujur itu memang pilihan.
Aku nggak mau Riko menyalahkan dirinya karena sudah mengatakan hal itu sama aku, lalu dia bakalan menghindar karena malu.
"Gue sayang sama lo Na, tapi gue pengecut, nggak berani ngomong sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue? Nggak apa lo nolak, tapi seenggaknya hati gue udah lega berhasil ngungkapin semuanya ke lo," Senyum simpul tersungging dari bibir cowok berkumis tipis ini.
Aku bisa melihat gurat kelegaan hadir di wajahnya, juga sorot matanya yang tenang.
"Maaf nih ya Rik, gue lagi males pacaran. Jadi, gue tolak lo nggak apakan? Jadi teman aja oke?" Aku mengulurkan jari kelingking yang nggak lama kemudian disambut tautan jari kelingking Riko.
"Oke. Tapi lo jangan hindarin gue. Gue takut setelah gue ngomong ini ke lo, lo jadi ilfeel sama gue."
"Ya enggak dong. Asal lo nggak diam aja kayak patung. Btw, lo masih bakalan ngirim coklat ke gue kan? Si Andhika tuh seneng banget sama Silverqueen."

หนังสือแสดงความคิดเห็น (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    1d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด