logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Masih Misteri

"Hei, jangan habiskan uangku!" gerutu Sheril setelah tahu daftar harga di menu makanan.
Vero tersenyum simpul. Senyum yang membuat Sheril semakin menggerutu. Ingin ia memarahinya, tapi sebenarnya salah siapa? Ah, Sheril terlalu bodoh. Padahal, sebelum mengiyakan makan malam bersama, Sheril seharusnya lebih tegas.
"Aku tidak akan menghabiskan uangmu," jawab Vero. "Hanya mengambil uangku yang mereka berikan padamu," lanjutnya lagi.
Sial! Sheril terus mengumpat dalam hati. Uang yang diberikan wanita tadi memang sangat banyak, empat kali lipat dari gajinya di SevenMart.
Sheril segera memesan makanan untuknya. Lalu ia menutup buku menu setelah pramusaji itu menuliskan yang diminta Sheril.
"Vero, kenapa kamu memilih jadi pekerja di SevenMart, gajinya kan kecil. Tak seberapa dibandingkan pendapatanmu dari Minsta."
"Ini pun pekerjaan, aku menyukainya karena tak perlu ribet nerima paket untuk bahan promosi," jawab Vero dengan santainya. Lalu ia mengatakan menu makanannya yang akan dipesan kepada pramusaji.
Sheril menghela napas lega, setelah tahu apa yang dipesan Vero. Ia pikir, tak masalah jika harus mentraktir Vero sebanyak 50 pound, karena Sheril masih memiliki 150 pound.
"Padahal kamu cantik," gumam Vero sambil menatap Sheril.
"Kamu bicara apa?" tanya Sheril karena tidak bisa mendengar dengan jelas ucapan Vero.
"Hmm." Vero mengangkat kedua alisnya. Tatapan dari mata hijau keabu-abuan itu selalu membuat Sheril tersipu dan salah tingkah.
"Berhenti melakukan itu!"
"Apa kamu memiliki orang yang disukai?" tanya Vero mengacuhkan larangan Sheril.
"Hm. Ada~ banyak!"
"Salah satunya?"
Sheril menghela napas panjang. "Rahasia!" serunya diakhiri senyum.
Makanan yang dipesan mereka telah datang. Keduanya menikmati santapan makan malamnya masing-masing. Hening, tak ada percakapan selain suara sendok yang beradu dengan piring.
Setelah selesai makan malam, Sheril bergegas menuju meja kasir untuk membayar makanannya. Sementara Vero, ia berjalan ke arah luar.
"Semuanya 65 pound."
Sheril tercengang saat mendengar nominal yang harus ia bayar. "Menerima pembayaran online?" tanya Sheril memastikan. Uang sebanyak itu tak pernah tersedia di dompetnya.
"Iya, kak. Silakan …." Pramusaji itu menyebutkan angka nomor rekening khusus pembayaran.
Sheril segera mengetik jumlah tagihan di ponselnya. "Sudah aku transfer, ya, kak! Terima kasih!"
Sheril berjalan keluar dari resto, ia masih sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa belum pulang juga?" tanya Sheril saat melihat Vero berdiri di luar restoran.
"Untuk mengganti traktirannya, aku akan menemani pulang."
"Arah rumahku berbeda denganmu!" jawab Sheril ketus.
"Kata siapa? Searah, kok!" seru Vero sambil berjalan menyusul Sheril.
Ada perasaan lega sekaligus kesal. Lega karena ia memiliki teman saat pulang, kesal karena teman perjalanan pulangnya adalah Vero.
"Kamu tidak suka sama aku?" tanya Vero tiba-tiba. Keduanya sedang duduk di halte bis menunggu bis yang akan datang.
"Sedikit."
"Apa rasa sukanya lebih banyak dari rasa tidak suka?"
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Aku ingin memastikan," ucap Vero sambil berpaling.
Sheril kembali berkutat dengan ponselnya.
[Bagaimana aku bisa menyapamu, sementara aku tidak tahu siapa kamu!]
Sheril mendengkus kesal. Pikirannya sangat rumit saat ini.
[Kamu tahu aku, aku yakin. Kita selalu bertemu di gang sepi!]
[Gang sepi?]
[Aku selalu melihatmu berjalan memunggungiku]
[Jangan bercanda. Aku selalu lewat di sana tak ada siapa-siapa!]
[Bohong!]
[Kamu yang bohong!]
[Mau bukti?]
Sheril mengerutkan kening.
[Mana buktinya kalau kamu selalu dibelakangku?]
[Alnonim mengirim sebuah foto]
Sheril membelalakkan matanya saat melihat sosok dirinya tadi pagi. Bagaimana itu bisa terjadi? Ia tidak menemui siapapun pagi tadi di gang sepi itu.
[Hei, kamu buat aku merinding. Kamu bukan hantu, kan?]
[Aku manusia tampan!]
[Jangan berlagak. Akunmu saja tanpa foto!]
[Hahaha]
Sheril mendengkus kesal melihat pesan terakhir yang ia baca.
"Argh. Siapa sih!" gerutu Sheril.
"Ada apa?" tanya Vero.
"Nggak!"
"Oh, bisnya sudah datang," ucap Vero sambil berdiri.
Sheril pun ikut berdiri. Saat bis menghampiri halte tempat mereka menunggu, keduanya berjalan memasuki bis.
"Rumahmu di mana?" tanya Sheril memecah keheningan.
"Gang 342."
"Waw. Kamu tinggal di apartemen mewah?" mata Sheril berbinar menatap Vero.
"Bukan. Aku tinggal di rumah orangtuaku."
Sheril mengangguk. Ia belum pernah berjalan ke gang 342, yang ia tahu gang tersebut adalah jalan pintas menuju apartemen elit Casava.
"Aku belum pernah ke gang itu," gumam Sheril.
Setelah tiba di pemberhentian, Sheril segera turun dan menempelkan card-nya untuk membayar ongkos.
"Sampai ketemu besok!" ucap Sheril berbasa-basi. Vero mengangguk.
Sheril berjalan terpisah dengan Vero. Perasaannya mulai gelisah kembali. Sheril berjalan sambil memainkan ponsel.
[Hei. Apa kau mengikutiku?]
tanya Sheril pada akun Alnonim.
[Tidak.]
[Berarti kamu sudah pulang dari tadi?]
[Tidak juga.]
Sheril memekik kesal. Hatinya mengumpat kembali. Seandainya dekat, Sheril sudah memukul orang yang sedang chattingan dengannya.
[Kamu kenal aku sejak kapan?] tanya Sheril memastikan.
[Sejak kamu pindah ke sini, pertama kali aku melihatmu]
[Hei. Itu sudah dua tahun yang lalu. Kenapa baru chat sekarang?]
[Suka-suka aku, dong!]
Sheril mengumpat lagi. Kini ia berjalan di gang sepi. Hanya ada cahaya lampu jalan dan hibar cahaya lampu dari rumah berlantai dua di sisi kanan gang yang hampir tertutup dinding pagar.
[Oh.]
[Apa kamu takut?]
[Kenapa bertanya begitu?]
[Kamu kan sedang berjalan sendirian!]
Sheril segera menoleh ke belakang. Sepi, tidak ada siapapun di belakang sana. Lalu, Sheril kembali berjalan.
[Sudah biasa]
Sheril kembali memfokuskan dirinya pada ponsel. Namun, ia tetap menjaga pendengarannya. Siapa tahu ada seseorang yang diam-diam berjalan di belakangnya?
[Menikahlah denganku!]
Sheril tertawa seketika setelah membaca pesan yang diberikan akun Alnonim itu.
[Pernikahan bukan candaan]
[Apa kamu butuh waktu untuk saling mengenal?]
[Berhentilah. Aku nggak kenal kamu!]
"Hais, dasar gila, Ngajak nikah sembarangan. Memangnya siapa yang mau menikah begitu saja sama orang yang tidak dikenal." Sheril menggertuku. Ia memasukan ponselnya ke dalam saku celana. Menghirup udara dingin di malam hari membuat dadanya sedikit membusung.
Setelah melewati gang sepi. Keramaian terasa kembali. Masih ada beberapa anak muda yang duduk di teras depan rumah mereka sambil berbincang atau bermain gitar.
"Sher. Baru pulang? Mau aku antar?"
"Nggak usah, Ted." Sheril menjawab singkat. Ia tidak ingin menambah gosip hariannya esok pagi karena diantar Tedi. Sudah cukup disebut wanita murahan karena pulang malam.
"Selamat malam!" ucap Sheril sambil membuka pintu rumah.
"Tumben pulang lebih malam?" tanya Fika.
"Sher, masih betah kerja di sana? Kalau nggak betah, kakak carikan pekerjaan baru sekalian kamar kos untukmu." Pria kurus berambut ikal yang hanya mengenakan kaos oblong itu adalah kakaknya, Reza.
"Betah. Carikan kamar kos saja untukku. Itupun kalau kakak tidak sibuk," jawab Sheril ia berjalan menuju kamarnya.
Sebelum tidur, Sheril bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Hatinya yang sedikit dongkol itu kini kian dongkol.
"Bilang aja nggak mau ada aku di rumah ini," gumam Sheril saat sudah di kamar mandi.
Air dingin kembali mengguyur badannya yang lelah. Memang kesegaran yang ia dapatkan setelah mandi, tapi rasa kantuk tetap menghampiri. Setelah mengganti pakaian, Sheril segera tidur.
Matanya yang terpejam, tapi pikirannya tetap berjalan. Ia memikirkan cara untuk menemukan tempat kos yang nyaman dan dekat dengan tempat kerjanya sekarang.
Sheril menghela napas panjang. Sebuah notifikasi kembali membuat ponsel milik Sheril berbunyi. Dengan enggan, Sheril meraih ponsel yang tergeletak di atas lantai itu. Notifikasi dari akun Minstanya
[Semoga malammu diberikan mimpi indah]
Sheril tersenyum. Dari seratus orang followersnya, hanya akun inilah yang sok akrab dengannya. Namun, sok akrab yang dilakukan akun Alnonim, membuat Sheril memiliki teman di tempat asing ini.
Setelah lulus sekolah SMP, tak ada pilihan bagi Sheril selain bekerja. Ia bertekad, pekerjaan apapun akan ia lakukan asal bukan menjual diri. Beruntungnya ia bisa bekerja di SevenMart saat ini, meski ia harus menahan malu karena cuma dirinya yang hanya lulusan SMP. Ia diterima bukan karena ada kenalan, melainkan dari pengalaman kerjanya yang sudah banyak.
"Sheril, kamu belum tidur?" tanya Fika dibalik pintu kamar.
"Ada apa, Kak?" Sheril segera bangkit dan menyibak selimut. Lalu berjalan menuju pintu.
"Makan dulu!" titah Fika.
Sheril melongo keluar kamar. Lalu menggeleng pelan. "Aku sudah makan tadi di tempat kerja," jawabnya.
"Oh, gitu. Baguslah."
Sheril tersenyum, lalu pamit sambil menutup pintu.
Bagaimana bisa ia makan di rumah, sementara pemilik rumah seperti enggan memberinya makanan. Sempat Sheril sengaja tidak makan malam di luar, saat membuka tudung saji, yang tersisa hanya secuil nasi dan ikan kering.
Sheril mengambil ponselnya lagi. Lalu duduk di atas kasur lantai yang menjadi alasnya tidur. Ia melihat akun milik Alnonim sedang aktif, tangannya segeda mengetik sebuah pesan singkat.
[Anon, apa kamu manusia?] tanya Sheril.
Di tempat lain, seorang pria yang berkutat dengan layar monitor, segera meraih ponselnya saat sebuah notifikasi muncul. Tak lama kemudian ia tertawa, suaranya memecah keheningan. Tawa itu tak henti, sampai suara gebrakan di pintu kamarnya terdengar, barulah ia berhenti.
"Al, apa kau belum tidur? Tahu tidak ini jam berapa? Berhentilah main dengan komputermu itu!"
"Iya, Mam," jawab pria tersebut. Ia mematikan komputernya, lalu berjalan menuju ranjang.
[Tentulah aku manusia.]
Pesan singkat itu terkirim pada teman online-nya.
Esok paginya, Sheril sudah bangun dan selesai mandi. Setelah mengganti baju, Sheril menyisir rambut dan mengikatnya.
"Aku berangkat dulu," pamit Sheril pada Fika.
"Nggak sarapan dulu,Sher?"
"Nggak," jawabnya singkat.
Jalan gang itu kembali ramai oleh ibu-ibu di pagi hari. Lengkap dengan penjaja sayuran.
"Sher, berangkat kerja?" tanya seorang ibu-ibu yang sedang berbelanja sayuran.
Sheril mengangguk sambil tersenyum.
"Kerja mulu, Sher. Mending nikah biar dinafkahi," celetuk ibu-ibu yang satunya lagi.
Sheril kembali menanggapinya dengan senyuman. Ia kembali berjalan. Kali ini pun ia tidak membeli bubur.
"Wah, Sher. Nggak beli bubur lagi?" tanya penjual bubur yang menjadi langganannya.
"Enggak dulu, Pak," jawab Sheril diakhiri senyuman.
Ia berjalan cepat menuju gang sepi. Di sana, ia mencari seseorang yang mungkin berjalan di belakangnya. Namun, gang sepi itu tetaplah sepi. Hanya jalan sempit yang di sisi kirinya adalah pagar yang menjulang tinggi, sementara sisi kanannya dari tempat Sheril berdiri adalah rumput ilalang yang tingginya seratus meter lebih.
Sheril merogoh ponsel di saku celananya. Jarinya kembali mengetik sebuah pesan.
[Anon. Apa kamu di sini?]
[Ya.]
[Di mana?]
[Di dekatmu!]
[Hei, jangan bercanda!]
[Coba kamu teriak dan sapa aku!]
Sheril berjalan beberapa langkah. Ia ragu menuruti kata-kata Alnonim. Namun, rasa penasarannya begitu besar.
"Anon! Selamat pagi!" teriak Sheril. Beberada detik Sheril diam, tidak ada sahutan yang terdengar. Sheril merutuki kebodohannya pagi ini. Ia pun berjalan cepat menuju jalan raya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (824)

  • avatar
    Carlos Santaro

    best plot story ever

    09/05/2022

      0
  • avatar
    zunzun

    penasaran bangetttt sama ceritanya.. tiap hari selalu cek apa udah update belum.. secepatnya mungkin ya.. soalnya bikin penasaran banget sama ceritanya sheril.. 😍😍🥰🥰

    28/12/2021

      1
  • avatar
    MimiAzli

    sorg pmpn yg jomblo..disukai tiga pria.

    27/07/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด