logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Malam

Pelan-pelan, masih dengan kaki telanjang yang menyusuri aspal dingin malam, goresan luka kecil disana mulai terasa nyeri disetiap langkah. Sampai di kosan, semua baru terasa lebih nyata dua kali lipat dari yang tadi. Saat membuka pintu, saat menyalakan lampu, saat terguyur air di bawah shower, aku tidak pernah luput memikirkan apa yang membuat diriku bisa jadi begini sekarang. Entah dalam konteks apa. Dipecat sudah jelas bukan berita bagus. Tapi, bagaimana, ya? dadaku ini terasa cukup lega untuk dipakai bernapas. Seperti satu beban berat dari akar permasalahan hidup sudah berhasil terangkat dan lenyap.
Aku berbaring, mengosongkan pikiran. Berusaha mati-matian untuk tidak mengulang reka adegan dalam memori beberapa saat yang lalu untuk menghindari ‘kebawa perasaan,’ yang tidak jelas lagi.
Hening, tubuhku menyamping, memeluk guling dan mematikan lampu. Mencoba memejamkan mata namun nerakanya adalah: aku tidak dapat terlelap barang sedetikpun. Lama-kelamaan aku jadi lelah sendiri. Jadi, dengan mengumpulkan sisa-sisa energi, aku bangkit untuk mengambil ponsel yang sedang ter-charging di soket bawah meja dan kembali menghempaskan diri di atas kasur. Terlentang menghadap langit-langit kamar, akses internet mulai membawaku berselancar ke berbagai belahan dunia. dari mulai Google, Instagram, twiter, whatsapp, sampai line, semua kujelajahi tanpa minat. Seperti sudah kewajiban. Menscroll tak berujung, sederet artis k-pop muncul pada beranda Instagram tanpa henti bagai rumput liar yang jika dipotong malah akan semakin tumbuh lebat. Beberapa notifikasi yang tidak penting dari mulai; email, iklan pop-up pada browser, sampai notifikasi dari youtube pun memampangkan diri sekilas lalu menghilang hilir-bergilir. Pada status bar, aku memilah-milah mana yang harus dihapus permanen jika tidak ingin kapasitas ruang memori internal menjadi semakin penuh, berulang kali. Tanpa sadar, aku telah melakukan hal yang sama setiap hari. Ini agak membosankan.
“Hm-hm-hm…”
Bersenandung sebuah lagu membuatku tiba-tiba teringat BTS. ‘Ah, katanya, mereka akan mengiklankan sebuah produk, tapi tidak tahu produk apa. Aku belum mencari tahu.’ Sambil berpikir, aku menatap grup percakapan ‘K-pop Army’ di Line dan kemudian menerka, “Tidak lama lagi, pesan masuk grup ini pasti akan jadi ribut setengah mati.”
Terkekeh geli untuk beberapa saat, melupakan apa yang baru saja terjadi, aku tiba-tiba berhenti. Kedua kelopak mata kembali membulat dengan perasaan yang sedikit agak rumit untuk dijelaskan. Tak lama, aku mematikan ponsel sebelum suasana hatiku mulai berubah kelabu. Duduk menempel di punggung kasur dengan memeluk lutut, hening menyeruak sebelum akhirnya suara di dalam kepala mulai ramai tak terkendali.
“Aku nggak habis pikir sama kamu, Roula. Tertawa di situasi begini? Jih!” Mendengus kasar lalu mengusak surai.
“Bodoh, bodoh, bodoh!” aku memukul kepala sendiri. Beberapa kali membenturkannya di punggung kasur. Cukup sakit namun kuharap ini bisa lebih baik. Seperti prinsip ayah, anak nakal harus dihukum dengan pukulan jika tidak ingin melihatnya membangkang.
Aku berpikir, setidaknya ada satu hal yang bisa kulakukan dengan kedua tangan ini jika tidak mau didepak dari kosan. Mencari pekerjaan dalam waktu dekat atau apalah, dibanding cekikikan tidak jelas begitu. Tidak tahu diri.
Lama terhanyut, aku tiba-tiba menekan angka satu pada papan nomor kontak untuk melakukan panggilan cepat karena teringat Meli. Suara tut beberapa kali terdengar sampai akhirnya hanya tersambung pada operator. Aku melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul delapan malam sementara Meli biasanya baru akan pulang dijam sembilan lebih sepuluh menit. Berpikir sejenak, gelisah ini semakin merundung.
“Apa yang bisa kulakukan dijam delapan malam begini? Biasanya toko roti buka sampai jam berapa, ya?”
Mengingat roti aku jadi ingin kerja di sana. Apa itu namanya? Café dekat pom bensin seratus meter dari depan gang? Larasa? Sudah jelas kalau untuk menghasilkan uang aku bisa memilih alternatif apapun dalam waktu dekat. Tapi tidak mungkin malam-malam begini. Paling lambat besok sore. Sampai besok sore, aku harus telusuri tempat itu sendiri. Siapa tahu saja mereka sedang butuh karyawan.
Selesai membuat rencana, tak lantas membuatku baik-baik saja. Ada saja sekelumit hal yang masuk ke dalam pikiran ini. Membuatku terjaga.
Tring,,
Telpon dari Meli. Segera kuangkat.
“Halo? Meli?”
Suara di sebrang masih grasak-grusuk tidak jelas sebelum akhirnya ia berhasil menyahut dengan susah payah.
“Iya, kenapa?”
Ingin sekali mengutarakan langsung keinginanku tapi setidaknya basa-basi itu penting.
“Kamu lagi di mana? Sudah pulang?”
“Hm, sudah. Mau jam dua belas begini, kenapa belum tidur?”
Meli terdengar lelah karena responnya yang tidak begitu antusias, aku jadi merasa bersalah.
“Ah, kamu pasti capek, ya? istirahat aja, deh.”
“Ah, nggak, nggak,” sergahnya lemah sambil menguap agak panjang. “Ada masalah apa?”
Aku tidak yakin apa benar ia lupa atau bagaimana, tapi yang kuyakini pasti, Meli orang pertama yang menelponku tadi sore. Oh, atau mungkin saja efek mengantuk. Wajar kalau ia lupa, namanya manusia.
“Aku juga bingung mau mulai dari mana. Mungkin karena terlalu gelisah, aku jadi pengen nelpon kamu aja,” ungkapku, tak sepenuhnya benar.

“Gelisah? Ah…”
Meli baru sadar bahwa ini berkaitan dengan masalah yang tadi.
“Kamu mau cerita di tempat makan biasa? Ketemu besok? Aku yang bayarin, mau?”

Tawarannya menarik, tapi aku kehilangan minat. Meski mata tidak bisa terpejam barang sedetik pun untuk melupakan gundah gulana yang menggerogoti jiwa raga ini, tetap saja saat ini bukan waktu yang tepat untuk menuangkan segalanya. Meli sebenarnya tidak perlu tahu apa yang terjadi. Tapi aku butuh seseorang untuk memberitahukanku bahwa ini semua bukan apa-apa.
“Mel,” panggilku pelan. Ia menyahut lesu.
“Hm…”
Hening. Aku berdeham pelan, mencoba menyusun kata.
“Kamu, sudah bahagia?”
Dahinya mungkin sedang berkerut karena pertanyaan tanpa korelasi ini, tapi syukurnya ia tetap mau menjawab.
“Bahagia?” tanyanya ulang kemudian ber-hem cukup lama. “Tidak tahu.”
Aku tidak membalas, tidak juga merespon. Sifat Meli lumayan unik. Kadang ia mudah ditebak, kadang sangat sulit dipahami.
“Aku merasa biasa-biasa aja, sih, La. Nggak ada terlalu sedih atau terlalu bahagia, begitu. Memangnya kenapa?”
Aku menghela napas, menutupi maksud sebenarnya. “Yah, bukan apa-apa juga, sih. Cuma penasaran aja. Apa Cuma aku sendiri yang ngerasain itu atau nggak, tapi ternyata kamu juga, jadi buat aku sedikit lebih tenang.”
“Iya, hehe. Namanya juga sahabat. Pasti selalu ngerasain hal yang sama, lah.”
Sahabat? Lama juga kata itu tidak menyapa telinga. Kukira pertemanan di dunia ini hanya sebatas sapaan. Apa yang bisa membedakannya dengan sahabat?
“Roula?”
“Hm?”
Meli menjeda beberapa detik untuk menanyakan satu hal yang dapat kurasa telah diberi empati didalamnya.
“Belakangan ini, kamu lagi banyak pikiran, ya?”
Aku tergugu. Memandangi buku jariku yang memutih dan menggigitnya sedikit demi sedikit. Suara tengkerek bersahut-sahutan disepanjang malam, dan Meli tiba-tiba melantunkan cerita. “Dulu aku juga pernah dilanda stress berat, La,” katanya sendu, membuat mataku terbuka lebar. Yang kumaksud seperti tanpa sengaja disinggung oleh Meli dengan cara yang tidak begitu kentara. Merasakan bagaimana sebuah kesamaan bisa membuat kami saling paham, membuatku yakin dia orang baik.
“Jangankan untuk beberapa tahun atau beberapa bulan, seminggu saja ngerasain itu aku nggak kuat. Merasa kalau masalahku ini paling berat, jadi aku sering pingsan. Orang tuaku kocar-kacir cari anaknya yang hilang tapi aku enggan kasih kabar. Aku menumpang nginap di rumah temanku dan banyak menyalahkan diri. Melihat dia mengepel lantai saja, sabunnya ingin kuminum. Ada banyak cara lain yang aku susun untuk menghabisi nyawa sendiri, La. Itu mengerikan.”
Aku cukup tercengang karena cerita dramatis ini tersaji dengan begitu gamblang.
“Memangnya, kamu dulu pernah stress karena apa?”
Meli berpikir, kemudian mendengus kasar. “Nggak tahu juga, ya. Aku sampai lupa gara-gara apa.”
Garis di jidatku mengkerut karena bingung. Tapi, yah, mungkin saja bisa begitu. Tidak ada yang pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi didalam diri sendiri. kadang itu membingungkan dan juga penuh misteri.
“Karena setelah kusadari, perasaan insecure atau apapun itu hanyalah diri kita sendiri. Kita mungkin ngerasa nggak ada yang peduli sama kita, tapi nyatanya nggak begitu, kok. Stress itu hanya sebuah pola pikir negatif yang berlebihan.”
Jika harus jujur, aku sebenarnya tidak memahami dengan selektif pesan apa yang Meli ingin sampaikan. Perasaanku sedang tidak baik dan entah kenapa nasihatnya sama sekali tidak membantu. Berhubung aku orang yang selalu penasaran melebihi siapapun, jadi aku berkata: “langsung saja, kesimpulannya bagaimana? Aku nggak paham soalnya.”
Dan dengan kejutan, ia membalas dengan nada bicara yang seringan kapas.
“Jangan bunuh diri. Apapun alasannya.”
***
Malam itu pikiranku jadi seribu kali lipat lebih kompleks dari yang tadi. Menengok jam dinding, sudah hampir jam empat dini hari. Tidak tahu karena apa dan sebenarnya kenapa, perasaan ini selalu saja sama seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan mungkin dari aku masih kecil. Orang-orang tidak mengerti rasa sakit apa yang kuderita. Orang tuaku tidak tahu atau tidak mau tahu, aku tidak tahu. Tapi salah satu dari itu adalah alasanku untuk meninggalkan rumah—mencabut beban menahun mereka untuk kupikul sendiri. Tapi ternyata itu tidak selamanya mudah, bahkan yang terlihat tanpa usaha sekalipun. Semua hari adalah penyiksaan. Membuatku selalu tidak tahan.
Sadar akan lamunan, air mataku menitik. Seluruh isi dunia ini begitu mengganggu. Terbesit keinginan seperti yang Meli larang tadi, namun itu selalu samar-samar. Kau tahu, seseorang biasanya akan menerobos sesuatu yang terlalu dilarang. Kalau pun aku memutuskan mati, apa masih akan ada kehidupan setelahnya? Jika ada, jangan mati lebih baik. Aku sudah muak kalau harus hidup lagi. Aku lahir ke dunia ini juga bukan atas keinginanku, lantas untuk apa kupergunakan ego? Katanya ini semua atas kehendak Tuhan, tapi, kenapa juga Tuhan repot-repot menciptakan aku untuk menjadi tidak berguna begini? Maksudku, untuk apa? Apakah Ia juga merasa kesepian, sama sepertiku?
Jika seseorang mendengar pikiran kotor ini, pasti aku akan dihakimi tanpa ampun. Aku tahu itu. Itu yang menjadi sebab utamanya mulut ini jarang berbincang dengan manusia lain. Caraku berpikir jika dipertemukan oleh cara berpikir kebanyakan orang maka akan menghasilkan: pertengkaran, kerusuhan, tawuran, kepanikan, histeris dadakan, dan lain-lain. Skalanya besar, seratus banding satu. Tentu mustahil bagiku untuk menang meski mempertaruhkan nyawa sekalipun.
Namun tiba-tiba, seperti hilang tanpa makna. Aku terdiam memandangi lampu yang telah padam. Tersenyum tanpa alasan dan merasa sangat mengantuk.
Temanku, malam. Sebentar lagi ini akan berakhir. Mari berhenti berpikir dan ayo habiskan rasa sakit ini bersama-sama.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (43)

  • avatar
    Muh Haris

    bagus

    23/08

      0
  • avatar
    SekuadKaldi

    bagus

    13/08

      1
  • avatar
    RahmiAulia

    bagus cer8

    28/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด