logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 77

"Diana dan Kevin.. mereka sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kondisi keduanya..." Jeremy ragu untuk melanjutkan perkataannya. Di depannya, raut wajah Revan semakin pucat.
Revan merasa napasnya tertahan. Sama seperti beberapa murid yang mendengarnya.
Mereka tahu, dari ekspresi Jeremy, bahwa kondisi kedua sahabat Revan jelas tidak dalam kondisi yang baik.
Revan segera melepaskan tangannya dari pundak Jeremy. Ia berbalik dan melangkah hendak keluar kelas.
"Revan! Kau mau ke mana?!" tanya Jeremy sedikit mengeraskan suaranya.
Pertanyaan itu membuat langkah Revan tertunda sejenak. Ia menoleh pada Jeremy yang ada dibelakangnya tanpa menjawab.
Jeremy bisa menduga tujuan Revan.
Karena itu ia menyahut lagi, "Kita akan menjenguk mereka berdua setelah jam pelajaran berakhir. Kita pergi bersama-sama. Jadi tahan dulu langkahmu."
Revan tidak langsung membalas dan memilih memandang kembali jalan koridor depan pintu kelasnya. Ia tidak menuruti kata-kata Jeremy dan tetap melanjutkan langkahnya.
Sebelum tubuhnya menghilang dari ruang kelas, Jeremy bisa mendengar Revan bersuara.
"Aku pergi sekarang."
*****
Reban mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Ia seolah lupa jika kedua sahabatnya masuk rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas.
Tindakannya benar-benar tidak boleh ditiru. Beruntung ia bisa selamat dan sampai di tempat tujuan dengan tubuh yang utuh.
Revan segera berjalan cepat bahkan hampir berlari menuju ruangan Diana. Revan mulai memelankan langkahnya begitu ia sudah dekat dengan ruangan dimana Diana di rawat.
Revan sudah menyusun apa yang akan ia lakukan. Setelah melihat Diana, Revan akan mengunjungi ruangan Kevin.
Revan melihat sesuatu.
Ada seorang pemuda duduk di dekat pintu masuk ruangan Diana. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Tangan orang itu lalu bergerak menuju rambutnya.
Kepalanya tertunduk dan ia tampak tengah mengacak rambutnya sekarang, bahkan sesekali ia mencengkram rambut di kepalanya.
Revan mengabaikan pemuda itu dan mendekati pintu ruangan Diana dirawat.
Revan telah berdiri di depan pintu ruangan Diana sekarang. Ia berdiri di samping pemuda yang sedang duduk tersebut.
Revan mencoba mengatur napasnya yang ternyata tidak beraturan, mungkin karena ia datang terburu-buru.
Revan lalu mengangkat tangannya, hendak menggapai daun pintu di hadapannya.
"Kau siapa?"
Gerakan tangan Revan berhenti. Suara yang bertanya padanya membuat Revan menoleh ke sampingnya. Ia melihat pemuda yang tadi menunduk kini mengangkat kepalanya.
Dan selanjutnya mereka berdua terkejut saat mengetahui identitas masing-masing.
Pemuda yang duduk tadi langsung berdiri saat ia mengenali Revan.
"Kau.. Kau teman Diana 'kan?" tanyanya pada Revan. Memastikan jika ingatannya tidak salah.
Ia tidak lupa dengan orang yang selalu menjemput dan mengantar adiknya ke sekolah setiap hari.
Revan mengangguk sebagai jawaban pertanyaan kakak Diana. Ternyata pemuda yang berada di sampingnya itu adalah David, kakak Diana.
Revan tidak terlalu memperhatikan penampilannya tadi. Ia terlalu fokus pada ruangan Diana dirawat.
Sedangkan David tidak menyadari Revan karena tadi ia duduk sembari menunduk.
"Apa kau mau masuk?" tanya David menatap wajah Revan yang terlihat cemas dan gugup.
Seolah sekarang ia tengah menunggu hasil ujian penting yang menentukan hidupnya.
Revan mengangguk sebagai jawaban dari pada bersuara.
Perasaannya terlalu kacau untuk bicara. Ia sulit mengeluarkan suaranya di depan David. Revan juga tertegun saat melihat penampilan David seperti apa.
Ia tidak buta. Penampilan David sangat kacau.
Wajahnya kusam dan pucat. Tatapan matanya sayu dan memerah. Rambutnya acak-acakan. Revan yakin David bisa tidak berdiri dengan tegak sekarang. Seolah ada beban berat di kedua pundaknya.
Revan tidak heran dengan hal itu. Sebagai teman saja, Revan sudah merasa sangat kacau. Apa lagi David yang statusnya adalah kakak Diana.
"Apa kau yakin?" tanya David lagi dengan suara serak.
Revan merasa jantungnya berdetak dengan menyakitkan. David seolah memberi peringatan padanya.
Revan sekali lagi mengangguk. Mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk.
David menarik bibirnya, tersenyum lemah. Senyumnya sarat dengan kesedihan. Ia lalu bergerak mendekati pintu.
Revan refleks mundur dan memberikan ruang pada David.
David perlahan membuka pintu ruangan Diana. Revan melihat isi ruangan yang terlihat sedikit demi sedikit dengan gugup. Lalu akhirnya penglihatan Revan menangkap sosok Diana.
Revan berdiri diam di ambang pintu melihat keadaan Diana. Ada perban yang melingkari kepalanya, tangan kanannya menggunakan balutan gips dan Diana memakai penyangga di lehernya.
Revan terpaku melihat sosok Diana saat ini, ia merasa ikut sakit. Tapi di saat yang sama ia merasa sedikit lega. Lega karena ia melihat Diana telah sadar.
Mata Diana terbuka lebar. Tidak seperti dugaannya yang mengira Diana mungkin sedang menutup matanya.
Diana bahkan duduk bersandar sembari melihat ke arah jendela sekarang. Yang kemudian menoleh, melihat ke arah pintu di mana David dan Revan baru saja masuk.
Revan mengikuti David melangkah ke dalam ruangan.
"Diana, lihat.. ada temanmu yang datang menjengukmu." David yang pertama kali bersuara
Mata Diana bergerak melihat ke arah Revan. Seketika Revan merasa gugup dengan pandangannya itu.
"Teman?" gumam Diana pelan. Ia melihat Revan dengan pandangan kosong.
Revan merasa sesuatu yang aneh saat mendengar gumaman Diana itu.
David duduk di kursi yang ada di samping kasur Diana.
"Benar, namanya Revan Gael." David mencoba menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun senyumannya tampak kaku karena dipaksa.
Revan semakin merasa ada yang salah di sini ketika David menyebut namanya. Seolah memperkenalkan dirinya pada Diana.
Tapi seharusnya Diana sudah mengenalnya.
"Revan Gael.." gumam Diana lagi.
Revan memandang David dengan tatapan bingung.
David yang merasa sedang ditatap, akhirnya balas memandang Revan, dengan raut wajah David yang sedih.
"Hai.. Revan." Diana akhirnya bicara pada Revan.
Firasatnya semakin nyata saat sebuah dugaan melintas di pikirannya.
Revan menggelengkan kepalanya melihat tingkah aneh Diana sejak tadi. Ia menolak percaya dengan dugaannya saat ini.
"Maaf, karena kecelakaan.. aku kehilangan ingatanku.. Tapi kak David bilang, kalau kau itu.. adalah temanku.. apa kita memang berteman?" tanya Diana pelan. Ia lalu tersenyum kecil pada Revan.
David memejamkan matanya. Sedangkan Revan lupa caranya bernapas sekarang.
Ternyata dugaannya benar.
Diana mengalami amnesia setelah ia sadar dari kecelakaan.
*****
Albert membuka sebuah pintu ruangan rawat inap. Ia melihat ke segala penjuru ruangan. Pandangannya lalu jatuh pada sosok yang tengah terbaring di atas kasur pasien.
Tidak banyak yang berubah dari ruangan ini. Keadaan ayahnya juga tidak jauh beda dan sama seperti tiga hari yang lalu, saat dirinya mulai tinggal bersama ibunya.
Ayahnya saat ini sedang duduk di atas kasur dengan bersandarkan bantal.
Oliver mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Kegiatan membaca bukunya terpaksa tertunda. Ia lalu melihat seseorang yang tidak terduga.
Oliver menegakkan punggungnya. "Albert?”
Albert menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Raut wajahnya tampak serius dan cemas di saat bersamaan.
"Bagaimana kabar ayah?" tanya Albert memulai pembicaraan dengan basa-basi.
Meski sebenarnya ia tengah membawa kabar penting, kabar buruk untuk ayahnya. Albert belum sepenuhnya siap memberitahu hal itu langsung.
Tapi Albert tidak boleh menyembunyikan hal sepenting itu dari ayahnya. Albert harus memberitahu berita buruk itu pada Oliver apa pun yang terjadi.
"Baik. Keadaan ayah jauh lebih baik sejak terakhir kali kau datang berkunjung dan menjenguk ayah." Ayahnya tersenyum setelah menjawab.
Albert membalas, "Itu.. kabar yang baik." Setelah itu Albert terdiam dengan rasa gelisah yang semakin besar.
Ia bingung untuk melanjutkan pembicaraan ini. Ia bingung bagaimana cara memberitahu berita yang ia bawa pada ayahnya dengan kata-kata yang tepat.
"Ada apa Albert? Kenapa kau hanya berdiri di situ saja?" tanya Oliver heran dengan sikap tidak biasa Albert.
Albert bahkan baru sadar jika dirinya tidak bergerak dari pintu meski ia sudah menutupnya. Ia tidak sadar jika dirinya tidak mendekat sedikit pun ke arah ayahnya. Apa ini karena ia terlalu gugup dan cemas?
Albert akhirnya mendekati kasur Oliver.
"Ada apa? Apa ada masalah dengan rumah barumu? Dengan ibumu?" tanya Oliver menebak-nebak alasan kedatangan anak kandungnya ini.
Sebenarnya ia juga sedang tertekan dengan masalah yang yang ayahnya sebutkan.
Tapi saat ini ia melupakan masalah itu. Ada hal yang lebih penting dan mendesak untuk ia pikirkan.
"Bukan. Bukan masalah seperti itu," jawab Albert.
Oliver menyuruh Albert untuk duduk di samping kasurnya. Karena meski Albert sudah mendekat, ia hanya berdiri di samping kasurnya dan tidak langsung duduk.
Albert menuruti ayahnya untuk duduk.
"Lalu? Ada masalah apa?" tanya Oliver lagi.
Albert menarik napasnya yang terasa berat. Ia mengepalkan tangannya. Menguatkan dan mempersiapkan diri untuk menyuarakan isi pikirannya.
"Ayah.. sesuatu terjadi pada Kevin." Albert menahan agar suaranya tidak bergetar dan terdengar jelas.
Namun ia tidak bisa menahan matanya yang mulai basah.
"Kevin?" Oliver mengerutkan keningnya.
"Ada apa dengan Kevin? Apa yang terjadi padanya?" tanya Oliver mendesak Albert saat ia mulai merasa gelisah tiba-tiba.
"Kevin.. Kevin koma sekarang, ayah." Albert selanjutnya mendapati wajah syok dari ayahnya.
Ia terpaksa memberitahu dengan detail apa yang terjadi pada Kevin.
Meski ia kesulitan.
Setelah masalah orang tuanya, Albert merasa itu adalah hal kedua yang paling menyakitkan untuk ia lakukan.
*****
Revan berjalan di lorong rumah sakit dengan wajah yang kosong. Di sebelahnya ada David yang ternyata juga ikut dengannya. Ekspresi David tidak lebih baik dari Revan.
Sama sekali tidak ada energi positif yang mereka keluarkan. Aura keduanya suram.
Mereka berdua lalu berhenti di sebuah pintu ruangan. Dibandingkan ruangan Diana yang sebelumnya, ruangan ini tampak lebih elit.
Kali ini Revan yang bergerak membuka pintu ruangan itu. Tidak ada siapa pun di kamar itu, kecuali Kevin yang terbaring di atas kasur pasien.
Mata Kevin tertutup rapat. Keadaan tubuhnya lebih parah dari Diana. Hampir seluruh tubuhnya tertutup perban. Ada penyangga di leher Kevin seperti halnya Diana. Sebuah alat bantu pernapasan terpasang di wajahnya.
Mereka melihat hal itu dengan perasaan campur aduk.
Mereka sudah mendengar cerita lengkapnya saat kecelakaan itu terjadi.
Revan tidak menyangka Kevin yang selalu energik dan cerewet, akan terbaring koma Tidak bisa melakukan apa pun bahkan untuk sekadar bicara.
Revan mengepalkan tangannya. Keadaan kedua sahabatnya memang sangat jauh dari kata baik.
Revan hanya bisa berharap mereka bisa menjadi seperti dulu. Revan tak ingin waktu dimana saat mereka bersama akan berhenti.
Ia takut kehilangan kesempatan untuk terus bersama kedua sahabatnya.
Kevin yang mengorbankan dirinya menyelamatkan Diana dari luka yang parah. Sedikit bisa Revan pahami.
Ia tahu perasaan Kevin memang sebesar itu hingga berbuat nekat.
Sama seperti Revan, David merasa perasaan yang campur aduk. Karena ia juga tahu kejadian lengkapnya dari para saksi mata.
Jika saja Kevin tidak melakukan itu, David tidak bisa membayangkan jika Diana akan ditabrak dan mungkin akan meninggal di tempat.
Bahkan jika Diana sempat dibawa ke rumah sakit, mungkin ia juga tidak bisa diselamatkan karena prosedur rumah sakit yang rumit dan membutuhkan biaya sesuai kondisi Diana yang bisa sangat parah.
Bahkan mungkin saat David masih dalam perjalanan, sesuatu terjadi pada Diana karena terlalu lama menunggu kedatangannya.
David juga benar-benar merasa berhutang pada Kevin. Ia sangat ingin berterima kasih kepada Kevin secara langsung.
Ia juga ingin melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan Kevin pada adiknya.
Meski Diana kehilangan ingatannya, tapi Diana bisa sadar lebih cepat karena memang trauma di fisiknya tidak separah itu hingga membuatnya koma. Itu karena Kevin.
David juga merasa bersalah, karena Diana amnesia tidak akan mengingat hubungannya dengan pemuda yang menolongnya.
Tapi David berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan sering membawa Diana berkunjung ke ruangan Kevin, jika Diana sudah mendapat izin meninggalkan kamarnya dan mengunjungi ruangan lain di rumah sakit ini.
*****

หนังสือแสดงความคิดเห็น (130)

  • avatar
    Astin

    Penasaran,, apa masih ada lanjutannya..?? novel nya sangat bagus, dan lumayan menguras air mata

    05/01/2022

      0
  • avatar
    أكسل ماما

    good

    14d

      0
  • avatar
    SolehMuhammad

    seruuu

    12/07

      0
  • ดูทั้งหมด

จบ

คำแนะนำสำหรับคุณ