logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

2. Kecewa

Biasanya, di jam pulang sekolah seperti ini Megan lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Menggambar apapun yang dia suka, sekedar merealisasikan imajinasinya hingga lupa waktu jika bukan Mayang yang setia mengomelinya saat terlambat makan.
Tentang angan yang selalu dia bayangkan. Tentang keinginan yang tak mungkin dia wujudkan. Dan tentang impiannya yang pada akhirnya hanya mampu dia wujudkan dalam bentuk setumpuk gambar, yang dia simpan rapi dalam kotak di bagian bawah lemarinya.
Tapi kali ini Megan membelot dari kebiasaannya. Kehadiran Nadine membuat gadis itu enggan pulang ke rumah. Jika tidak, mungkin dia tidak akan perlu bergelut dengan terik matahari tengah hari bolong seperti ini.
Memang, jam menunjukkan sudah hampir masuk waktu ashar, tapi panasnya masih menyengat. Membuatnya berkali-kali merutuki kesialannya.
Tujuannya terpaku pada sebuah gazebo di tepi sungai Mentes. Sungai yang tak seberapa luas, yang terletak sedikit jauh dari rumahnya itu, gemericik airnya dirasa mampu memberinya ketenangan.
Megan lalu mencari bagian teduh di sekitar gazebo. Menyandarkan sepedanya disana, lalu medaratkan tubuh di dalamnya.
Menatap sendu ke arah langit, dalam hati Megan merintih sedih. Begitu banyak kata andai yang menggelayut dalam benaknya saat mendongak ke atas, seolah disanalah tempat dimana dia menggantungkan harapan.
Andai saja Ayahnya masih hidup, tidak akan dirinya merasa haus kasih sayang kedua orang tuanya. Tak kurang-kurang kasih sayang Mayang padanya, tapi tetap saja tak bisa dia mangkir dari rasa iri saat melihat teman-temannya yang mempunyai keluarga utuh.
Ibunya, tak akan pergi meninggalkannya jika Ayahnya masih hidup. Dan dia tak perlu menghindar lagi untuk bertemu dengan Ibunya seperti saat ini lantaran kesimpulan yang tumbuh dengan sendirinya sejak kecil, bahwa Ibunya tak menyayanginya. Sebab itulah seiring berjalannya waktu Megan sendiri telah memutuskan bahwa dia tak punya Ibu.
Megan, dulu terlalu kecil untuk mengerti apa yang tengah melanda rumah tangga kedua orang tuanya. Dia tak tau dari mana datangnya badai petaka yang merenggut keutuhan keluarganya dulu.
Terakhir yang dia ingat adalah saat dimana, sepulang dari bekerja Ayahnya datang dengan amarah yang menurut Megan baru pertama kalinya dia melihat Ayahnya semarah itu. Megan yang saat itu baru berusia 4 tahun, tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya pada Ayahnya. Tangan mungilnya mencekal ujung kemeja Ayahnya yang berantakan disana-sini saat Ayahnya hendak melangkah pergi usai mengamuk di kamarnya.
***
*"A-ayah ... Ayah, mau pergi kemana?"* Terbata Megan kecil bertanya di antara rasa takut dan ingin. Menundukan wajah sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ayahnya yang masih bergeming, berusaha meredam amarah agar tak melampiaskannya pada puteri kecilnya.
Perlahan, yang ditanyai mensejajarkan tingginya dengan Megan. Diusapnya puncak kepala Megan kecil sebelum akhirnya membawanya ke dalam pelukan.
*"Megan, anak Ayah yang baik, Megan tunggu sebentar di rumah sama, Mbok Asih, ya,"* Lelaki dengan wajah kusut, rambut acak-acakan dan, seragam kantor yang berantakan itu mengecup singkat puncak kepala Megan, sebelum akhirnya benar-benar pergi.
Tak ada yang tau bahwa itu adalah pertemuan terakhir seorang Ayah dan Puterinya. Dia benar-benar pergi dalam artian yang sesungguhnya. Pergi dan tak akan pernah kembali. Pergi yang kelak meninggalkan sejuta mimpi untuk Megan. Pergi yang pada akhirnya memberikan sakit yang sedemikian rupa bagi seorang Megan kecil.
***
"Nduk?"
"Astaghfirullah!" Megan berjengit saat tiba-tiba disadarinya seseorang telah berdiri di hadapannya sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Sejenak Megan menghela napas, menepuk-nepuk pelan dadanya, berharap jantungnya baik-baik saja.
"Mak, kenapa ngagetin? Jantung, Megan sakit, Mak," Megan berujar pelan sambil meringis. Menatap melas pada sosok yang tengah berdiri menjinjing keresek belanja di tangan kirinya.
"Siapa yang ngagetin? Kamu yang Mak, perhatikan bengong dari tadi. Nggak pulang? Udah sore ini," Wanita yang sempat heran karena tak biasa melihat seorang gadis dengan pakaian seragam masih lengkap, yang sedang melamun di tepi sungai itu lantas berlalu, sebeleum Megan mengucapkan satu katapun.
Bukan tak mau menjawabnya, Megan bingung jawaban apa yang akan dia berikan. Tidak mungkin sekali dia katakan bahwa dia enggan bertemu dengan Ibunya. Orang yang tak tau akan tertawa atau bahkan menganggapnya durhaka jika mengatakannya. Orang akan berpikir dia kejam, tanpa tau masalahnya. Terlebih mereka tak saling mengenal. Wanita itu hanya berbaik hati menegur Megan, menyadarkannya agar tak melamun di tempat yang tak seharusnya.
Gadis itu lantas bergegas pulang. Barang kali Nadine sudah pergi, pikirnya.
----
Megan menatap takjub keadaan kamarnya. Baju dan barang-barangnya terkemas rapih dalam koper di atas ranjang tidurnya dan beberapa kardus di lantai.
Masih tak percaya dengan penampakan di kamarnya, Megan bergegas membuka lemari bajunya. Kosong. Hanya sebuah kotak yang menurut Nadine tak penting yang dia sisakan disana. Nadine tak tau saja, di dalam kotak itu adalah setumpuk harapan Megan yang terpendam.
"Uti ...! Uti ...!" Megan kalap berjalan ke arah pintu. Teriakannya bahkan tak hanya membuat Mayang menghampirinya, Nadine dan seseorang yang tak lain adalah supirnya juga.
"Kenapa, teriak-teriak begitu, Nduk? Ada apa?"
"Uti, ini kena-" Megan melongo mendapati Nadine masih berada di rumahnya, dia berdiri di samping Mayang. Megan hanya tak tau bahwa sebenarnya Nadine sempat pulang ke penginapan setelah mengemas barang-barangnya. Selain mempersiapkan sesuatu, Nadine juga membawa mobil beserta supir pribadinya untuk membantu mengangkut barang-barang Megan.
Sejurus kemudian tatapan Megan berubah nyalang, lalu beralih menatap Mayang. Saat Mayang hendak menyentuh lengan cucunya itu, Megan menepis halus.
"Jangan bilang ini ulah dia," Mayang bergeming saat Megan menuntut jawab. Bulir bening yang turun perlahan di wajah senjanya seolah telah memberi jawaban.
"Megan, ada salah sama, Uti? Kalo Megan, ada salah, Megan, minta maaf tapi jangan usir Megan, Uti ...," Rendah suara Megan menambah gugu pilu tangisan Mayang. Tangannya yang digenggam oleh Megan mengiringi tubuh gadis itu yang berlutut sambil memohon padanya. Tangisnya tak kalah memilukan.
"Sayang, kenapa kamu nangis? Sebentar lagi kamu akan tinggal sama, Mama, loh ... Harusnya kamu seneng dong," Kalimat itu sontak membuat Megan berdiri cepat. Kembali menatap nyalang ke arah Nadine seolah menantang, Megan sedikit melangkah mendekatinya.
"Sebenernya apa mau, kamu? Megan mendesis. Dia berbicara seolah bukan Ibunya yang ada di hadapannya. Rasa hormatnya, rasa rindunya, rasa sayangnya telah sejak lama tergantikan oleh rasa kecewa yang begitu besar pada sosok yang berdiri di depannya ini.
"Megan! Ini, Mama loh, Mama kamu! Bisa-bisanya kamu nggak sopan begitu sama, Mama!"
"Mama? Aku, bahkan udah nggak kenal siapa kamu!"
"Megan! Jangan kurang ajar, kamu!"
Plakk!!!
Satu tamparan mendarat di pipi kiri Megan. Sakit yang seharusnya benar-benar sakit, nyatanya menjadi sakit lantaran tak terima. Megan merasa Nadine tak punya hak memperlakukannya seperti itu.
Mayang sempat goyah. Keputusannya untuk menyerahkan Megan pada anak menantunya itu, dengan harapan keadaan Megan akan sedikit lebihnya bisa membaik. Mayang pikir, dengan membiarkan Nadine membawa cucunya tinggal bersama akan mengurangi sedikit penderitaan Megan, tapi melihat hal ini terjadi, Mayang hampir membatalkannya.
"30 menit lagi kamu harus sudah siap. Mama, nggak ada waktu lagi nungguin kamu," Datar Nadine menitah. Dia hendak berbalik tadinya, jika Mayang tak segera mencegahnya.
"Apa, nggak sebaiknya kita kasih waktu dulu untuk anakmu? Sepertinya dia, masih belum siap," lirih Mayang memohon kepada Nadine.
"Nggak bisa, Buk. Bukannya Ibuk, sendiri yang bilang Megan, membutuhkan saya? Saya nggak ada waktu lagi untuk jemput dia kalo nanti-nanti," Mendengar itu, Megan yang sedari tadi bergeming menatap Mayang tak percaya. Dia tak percaya jika kedatangan Nadine adalah permintaan Utinya sendiri.
"Kamu bilang, aku butuh kamu?" Megan tertawa miris.
"Dimana kamu, saat aku benar-benar butuh kamu?"sambung Megan, Nadine tertegun mendengarnya. Dia yang tak ingin mendengar apa-apa lagi, memutuskan untuk segera beranjak.
"12 tahun ... 12 tahun yang lalu saat aku memohon agar kamu tetap tinggal, apa kamu denger? saat aku ingin ikut kemana kamu pergi, apa kamu denger?" Lagi, Megan mengejar dengan kalimatnya.
Dan berhasil. Nadine mendadak berhenti meski enggan berbalik. Wanita itu tak mau lagi mendapat tatapan terluka dari puterinya. Terlebih dia sendirilah yang menoreh luka itu.
"12 tahun aku membiasakan hidup tanpa Ayah, tanpa Ibu, dan sekarang ...?" lanjut Megan. Lirih rendah suaranya sarat putus asa.
Selang beberapa menit Nadine menunggu, tak ada lagi kata-kata yang keluar dari puterinya.
Dengan keputusan yang mutlak tak bisa diganggu lagi, keputusan yang nantinya akan membuatnya sadar bahwa dia telah egois, Nadine kembali berjalan tanpa mau menoleh kebelakang. Melenggang keluar menuju ke mobil pribadinya, setelah berpesan kepada Jarno, supirnya.
"Tolong diangkut semua barang-barang anak saya, ya, Pak,"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (84)

  • avatar
    MeilinaRadinka

    buku yang baik dan sangat mudah untuk dibaca sangat di mengerti

    18d

      0
  • avatar
    แย่มาก

    ihhh ceritaa nyaa baguss, sukaaaa🖤

    14/08

      0
  • avatar
    Fyra Azzahra

    Ceritanya sangat menarik dan bagus

    08/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด