logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 06

“Husni mana?” Seorang pria bertubuh besar dengan umur yang jauh lebih tua itu datang mengetuk rumah dengan kasar. Dia datang bersama seorang temannya yang lebih kurus.
“Cari siapa?” tanya Wanda tak kalah garang.
“Husni! Dia harus membayar apa yang telah dilakukannya!” Pria itu menunjukkan sepeda motornya yang rusak sebagian, di belakangnya sebuah sepeda motor yang mungkin dipakai untuk mendorong.
“Dia tak ada di rumah. Ada apa?” Wanda menatap heran ke arah sepeda motor itu, sambil bertanya-tanya.
“Kalau tak ingin Husni dilaporkan ke pihak berwajib sebaiknya ganti biaya perbaikan dari sepeda motor yang telah dipinjamnya hingga rusak begini. Dia kabur setelah membuat semuanya jadi seperti ini!” gertak pria berkumis tebal itu.
Wanda mengempaskan napas kasar. “Apalagi yang dilakukan oleh anak itu!”
“Dia meminjam dan memakainya ngebut-ngebutan hingga menabrak tembok! Sepeda motor ini ditinggalkan begitu saja di tempat kejadian tanpa diketahui di mana Husni berada! Beruntung salah satu temanku melihat dan menunjukkannya padaku,” jelas pria itu dengan nada suara marah.
Mendengar akan berurusan dengan pihak berwajib, Wanda mendadak khawatir bagaimana jika Husni benar-benar akan mendekam di penjara. Apa kata orang jika salah satu anaknya terjerat kasus? Orang pasti akan semakin mencemooh, terlebih melihat kelakuan Husni yang memang seringkali tak wajar.
“Berapa biaya perbaikannya?” tanya Wanda dengan sedikit memelankan nada suara. Berusaha mencari damai agar masalah tak semakin panjang.
Melihat respon seperti itu, pria itu memintanya untuk ikut langsung ke bengkel. Wanita yang masih memakai daster itu melirik jam, sudah pukul 12:00 siang. Mereka harus bersiap untuk pergi ke bandara sekarang, tetapi masalah ini?
Setelah mempertimbangkan banyak hal, merasa masih ada sisa waktu, Wanda akhirnya menurut. Dia mengganti daster dengan gamis panjang serta jilbab lebar yang biasa dipakai jika sedang ke luar.
“Leon! Bersiaplah sendiri, ibu ada urusan. Pokoknya jam satu siang semua harus sudah beres!” titahnya kepada anak berumur tujuh tahun yang sedang membolak-balik buku itu.
Leon hanya mengangguk, kemudian mengintip dari jendela kepergian ibunya bersama dua pria yang tak dikenal itu.
Usainya, satu persatu koper dan tas dirapikannya di depan televisi. Merasa telah tersusun rapi, bekal yang telah disiapkan di dapur dimasukkannya ke wadah-wadah yang telah ditata sang ibu. Kemudian, meletakkannya di meja tak jauh dari susunan koper.
Senyum mengambang sempura memandang semua telah siap. Ketika ayah dan ibu pulang tinggal diangkat saja.
Namun, tak lama kemudian ayahnya datang dengan raut muka kebingungan. Setiap ruangan ditiliknya kemudian kembali ke depan Leon dan bertanya, "Ibu mana?"
“Tadi ada dua orang pria datang terus bilang kak Husni udah bikin rusak motornya. Mereka minta ganti rugi dan ibu disuruh ikut ke bengkel, gak tau buat apa,” jawab Leon dengan polosnya.
Pria yang tadi pulang dengan niat ingin bersiap-siap itu kembali pergi tanpa pamit dengan raut wajah kesal, membanting pintu keras saat meninggalkan rumah. Membuat Leon semakin heran dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Di sudut kota lain, Wanda tengah duduk gelisah. Berkali-kali tatapannya beralih, dari sepeda motor yang tengah diperbaiki tukang bengkel kemudian memandang jalanan.
Sejak pergi dari rumah telah berlalu satu jam, dan sepeda motor itu masih belum selesai. Ingin beranjak, tapi tatapan tajam dua pria di sana membuat geraknya tertahan.
Sesekali dia mengumpat dan menyebut nama Husni. Bertanya-tanya bagaimana anak itu bisa membuat sepeda motor sampai serusak ini.
Waktu yang tersisa sebelum keberangkatan pesawat hanya satu jam lagi. Jika jarak tempuh menuju Bandara Syamsudin Noor sudah hampir tiga puluh menit, belum lagi mengurus segala macam hal di sana sebelum naik.
Tak lama kemudian sang suami datang, setelah berkeliling di seluruh kota mencarinya dari satu bengkel ke bengkel lain.
****
Wanita bergamis coklat membanting pintu kasar saat memasuki rumah, membuat anak lelaki yang tengah terlelap di antara susunan tas dan koper itu terkejut. Leon mengusap kedua matanya, kemudian melirik ke arah jam di sudut ruangan.
“Maaf, Bu. Aku ketiduran. Udah telat nih mau pergi, gimana?” racaunya panik sambil memasang kembali jaket yang tadi dipakainya sebagai bantal.
“Kita gak jadi pergi! Uang ibu habis gara-gara kakak kamu!” Wanita itu menarik koper ke dalam kamar dan membiarkan roboh begitu saja ketika sampai.
Disusul ayahnya yang kemudian datang dengan wajah tak kalah menyeramkan. Tak henti mulut yang terselip rokok itu mengeluarkan umpatan-umpatan.
Leon semakin kebingungan melihat tingkah kedua orang tuanya. Ingin sekali mendekat dan bertanya. Namun, sekali lagi niat itu diurungkannya. Pikirannya kembali tertuju pada Husni.
“Kakak di mana, ya?”
Dia tak henti menatap kamar yang kosong itu.
Azan Asar berkumandang, Leon membawa tasnya kembali ke kamar. Kemudian menuju kamar mandi untuk berwudu.
“Ayah, salat, yuk!” ajaknya ketika melihat pria itu masih kesal hingga tak henti-henti mengisap rokok di teras rumah.
“Kamu aja duluan, ayah nanti nyusul,” jawab Furqan.
Leon hanya mengangguk patuh meski kecewa karena sang ayah selalu saja menolak ajakannya untuk salat berjamaah. Sampai pada rakaat ketiga, dia mendengar suara Husni di luar, kemudian suara bernada tinggi dari ayah dan ibunya. Dia bergegas menyelesaikan salat hingga tak lagi memperhatikan apa yang dibaca. Usai salam terakhir dia bangkit dan mengintip dari celah pintu kamar.
“Sampai kapan kamu akan terus begini!” bentak sang ayah.
“Gara-gara kamu uang yang disiapkan untuk pergi liburan habis semua! Apa ini semua niatmu? Kamu tak ingin ikut tapi ingin menggagalkan semua!” Suara wanita dengan rambut yang digelung rapi itu tak kalah tinggi.
Seorang remaja duduk di antara mereka, dengan wajah tanpa ekspresi. Sisa darah yang telah mengering tampak di sudut dahinya. Leon keluar kamar dan berusaha mendekat untuk melihat lebih jelas. Bukan hanya itu, celana jeans yang sedikit robek di bagian lutut, serta luka yang tampak di sana.
"Kalau bukan karena ibumu yang terlebih dahulu menyambut mereka, sudah ayah biarkan kamu masuk penjara! Supaya kamu berhenti membuat ulah dan menimbulkan masalah!"
"Kamu pikir biaya perbaikan sepeda motor itu murah? Ayah ibu menabung berbulan-bulan, tapi kamu menghabiskannya dalam sehari hanya karena hal yang sia-sia!"
"Jadi lebih penting uang dan liburan itu ketimbang aku? Bahkan kalau aku mati pun ayah ibu senang," gumam Husni samar.
"Bukan soal liburan atau uang! Ini soal kelakuanmu yang sudah di luar batas!" ujar sang ayah yang kesal mendengarnya.
"Emang kamu mau masuk penjara?" teriak sang ibu antara kesal dan khawatir.
"Iya, kenapa gak biarin aja aku masuk penjara sekalian? Masalah akan selesai, 'kan?" tantang Husni.
"Mau jadi apa wajah ibu kalau kamu sampe jadi napi? Apa kata orang-orang?"
"Cih, jadi kalian hanya mementingkan harga diri," sungut Husni.
Furqan semakin kesal dengan tingkah Husni yang seperti merendahkan mereka berdua. Begitu pun dengan sang istri yang terlalu memanjakannya dan takut anak itu kenapa-napa.
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, hah?" bentak Furqan.
"Tak bisakah sekali saja kamu tak menyusahkan! Harus bagaimana lagi orang tuamu bersikap? Kamu sudah terlalu puas dimanjakan, jadi tak bisakah sedikit bersikap manis untuk menyenangkan kami?" Kalimat demi kalimat itu terucap dengan lantang dan menggelegar.
Wanda di sampingnya segera menimpali dengan pendapat serupa.
Bentakan demi bentakan bergantian terdengar dari ayah ibu yang saling menimpali. Meski beberapa kali cekcok di antara mereka berdua, tapi tak lama semua kembali tertuju pada Husni.
Ingin sekali Leon menghampiri, dan menanyakan apa yang terjadi. Namun, lagi-lagi urung. Kedua orang tuanya tampak begitu menyeramkan. Membuatnya hanya mampu terdiam dan menaruh iba pada kakak yang dihakimi oleh mereka.
Terlebih ketika dia mengamati sisa-sisa darah yang mengering di sana. Mengapa mereka berdua tak membiarkan Husni membersihkan diri dulu? Setidaknya berganti baju dan mengobati lukanya.
Hingga azan Magrib berkumandang, persidangan kecil itu baru saja selesai. Telinga Leon sendiri terasa panas akibat suara ayah dan ibunya.
“Bagaimana kakak, ya?” gumamnya.
Dia segera memberi jalan ketika Husni hendak lewat. Jelas terlihat di sudut mata yang berwarna coklat kehitaman itu tampak butiran air yang sedang tertahan.
“Kakak,” sapanya berusaha meraih tangan Husni.
“Istirahatlah, jangan menggangguku kalau tak ingin masalah ini semakin panjang!” Husni berlalu begitu saja setelah menepis tangan Leon, kembali memasuki pintu kamar dan menguncinya seperti biasa.
“Kakak! Buka pintu!” Leon tak menghiraukan, terus mengetuk pintu itu dan berteriak.
"Maafkan aku yang terlalu pengecut untuk mendekat dan bertanya, Kak," ujarnya lagi.
“Masuk ke kamar! Kamu harus belajar untuk bersiap memasuki Ibtidaiyah nanti!” bentak Wanda.
Leon berlari ke kamarnya dengan dada yang sesak. Dia tak mengerti semua. Apa yang terjadi? Mengapa semua selalu seperti ini?
“Aku hanya ingin berbicara dengan kakak. Aku hanya ingin ibu kembali seperti dulu.” Leon membenamkan kepalanya ke bantal untuk menyamarkan isak.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (184)

  • avatar
    wulanratnasari

    good

    1d

      0
  • avatar
    Hien Ngoc

    Ok hay

    23d

      0
  • avatar
    FebrianniEny

    bagus kk😇

    22/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด