logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Sempat Depresi

Waktu pun kian berlalu, pun entah sudah berapa lama gadis itu menangis. Saat ini matanya sembab, dan kepalanya terasa berat. Pusing akibat sedari tadi memikirkan hinaan dan cacian orang-orang terhadap dirinya. Tenyata benar, mulut manusa itu memang lebih tajam dari sebilah pedang.
Hera menggenggam erat kain bajunya. Pikirannya kosong dan hanya duduk termenenung di tepi ranjang. Kemudian Hera berdiri menatap dirinya di depan sebuah cermin di kamarnya. Ia perhatikan tubuhnya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Bobot 150 kg itu, tergambar jelas di kaca bening berukuran jumbo miliknya.
"Paha gue besar, tangan gue juga, perut gue banyak gelambirnya, muka gue juga jelek, item lagih," hardiknya pada diri sendiri. Sedih sambil berurai air mata.
"Kok bisa ya? Orang-orang badannya bagus, gue enggak?"
"Dari kecil sampe sekarang gue terus-terusan diejek, dicaci maki, dimusuhi, dibully. Ah, penderitaan gue sekarang makin lengkap!" Ia berbicara sendiri.
"AAAA ...!" teriak Hera frustasi.
Dilemparnya cermin dihadapanya dengan vas bunga yang ada di atas meja.
Buk! Kaca putih yang sedari tadi menampilakan gambaran jelas dirinya runtuh begitu saja, tanpa sebuah perlawanan, Hera tersenyum penuh kemenangan. Kini, ia tengah berada dipuncak kesedihannya.
"Gue benci paha besar ini, benci tangan ini, gelambir sama pipi tembem ini, gue juga benci, BENCI ... BENCI ... BENCI ...!" ucapnya putus asa.
"Ini apa lagi! Banyak banget cermin di kamar gua!" ucapnya marah-marah sendirian.
Ia mengambil cermin kecil yang terletak di meja belajarnya. Ia juga memungut pecahan-pecahan, kaca bening yang usai beberapa menit yang lalu ia dipecahkan, karena banyaknya pecahan kaca yang dipungutnya, tangan Hera yang tanpa menggunakan pengaman apa-apa, ikut terluka. Kini, tangannya mengeluarkan banyak cairan merah. Hera memungutnya sampai bersih, tak perduli tangannya yang terluka. Kini, kamarnya sudah tanpak bersih dan menurutnya sekarang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada lagi kaca bening yang memperlihatkan tubuh besarnya, tidak ada lagi penampakan moster jelek berkulit hitam yang tak lain adalah dirinya. Ia mulai tenang, dan sejak saat itu, ia juga tanpa sadar mulai membenci kaca yang tak bersalah apa-apa. Jika ada yang memperlihatkan kaca dihadapannya ia akan langsung marah. Bukan apa-apa, nampaknya Hera hanya berusaha, agar bisa melupakan sosok jelek dirinya, ia malu ketika melihat wajanya sendiri.
"Toh, selain gendut, gue juga buruk rupa, jadi gue gak perlu ngaca, karena muka gue mau gimana pun tetep gak bakalan berubah kek, bidadari," ungkapnya sewaktu Andi bertanya soal itu.
Lihat! Bagaimana efek yang berdampak pada gadis ini. Terkadang saat berbicara kita barus berhati-hati! Karena kita tidak pernah tahu, seperti apa mental orang yang telah seenak jidat kita hina, gadis ini sampai membenci dirinya sendiri. Ini buruk, sangat buruk. Saat seseorang seseorang ingin bahagia maka dia harus menerima keadaan dirinya dengan suka rela, tetapi Hera! Bagaimana nasib gadis ini? Bahkan harapan yang beberapa jam lalu sempat ia sematkan di salah satu ruang hatinya, seakan lenyap terguyur hujan panas.
Hati bisa berubah, yang kalanya bahagia bisa saja kehilangan itu semua, tak ubahnya seperti air laut. Ia akan berbuah asin atau berbau busuk sekalipun, tergantung dengan bagaimana orang sekitar memperlakukannya. Apakah masyarakat peduli dan memperhatikannya? Atau justru acuh tak acuh.
Hera sudah runtuh, harapan untuk menjadi bahagia pun sudah direbut. Bayangkan! Jika kamu yang di posisi seperti ini. Ini bukan luka soal tergores pisau. Ini soal hati! Yang dipatah dengan sengaja, dan soal harga diri yang dipermalukan di depan muka!

****
Fajar yang dengan hawa dinginya merembak kemana-mana, nampak beberapa orang berlalu lalang, para tukang sate keliling yang sudah bersiap-siap untuk kepasar, dan para pedagang kecil lainnya yang siap sedia merangais rezeki masing-masing.
Dari ujung jalan depan, terlihat sebuah gang sempit. Namun, muat untuk 3 orang berjalan berjejeran, tepat diujung jalan gang itu sendiri, berdiri kokoh rumah kos salah satu gadis yang tengah terlelap pulas, usai mengalami hari panjang yang buruk.
Hera! Hanya sebuah nama singkat yang diberikan almarhum Ibunya, usai dua jam setelah melahirkan Hera ke dunia yang begitu kejam bahkan sanggup membunuh hati-hati mereka yang lemah melalu sebuah cacian.
Hera tidur di kasur yang langsung menempel di lantai, tidak ada ranjang yang bisa membuat kasurnya lebih meninggi, setiap kali beli ranjang, ujung-ujungnya pasti akan patah, kewalahan mengangkat beban yang di atas rata-rata.
Bak ikan hiu terdampar, Hera pulas dalam tidur yang menenangkan, hanya tidur yang bisa mengerti dirinya, lewat mimpi indah yang sekelebat mata bisa mengubah dirinya menjadi kurus, bagaimana ia tak senang? Dua detik kemudian ia lantas mengurai senyum di sudut pipi gembulnya, entah apa yang sedang merayu tidurnya kali ini, yang pasti, ia terlihat sedikit lebih baik.
Jam sudah menunjukan pukul 06.40 Hera sudah bangun dari tidurnya. Ia sudah rapi dengan baju seragam sekolahnya berwarna putih abu-abu. Kini, tidak ada lagi pemandangan gadis bertubuh besar yang menatap kaca bening dengan lama, hanya demi meyakinkan dirinya, bahwa dia juga punya tubuh yang bagus, hanya saja sedikit lebar, ia juga punya kulit yang putih layaknya gadis sebayanya hanya saja sedikit gelap.
Begitulah Hera! Usai mandi ia langsung mempersiapkan dirinya dan juga mentalnya, agar sanggup menjalani hari-hari menyakitkan yang biasa dilaluinya. Akan tetapi hari ini, Hera nampaknya sudah tidak peduli lagi dengan semua itu dan juga keadaannya sekarang, bagaimana tentang paha yang besar, gelambir di perutnya yang buncit, serta pergelangan dan pipi beserta bagian tubuh lainnya yang berukuran jumbo.
Ia sudah menerima keadaannya dengan suka rela. Namun, belum terpikir olehnya bagaimana caranya? Agar bisa lepas dari zona seperti ini. Lantas, sekacau itukah Hera saat ini?
Rasanya ia malas sekali untuk berangkat ke sekolah hari ini, apalagi dengan mengenakan seragam yang sepertinya di paksakan untuk menutupi tubuh besarnya, padahal kemarin seragam yang dikenakannya baru saja dibelikan Abangnya.
Hera yakin. Hari ini, ia pasti akan menjadi bahan buah bibir lagi, bagi para teman-teman sekelasnya. Tapi mau bagaimana? Hari ini juga kebetulan ada jadwal pelajaran favoritnya yaitu Kesenian. Memang benar, Hera telah melepas harapannya tentang mimpi menjadi seorang penari; Tetapi, mempelajari dan menambah wawasan tentang dunia kesenian lainya, tetaplah menjadi sebuah keharusan bagi Hera.
Hera sudah keluar dari kosannya, ia melewati gang sempit. Namun, tetap muat kala dilewati tubuhnya. Gang tadi sudah dilaluinya, ia berjalan lurus menuju kearah sekolah yang sudah dua tahun belakangan ini, menjadi tempatnya menimba ilmu, meski harus diiringi suara hinaan atas dirinya, ia tetap masih sanggup untuk memperthankan pendidikan SMA-nya.
Sudah setengah perjalanan dilaluinya, Hera menyetop langkah kakinya, lalu berjalan menuju sebuah tempat, dan kemudian duduk. Ya, tepatnya di salah satu warung pinggir jalan, lalu kemudian memanggil seorang pelayan dan memesan makanan untuk sarapan paginya.
Perempuan berpakaian ciri khas seorang pelayan menghampirinya, "Mbaknya mau pesan apa?" tanyanya.
"What 'MBAK' apa gue terlihat seperti wanita yang udah berumur? Please deh, Tuhan jangan lagi, gue gak kuat." lirih Hera dalam hati.
Wajah Hera cemberut menatap pelayan di warteg itu, "Eh, maaf! " ucapnya lagi, yang sepertinya sudah sadar salah bicara.
"Adeknya mau pesan apa? " tanyanya lagi, lebih lembut dari sebelumnya.
Hera tersenyum tipis. Namun, masih sedikit marah, "Nasi goreng tiga piring, gorengannya sepuluh ribu, es teh manisnya tiga gelas" ucap Hera sambil memegang perutnya yang sepertinya sudah mulai didemo para cacing-cacing.
"APA ..! Adeknya yakin, pesen segitu banyak?" tanyanya lagi dengan ekspresi tercengang.
"Mbak saya ini pembeli, lho! Udah syukur saya pesan banyak! Kan untung buat warung ini, jadi mending sekarang Mbaknya siapin yang tadi saya pesen! atau kalo gak saya pindah tempat aja! Nanti saya telat lagi ke sekolah." ucap Hera yang mulai meresa tak nyaman dengan sikap pelayan itu.
"Eh, iya ... iya Dek, tunggu sebentar yah!" pintanya, mungkin dia takut Hera akan batal makan di tempatnya.
"Manusia emang gitu, dikasih rezeki lebih eh malah sewot sama urusan hidup orang." guman Hera lagi.
Usai menunggu beberapa menit, pesanan Hera pun datang, tak butuh waktu lama Hera langsung melahapnya dengan semangat.
Beberapa menit pun kian berlalu. Ia sudah selesai bermain-main dengan lambungnya. Ia menuju ke arah meja kasir untuk membayar semua makanan yang tadi dilahapnya habis plus gorengan yang dibelinya sepuluh ribu rupiah.
Berdeda sekali, jika kebanyakan perempuan atau gadis seusianya yang lain, uang jajan mereka habis karena beli skincare dan semacam alat kecantikan lainnya. Hera justru habis karena keseringan beli jajan.
"Mau begimana lagi, orang Hera doyan makan, gak doyan gibahin orang." gumam Author wk wk wk.
Beruntung tahun ini, Abang Hera, keluarga satu-satunya, sekarang sudah punya pekerjaan menetap, jadi Ia bisa membiyai semua kebutuhan Hera yang meski terbilang cukup berat.
Hera hanya memiliki Abangnya saat ini, Ibunya meninggal usai dua jam setelah melahirkannya, sedang sang Ayah, meninggal karena serangan jantung yang dideritanya, diusia Hera saat itu yang berumur enam tahun.
Kakek dan Neneknya? Mereka masih ada, tapi rumah mereka jauh dari Hera dan Abangnya, jadi untuk bertemu pun mereka bisa dibilang sangat jarang sekali.
Saat ini pun, dikarenakan jarak sekolah yang jauh, Hera harus tinggal di kosan anak sekolah, terpaksa jauh dari Abang kesayanganya, Abangnya hanya datang kalo mendapat telpon dari Hera saat uang jajannya abis, itu pun tidak bisa lama-lama, karena abangnya sibuk dengan urusan pekerjaannya.
Karena Hera tidak mau pekerjaan yang sudah sudah susah payah di rintis abang, nanti akan hancur! Jika tidak dikerjakan dengan serius. Mereka berdua sudah cukup merasa kesusahan, usai sang Ayah meninggal, mereka sempat dilanda bangkrut selama satu tahun, itulah masa di mana Hera pernah merasakan memiliki tubuh yang kurus, itu pun masih dalam keadaan yang sangat sulit, karena sering kelaparan, mau beli makan gimana? Abangnya dulu sering tak punya uang, makanya Hera sampai bisa kurus.
Kini mereka sudah lumayan berada jadi, Abangnya tak mau lagi melihat Adik satu-satunya merasa kesusahan dan sebab kasihan kalau harus melihat Hera kelelahan setiap hari, saat pergi dan pulang dari sekolah. Ia pun lantas meminta Hera untuk tinggal dekat kosan yang tak jauh dari sekolahnya. Memang yah! ketika orang tua sudah tidak lagi ada. Kakak laki-laki/perempuan kita menyulap dirinya layaknya orang tua bagi sang Adik, "Inilah yang disebut dengan cinta yang lahir atas ketidaksempurnaan. Namun, bisa merangkul segala kekurangan dengan suka rela."
Nb: "Cintai diri kita, meski dengan wajah yang tidak cantik-cantik amat, terima itu semua dengan suka rela! Semua itu titipan sekaligus pemberian Tuhan yang amat berharga." A Author
Sajak bumi, 13 November 2020

หนังสือแสดงความคิดเห็น (150)

  • avatar
    Dumpchive

    keren + bagus banget cerita nyaa , alurnya juga ga mudah di tebak , salut dehh

    04/01/2022

      1
  • avatar
    AzrilHaikal

    seru kak

    07/08

      0
  • avatar
    Siti Nurhafiza

    seruuuuuuuuu

    07/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด