logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

BAB 7

"Aku tidak percaya lagi padamu. Kamu cuma mementingkan uangmu itu. Tak pernah peduli dengan perasaanku. Aku mau pulang saja."
Aku tak bisa hidup tanpamu Aira ...! Entah bagaimana caranya agar aku bisa meyakinkan wanita yang mampu mengambil hatiku.
Tak mudah bagiku jatuh cinta pada lawan jenis. Hidupku terlalu monoton. Cuma kerja, kerja, dan kerja tanpa memikirkan apa itu cinta. Tapi ketika mengenal Aira, hidupku terasa lebih berwarna. 
Kudekap tubuh kecil di hadapanku dan menguncinya dengan kedua tangan. Tak akan kubiarkan istriku pergi begitu saja dari hidupku.
"Dengarkan aku, aku akan menuruti keinginanmu untuk mencari ART. Tapi beri aku waktu. Karena mencari ART juga harus selekif."
Tubuh yang sejak tadi tak bisa diam, meronta, menggeliat seperti ular, dan berusaha lepas dari genggamanku mulai tenang.
"Aku nggak percaya sebelum ada hitam di atas putih," ujarnya lirih. 
Aku menghela bafas perlahan, lalu mengeluarkannya. Perempuan sangat ribet. Terpaksa aku mengiyakan dari pada membiarkan wanita yang kucintai angkat kaki dari rumah. 
Kini Aira lepas dari dekapanku. Dia membalik badan dan mengambil kertas berukuran A3 dari koper yang terselip diantara baju-baju.
"Ini apa?" Kuperhatikan rentetan tulisan di kertas tersebut.
Aira tidak menjawab. Kini dia duduk di tepi ranjang tidur dengan tatapan lurus ke tembok.
"Kamu jangan ribet begini dong, Sayang! Aku kan sudah berjanji padamu. Kenapa pakai surat perjanjian pernyataan segala? Kamu nggak percaya pada suamimu sendiri?" Aku mendekat, jongkok di depannya, dan memegang jemarinya. 
Aira membuang muka. Sesekali air menganak sungai dari sudut matanya.
"Nggak. Aku nggak percaya padamu, Mas. Kalau aku percaya padamu namanya musyrik.  Kalau memang bersungguh-sungguh mau menacari ART, tanda tangani saja."
Aira pikir aku jin/syetan yang mau mengajaknya menyembah berhala kali.
Dari pada aku memenuhi permintaannya yang ada di buku kecil kemarin malam. Mungkin lebih baik kutandatangani surat pernyataan perjanjian ini, karena nominal harga yang Aira ajukan saat itu sangat mencek!k leher. Akan lebih hemat dalam membayar ART. Aku bisa mencari orang-orang kampung yang butuh uang. Mereka sudah pasti mau kubayar di bawah harga resmi ART yang bersertifikat.
***
Mobil yang akan menjemput ibu mertua telah datang. Aku dan Aira datang menyambutnya.
"Bu Aminah sudah siap?" tanya sopir mobil bak.
"Iya, Pak. Sudah dari tadi."
"Minum dulu, Pak!"
Pakai disediakan es teh segala. Dipikir rumahku warteg. 
Setelah pria itu minum dan ngobrol basa-basi denganku, dia membantu mengangkat tas ibu ke mobil.
"Vin, tolong jaga putriku. Berjanjilah untuk tidak menyakitinya. Dia adalah harta ibu satu-satunya. Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, ibu nggak akan memaafkanmu." Ibu mertua memegang pipi sebelahku dan menatapku sendu. Bola matanya berkaca-kaca membuatku tak tega.
Buang-buang waktu. Kalau mau pulang, pulang saja. 
"Ibu pamit, Nak!" Kedua wanita itu berpelukan. Pundak mereka bergetar.
Pakai nangis segala. Lebay! Seperti mau ditinggal selamanya. 
Ibu mertua masuk ke mobil meninggalkan putrinya bersamaku. Aira terus manatap mobil yang melaju sampai tak terlihat bagian pant@tnya. 
Tanganku melingkar di bahunya agar terlihat harmonis di mata mertua dan tetangganya. Usai mobil itu keluar dari gerbang dan menghilang, tangan Aira mengambil tanganku dari pundaknya dan mengibaskan ke balakang punggungnya. Sekilas menoleh dan menatap wajahku, lalu berpaling, membalik badan dan masuk tanpa bicara.
Aku mengejarnya, mengekori langkahnya. "Sayang, tunggu Sayang!"
Dia tetap berjalan maju, belok kanan, belok kiri, entah mau apa sebenarnya. Ketika mengikuti istri, ponselku bergetar. 
"Vin, kita sudah OTW!" kata Zaki sahabat bisnis propertiku dari ujung telepon.
Ck.
M@mpus. Gara-gara berdebat dengan Aira, aku sampai lupa kalau teman-temanku akan datang ke rumah. Aku belum menyediakan jamuan apa-apa.
"O-oke, Brow!"
"Jangan lupa teh merahnya. Biar lebih asyik ngobrolnya. Selena juga ikut lho."
"Apa?!" Aku menutup mulut karena nada terlalu keras. Aira yang dari tadi cuek langsung menoleh dengan tatapan tajam. Aku  pun memunggunginya, tapi tetap bisa kilihat dari sudut mata kalau Aira penasaran. "Kenapa Selena harus ikut? Aku dan istriku sedang tak baik-baik saja. Kamu malah mengajak dia. Kamu mau rumah tanggaku berakhir sekarang juga?" lirih suaraku. Kupastikan Aira tak bisa mendengar.
"Maaf, Brow. Dia memaksa. Aku bisa apa?"
Aku meremas rambutku yang semakin terasa panas.
"Sebentar lagi kita sampai," seru Zaki.
Panggilan diakhiri.
Aku membalik badan. Aira berdiri tegap di belakangku dengan tangan dilipat sejajar dada.
"Sayang, tolong bantu aku kali ini saja. Temanku mau ke rumah." Aku menangkupkan kedua tangan sejajar dada dengan tangan memelas. Berharap kalau istriku mau masak dan menyediakan minuman untuk rekan kerjaku.
Bisa saja aku pesan online atau datang ke rumah makan atau swalayan. Tapi itu pemborosan. Lebih irit jika masak sendiri.
"Nggak bisa. Beli saja di luar sebelum ada ART."
"Ya Allah, cuma membuatkan minum saja lho!"
"Waiters juga butuh dibayar, Mas. Nggak gratisan."
"Aku ini suamimu. Sudah kewajibanmu mematuhi perintahku."
"Mas lupa dengan apa yang sudah kita sepakati?"
Belum selesai berdebat, menit kemudian mobil temanku memasuki halaman. Mereka sudah paham kalau pintu gerbangku tak ada yang menjaga. Jadi, aku harus berlari keluar untuk membukakan pintu.
"Uangmu buat apa sih, Brow? Masak bayar security nggak mampu," umpat Zaki setelah memarkirkan kendaraan roda empat tersebut.
"Dari pada untuk membayar security, lebih baik aku membeli anjing. Cukup bayar sekali."
"Memang dasar kamu, Vin. Dari dulu nggak pernah berubah."
Zaki dan tiga orang lainnya masuk ke rumah dan duduk di kursi tamu. 
"Aku sudah haus, Vin! Boleh minta minum dong," seru Zaki sembari menjatuhkan bobot badannya.
Aku gelagapan. Aira belum merebus air. Air isi ulang aku tak pernah sedia. Aku bisa sakit flu jika mengonsumsi minuman yang belum di rebus.
"Jangan bilang nggak ada!"
"Tenang!" 
Aku pun memanggil Aira yang entah ada di mana dia saat ini. Temanku datang tapi tidak ikut menyambut. Tak menghargai banget. Orang kampung memang pemalu. Mereka nggak biasa bergaul dengan orang-orang hebat. Bisa dipastikan kalau Aira minder.
"Aira ... tolong buafkan minum!"
Tidak ada jawaban.
Ting.
[Kalau mau buat minum, buat sendiri, rebus sendiri. Kalau ngggak bisa ambil saja di bak mandi. Mereka temanmu. Bukan temanku. Atau minta tolong saja sama mantan terindahmu itu.]
Aku menarik napas dengan kasar menatap pesan dari Aira. Keterlaluan. Dia pikir aku nggak bisa membuat minum sendiri. Aku sudah biasa hidup mandiri.
"Kenapa, Brow! Ada masalah?" tanya Zaki. Yang lain juga menatapku.
"Nggak. Sebentar ya!"
Aku ke dapur dan hendak memasak air panas untuk membuat kopi karena memang tidak pernah nyetok di termos.
Dengan terus menggerutu aku membuatkan kopi hitam yang langsung kubeli dari luar jawa.
"Beuah ...!" Zaki dan yang lainnya menyemburkan kopi yang kuhidangkan.
"Gil@ kamu, Vin! Mau nge-prank ya! Asin banget." 
Dadaku langsung sesak. Kurang ajar Aira. Dia benar-benar mau mengajak perang.
Bersambung ...
Aduh, PASUTRI ini kapan akurnya? ..
~~~

หนังสือแสดงความคิดเห็น (71)

  • avatar
    Viina Siagian

    keren

    25/07

      0
  • avatar
    JuliantiSelda

    BAGUSSS BANGETT

    16/06

      0
  • avatar
    FahrulMamah

    sangat seru sekali dan bagus dan sempurna

    27/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด