logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Gadis Penebus Hutang

Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah.
"Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu.
"Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya.
"Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."
Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa.
"Ri! Masih mending patah hati ditinggal nikah, masih bisa ngelihat orangnya. Umi dulu patah hati tinggal meninggal sama abakmu, nggak secengeng ini Umi," balas Emi sengit. "Kamu laki-laki, sedih boleh tapi jangan sampai merasa dunia hancur hanya karena ditinggal perempuan."
Emi kemudian beralih menatap Dinda yang masih mematung tak jauh dari pintu masuk. "Dinda, duduk sini dekat Umi, Nak." Emi menepuk sofa di sampingnya.
Sementara Niar—ibunya Dinda— tak kalah bungkam. Ia sudah menyetujui permintaan Emi untuk menjodohkan anak-anak mereka. Namun, saat melihat tatapan bingung Dinda, Niar seolah menyesal karena telah mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan putrinya.
"Umi sama ibumu sudah mengabarkan mamak-mamak¹ kita dikampung. Minggu depan kita pulang untuk mengurus semua keperluan lamaran—"
"Umi!" Fahri memotong kalimat uminya dengan wajah menahan marah. "Ari sama Dinda sudah dewasa, nggak berhak umi mengatur masalah sepenting ini!" gerung Fahri dengan nada gusar.
Emi sontak berdiri, wajahnya terlihat gemas pada putra bungsunya itu. Tangannya menjangkau dan menjewer telinga Fahri begitu ia berdiri di hadapan anak laki-lakinya itu. "Oh! Sudah dewasa kamu bilang? Laki-laki dewasa itu nggak lama-lama patah hati, nggak ngegalau berhari-hari seperti ini. Kamu juga nggak mikirin perasaan umi. Melihat anak sendiri mengurung diri di kamar jantung umi bekerja lebih berat. Tiap bentar umi harus memastikan kamu nggak minum racun serangga. Kalau kamu masih mau ngeliat umi hidup tenang, terima saja rencana ini."
Fahri meringis sambil mengusap kupingnya yang terasa panas. Melirik ke arah Dinda yang menunduk sambil meremas jemarinya. Gadis itu terlihat pasrah menerima putusan ibu mereka yang tak meminta persetujuan, seolah mereka hanya dua makhluk yang tak mempunyai perasaan.
"Umi tanya dulu dong sama Dinda, apa dia nerima." Fahri berusaha menurunkan nada suaranya. Ia mulai menyadari, semakin dia melawan, semakin meradang uminya. Fahri juga khawatir uminya terkena serangan jantung jika ia bersikeras menolak. Meskipun ia sering melawan, Fahri juga tidak mau kehilangan orangtua satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya.
"Dinda nggak masalah, kan, Nak?" Emi berbalik menoleh ke arah keponakannya yang sedari tadi tak bersuara.
Dinda menelan ludah. "Uhm ... Dinda ngikut saja mana yang baik, Umi." Gadis itu melirik takut-takut ke arah Fahri yang sontak melotot saat mendengar jawabannya.
Dinda membalas tatapan Fahri dengan isyarat, "Memangnya aku ada pilihan lain?"
"Umi! Dinda mau nerima karena terpaksa!"
Baru saja Fahri menyelesaikan kalimatnya, tubuh tambun perempuan akhir baya di depannya, melorot dengan bunyi berdebam keras saat mendarat di lantai. Apa yang Fahri takutkan terjadi juga.
Niar yang semenjak tadi hanya diam di tempat ia duduk, menghambur ke arah kakak iparnya. Begitu pun dengan asisten rumah tangga mereka yang tengah sibuk di dapur.
Fahri berlutut di depan uminya, berusaha mengangkat tubuh sang ibu, tetapi ia tak kuat menahan bobot perempuan yang telah melahirkannya itu. "Nda! Panggil Pak Mansyur! Minta tolong bantu angkat umi!" teriak Fahri panik ke arah Dinda.
Gadis itu dengan setengah berlari meninggalkan ruang tengah. Jantungnya berdentum sangat cepat. Tanpa sadar airmatanya meleleh membasahi pipi. Ia takut terjadi apa-apa pada perempuan yang selama ini selalu bersikap hangat itu. Dinda mengusap matanya dengan kasar saat matanya mulai mengabur. "Pak Mansyur ... Pak Mansyur!" Gadis itu berteriak dengan dada yang terasa hendak meledak.
Lelaki yang tengah berjaga di pos depan pintu gerbang menoleh, mematikan rokok yang tengah ia hisap, kemudian berlari ke luar pos menemui Dinda yang wajahnya sudah berantakan akibat riasannya luntur karena air mata.
Dinda kesulitan mengatur napas saat Pak Mansyur bertanya, "Ada apa?"
"I-itu, umi ... tolong ... umi jatuh!" balas Dinda sambil terengah.
Tanpa menunggu kalimat lain, lelaki paruh baya yang sudah lama mengabdi di rumah itu bergegas masuk. Mendapati nyonya rumah masih terkapar dengan seorang asisten rumah tangga dan iparnya duduk menggosok bagian tangan dan kaki perempuan yang sedang tak sadarkan diri itu.
"Kamu ngapain di situ?" Fahri berteriak ke arah Dinda yang terlihat sibuk dengan ponselnya. "Bukannya bantuin malah main hp!" sambung Fahri berang.
"Nda mau nelpon ambulans," sahut Dinda dengan bibir bergetar dan airmata kembali luruh.
"Nggak usah! Biar aku jemput dokternya." Setelah mengatakan hal itu, Fahri memberi aba-aba pada Pak Mansyur untuk menggotong uminya ke kamar. Sementara Dinda membatu di tempatnya berdiri. Menatap nanar dengan kecamuk pikiran yang menakutkan. Bagaimana jika kakak perempuan ayahnya itu menyusul adiknya.
Tak lama Fahri keluar kamar dengan langkah panjang dan tergesa. Dinda masih saja belum mampu menggerakkan kaki untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Suara motor yang digas kencang dan menjauh ke jalanan, membuat Dinda akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri dan beranjak ke kamar Emi.
Saat Dinda menyusul ke kamar, Pak Mansyur sudah kembali ke posnya, yang tersisa hanya ibunya dan Bu Mus—asisten rumah tangga kakak ayahnya itu. Emi sudah mulai siuman, wajahnya terlihat lelah. Dinda mendekat perlahan ke arah tempat tidur saat ibunya menyuruhnya mendekat.
"Nda bikinin teh, ya, Umi," tawar Dinda begitu kakak ayahnya itu menoleh ke arahnya dengan tatapan sayu.
"Nanti saja. Dinda ke sini lah," pinta Emi dengan suara parau.
Dinda berjalan perlahan mendekati tempat tidur sambil menyusut ujung matanya. Kejadian tadi menyisakan rasa panik yang belum sepenuhnya reda.
"Nda mau ya nikah sama Uda Ari," bujuk Emi begitu Dinda duduk di sampingnya. "Dia sebenarnya nggak menyebalkan seperti itu. Semenjak ditinggal Priska sifatnya jadi berubah."
Dinda melipat bibir dan mengerjapkan matanya dengan cepat. Padahal menikah merupakan prioritasnya yang kesekian. Prioritas utama Dinda saat ini adalah mengikuti seleksi menjadi pegawai abdi negara dan mengumrohkan ibunya. Namun, ia pun tak dapat mengungkapkan rasa keberatannya pada perempuan yang telah berjasa itu.
Tempo hari dia masih bisa mencandai ibunya dengan mengatakan bahwa ia mau menikah dengan Fahri, tetapi kali ini ia tak lagi berani menganggap hal itu lelucon. Tenyata kakak perempuan ayahnya itu serius dengan celetukannya tempo hari.
"Tapi Nda baru lulus, Umi," sahut Dinda dengan perasaan sungkan. "Ijazah saja belum terima—"
"Ah, ijazah itu nggak menjadi syarat buat menikah. Lagian kalau Dinda mau kerja juga Fahri nggak akan melarang. Dia nggak seotoriter itu, kok. Sifatnya seperti itu akibat patah hati. Umi yakin setelah menikah, Fahri bisa mengobati lukanya. Umi khawatir melihat dia terus-terusan mengurung diri di kamar seperti itu."
Dinda menelan ludah, belum sempat ia menjawab, Fahri menyerbu ke dalam kamar. Di belakangnya seorang laki-laki awal tiga puluhan, terlihat mengiringi langkahnya.
"Umi sudah sadar? Ari bikinin teh, ya?" Wajah pemuda itu terlihat sangat khawatir. Ia duduk di samping sang ibu, bergantian dengan Dinda yang bangkit berdiri saat melihat Fahri datang. Fahri menempelkan punggung tangannya pada kening uminya.
"Umi udah nggak apa-apa." Emi menurunkan tangan Fahri dari keningnya.
"Ibu saya periksa dulu, ya." Lelaki yang datang bersama Fahri tadi berbicara. Ia membuka tas perlengkapan yang terbuat dari kulit, memasangkan manset tensi meter ke pergelangan atas Emi, kemudian memencet tombol di samping layar yang menampilkan angka bergerak.
"Tensi ibu naik lagi, nih," tukas sang dokter saat melihat angka yang tertera pada layar kecil alat pengukur tekanan darah itu.
"Umi, sih! Marah-marah mulu," sungut Fahri.
"Umi nggak niat marah. Umi tuh sedih, anak yang umi rawat dari kecil, bisa-bisanya patah hati kayak orang mau bunuh diri. Padahal perempuan cantik dan baik itu nggak cuma Priska doang."
Mata Dinda membelalak saat melihat punggung Fahri berguncang. Kemudian terdengar isakan pelan.
"Umi selama ini berusaha kuat membesarkan Ari dan Rudi sendirian tanpa abak kalian. Umi buang jauh-jauh rasa sedih umi karena masih ada kalian yang menjadi sumber kekuatan umi. Tapi kok Ari bisa-bisanya jadi memble gitu cuma karena ditnggal pacar. Bukan istri sah, lho, cuma pacar doang! Apa Ari nggak kasihan sama umi? Umi sudah mulai tua, tapi kelakuan Ari malah balik lagi jadi kayak anak SD gini," beber Emi.
"Ri, ini resep obat buat ibu nanti kamu tebus." Dokter Ryan memecah senyap dalam kamar itu.
Fahri mengangkat wajah, menerima secarik kertas yang disodorkan Dokter Ryan. Dan menyimpannya ke saku tanpa repot-repot harus membacanya.
"Sana anterin dulu Dokter Ryan pulang, umi mau istirahat dulu. Dinda juga, nanti kita lanjut, ya."
Dinda hanya mengangguk, membalas titah kakak ayahnya. Satu persatu, mereka meninggalkan kamar yang luas itu. Membiarkan si pemilik kamar beristirahat seperti permintaannya.
***
Dinda dan ibunya kembali ke kamar tamu di lantai dua. Tak ada yang berbicara di antara mereka selama menaiki anak tangga. Suasana rumah begitu hening. Dena dan Rudi sudah kembali ke rumah mereka. Sepertinya anak pertama dan menantu kakak ayahnya itu belum mengetahui insiden yang terjadi barusan.
"Nda nggak mau makan?" tanya Niar begitu mereka tiba di kamar.
"Tadi di kondangan Nda makan banyak, Bu." Dinda melepas kerudung yang tadinya terlihat cantik membungkus kepalanya, kini sudah tidak jelas letak dan bentuknya.
"Gimana menurut Nda?" Pertanyaan Niar membuat Dinda menghentikan gerakannya membuka kerudung, menoleh pada ibunya dengan tatapan berpikir.
"Apanya?" hanya pertanyaan itu yang keluar dari bibir Dinda.
"Permintaan Umi."
Dinda kembali meneruskan kegiatannya membuka kerudung, melipatnya, dan meletakkan di samping tempat tidur. Kemudian ia memutar tubuh menatap ibunya. "Memangnya Nda bisa nolak, Bu?"
Niar tak siap mendapat pertanyaan seperti itu dari putrinya. Dia gelagapan.
"Ngeliat kondisi umi seperti itu, Nda seperti nggak punya pilihan."
Dinda menunduk menatap ujung kuku, dan memainkan jemarinya.
Kali ini Niar mengembuskan napas panjang. Seolah ada sesal yang menggelayuti hatinya. Jika ia dulu bisa mandiri seperti kakak iparnya, tentu saja putrinya tak perlu menghadapi pilihan sulit ini. Namun, apa daya, ia tak bisa membalikkan waktu. Kini ia harus merelakan putri satu-satunya menjadi penebus hutang budi. Suka tak suka, mereka harus menerima kenyataan.
__________________________________________________
Note:
1. Mamak = saudara laki-laki dalam keluarga ibu yang bertanggung jawab mengurus adat istiadat yang dipakai saat akan menikah.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (87)

  • avatar
    NcimRina

    bagus cerita nya 👍🏻👍🏻👍🏻

    28d

      0
  • avatar
    IshaqMaulana

    bagus banget

    15/08

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    06/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด