logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 14 Tidak Ada Uang Jajan

Mentari pagi memperlihatkan senyum indahnya kepada penduduk bumi. Burung-burung camar berkicau menyambut hari. Penduduk desa mulai lalu-lalang menuju sawah dan ladang. Wajah para petani itu tampak ceria, walaupun yang dituju hanyalah sebuah tempat yang akan membuat kulit mereka terpanggang terik mentari. Mereka memang sederharna, namun bahagia.
Raut wajah Aminah berbalik seratus delapan puluh derajat dengan raut wajah para petani yang yang hendak ke sawah dan ladang itu. Ia tampak sedih. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa kepada Dayat. Ia takut anaknya itu akan kecewa jika akan tahu sebuah kenyataan hidup yang harus dijalani di pagi hari ini.
“Nak, hari ini emak tidak bisa memberi Dayat uang jajan. Uang yang dipinjam ayah semalam hanya cukup untuk makan kita saja” ungkap Aminah mencoba memberanikan diri mengucapkan kata-kata mengecewakan itu.
Dayat terdiam sejenak. Ingin sekali ia berontak, namun nuraninya mencoba tuk menerima kekecewaan itu.
“Iya Mak” jawab Dayat mencoba berlapang dada mendengar ucapan itu.
Dayat memang seorang anak kecil yang sadar akan realita kehidupan yang ada di hadapannya. Kemiskinan telah terlebih dahulu mendewasakan pikirannya. Ia senantiasa menjaga perasaan seorang emak yang telah menggantungkan mimpi besar pada lehernya. Berat untuk memikulnya. Ia merasa seakan memikul berat padi yang dimasukkan ke dalam karung goni lalu ditaruh di atas pundaknya. Kemudian ia harus melewati jalan panjang, berliku, berlumpur dan berduri untuk membawa padi-padi dalam goni itu.
“Sabar ya sayang. Kalau nanti sudah istirahat, Dayat di kelas saja, tidak usah pergi ke kantin ya”
“Iya Mak. Dayat pamit dulu”
“Iya Nak. Hati-hati di jalan”
Anak nan polos itupun beranjak dari rumah menuju sekolah. Ia langkahkan kakinya dengan perasaan tidak menentu. Ia tak mampu tuk mengeluh. Seandainya pun ia mengeluh, tidak akan mengubah kepiluan hidup yang sedang ia jalani. Anak itu sudah paham bahwa keluarganya sedang hidup di balik jeruji kemiskinan.
. Sementara itu Aminah tetap berdiri di pintu rumah. Tatapan sayunya mengantarkan keberangkatan putra sulungnya itu menuju sekolah. Hati kecilnya iba ketika melihat kelapangan hati anaknya itu dalam menerima semua kenyataan hidup.
***
“Ceng, ceng, ceng” suara besi padat itu terdengar di seantero lingkungan sekolah.
Setiap benda itu berbunyi akan ada tiga isyarat yang ia sampaikan kepada para guru dan murid yang ada di SD Negeri 147545 Bange itu. Bunyi lonceng pertama akan mengisyaratkan masuk sekolah. Bunyi lonceng ke dua menandakan jam istirahat. Bunyi yang ketiga akan mengisyaratkan waktu pulang. Bunyi yang terdengar saat ini adalah bunyilonceng kedua. Secara tidak langsung berarti lonceng itu sedang menyuruh para guru dan murid untuk menghentikan semua proses belajar-mengajarnya. Mereka diintruksikan agar keluar dari kelas untuk istirahat sekitar dua puluh menit.
“Anak-anak karena lonceng istirahat sudah berbunyi maka pelajaran Matematika, kita cukupkan sampai di sini” ujar ibu guru yang sedang memakai baju warna hitam itu.
“Iya Bu” jawab para murid serentak.
Anak-anak tampak memasukkan buku dan alat tulis mereka ke dalam tas masing-masing. Sesekali terdengar suara beberapa murid yang sedang mengobrol tentang pelajaran setelah istirahat. Sebagian yang lain terdengar sedang membicarakan tentang makanan di kantin.
“Yat kita ke kantin yuk” ajak Rahman.
“Aku tadi sudah sarapan di rumah Man. Aku tidak lapar lagi” jawab Dayat berusaha menyembunyikan bahwa ia tidak punya uang jajan hari ini.
“Iya aku juga tadi sudah sarapan di rumah. Biasanya kan kalau sudah istirahat kita selalu jajan ke kantin”
“Kamu duluan aja Man”
“Ayolah sama-sama”
“Sebenarnya…”
“Sebenarnya apa Yat?”
“Sebenarnya hari ini aku tidak ada uang jajan. Emakku tidak ada uang lagi. Ayahku juga kemarin sudah berhutang ke tetangga kami untuk membeli beras”
“O, ya sudah, kita pakai uang jajanku saja”
“Jangan. Aku tidak usah ikut Man. Aku takut dimarahi emakku kalau memakai uang kamu”
“Aku ikhlas kok Yat. Aku tidak minta diganti. Kau itu temanku yang paling baik. Aku senang bisa membantu kamu”
Dayat tampak masih ragu mengiyakan ajakan Rahman. Ia takut emaknya akan gusar jika tahu ia menerima uang jajan dari orang lain. Ia selalu diingatkan emaknya untuk tidak menyusahkan siapapun.
***
“Dayat mau makan apa ?”
“Gorengan saja Man”
“Dayat tidak boleh malu-malu, aku ini sahabatmu. Kita makan lontong saja ya, dibuat gorengannya juga”
“Aku jadi tidak enak sama kamu Man”
Sungguh mulia hati Rahman. Walaupun ia bearasal dari keluarga terpandang, namun ia tidak pernah menyombongkan diri. Ibunya selalu mengajarkan hal-hal baik kepada Rahman. Tidak sia-sia ibunya bekerja sebagai tenaga pendidik karena perempuan itu sudah terlebih dahulu berhasil mendidik anaknya.
Rahman hidup serba berkecukupan. Kebahagiaan dunia telah ia rasakan. Tidak semua orang bisa seberuntung anak berhati malaikat itu. Kehidupan Rahman dengan Dayat seperti jarak langit dengan bumi. Sangat bertolak belakang. Sangat berbeda. Satu keluarga kaya, sedangkan yang satu lagi hidup dalam belenggu kemiskinan. Walaupun begitu, mereka adalah dua orang anak masa depan yang sama-sama mempunyai impian yang sangat besar.
Bersambung....

หนังสือแสดงความคิดเห็น (64)

  • avatar
    Ardnsyhh Mrf

    begitu lah perjuangan seorang ibu yang selalu nyiapin apa saja untuk keluarganya

    09/08/2022

      0
  • avatar
    tasnimputeri

    👍👍

    3d

      0
  • avatar
    NurdinTini

    bagus karena ada adzan

    29d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด