logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

6. Jatuh Cinta

Memang, jodoh gak akan kemana kalo arah tujuannya gak tau kemana. Gak ada yang tau kapan datangnya, dan mendadak bisa datang tanpa ada yang mengundang.
Kurasa, itu gak terjadi padaku sekarang. Bagaimana bisa? Aku yang masih berusia delapan belas tahun, baru saja dapat kerja setelah sekian bulan menganggur, hanya geleng-geleng kepala gak mengerti dengan maksud dari semua ini.
"Caca belum siap Pak," ungkapku akhirnya mencurahkan isi hatiku atas apa yang kini terjadi.
Kukira, ucapan Irsa tentang aku yang akan dinikahkan tadi hanya sebagai bahan untuk menakutiku, tapi ternyata aku salah. Satu keluarga yang berisi bapak, ibu dan anak yang sama sekali gak pernah kutemui sebelumnya, datang mengatakan niatnya kepada Bapak.
Bisa dikata niatnya itu sungguh mulia, tapi dengan syarat dalam waktu yang tepat dan dengan obyek yang tepat.
"Saya sanggup menunggu Caca sampai dia siap,"
Mendengar kalimat itu, mataku langsung mendelik ke sosok pemilik suara. Seorang laki-laki berumur yang aku gak kenal, yang datang dengan beraninya ke hadapan Bapak, dengan niatan untuk melamarku. Ya Allah, drama macam apa ini.
Aku sama sekali gak kenal dia, gak pernah bertemu dia, tapi bagaimana bisa dia mengenalku hingga berani melangkah jauh ke tahap ini?
Kapan? Dimana?
Ibu juga gak pernah memberitahu kalo aku anak semata wayangnya ini akan dinikahkan diusia yang masih sangat belia, dengan seorang laki-laki asing, yang kemungkinan dia adalah pilihannya yang dipilihkan untukku tanpa sepengetahuanku.
"Ibu yang merencanakan ini?" Bisikku kepada Ibu yang baru saja duduk usai kembali dari dapur.
"Enggak."
Singkat, padat dan jelas, sesuai pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi, jawaban itu sangat gak memuaskan bagiku, karena aku ingin jawaban lebih.
"Pak, Caca gak mau nikah sama dia," Bisikku berganti ke Bapak.
Melirik dengan sinis laki-laki itu disana, aku merengut, menampakkan rasa gak sukaku kepadanya. Alih-alih dia kesal, bibirnya terangkat membentuk seulas senyum, membuatku tambah sebal karena dia sama sekali gak terganggu dengan sikapku.
Demi Allah, aku gak kenal dia. Aku juga gak merasa diajak kenalan olehnya secara langsung maupun virtual. Isi chattingku Facebook hanya ada Barikli, sementara lainnya kuabaikan karena gak aku kenal.
Dia mengenalku dari mana? Mana mungkin kami sama sama-sama gak mengenal, lalu dia langsung mengajakku lamaran, tanpa ada sesi perkenalan.
Gak masuk akal. Otakku sudah sedikit gak normal sekarang.
"Maaf, Caca ke belakang dulu," Final. Aku memutuskan untuk menghindar.
"Kenapa?" Satu pesan muncul dari Barikli yang membuatku perasaan kesalku sedikit berkurang.
Merubah posisiku dari yang semula menelungkup, menjadi berbaring, jemariku segera mengetikkan balasan.
"Apanya yang kenapa?"
"Statusmu. Kenapa fotonya cemberut?"
Hampir lupa, kalo aku mengunggah foto selfi dengan mimik muka cemberutku usai mengundurkan diri dari hadapan satu keluarga asing tadi. Kuunggah tanpa menuliskan caption, dan gak sampai rentang waktu lima menit, banyak komentar yang hadir. Kuabaikan karena itu dari akun orang yang gak ku kenal.
Aku mengetik balasan.
"Gak papa. Kesel aja."
Gak berapa lama kemudian, satu balasan pesan kuterima.
"Senyum Sab. Senyum kamu manis banget lho."
Astaga. Mataku sampai terbelalak membaca pesan itu. Bahkan aku mengulang berkali-kali untuk memastikan kalo pesan itu gak salah kubaca. Dan dengan bodonya, bahkan sampai kueja layaknya bocah tk.
Hatiku berdesir meratapi ketikan Barikli. Rasa kesal yang tadi mendominasi sekarang meluap entah kemana. Hanya dengan ketikan, aku bisa sebahagia ini. Segitu pedenya aku langsung senyum senyum sendiri, dan lupa kalo bisa saja itu hanya kebohongan belaka.
"Hati-hati Ca. Semua cowok itu sama saja. Sama-sama buaya,"  Itu amanat dari Ratna yang kuterima saat ada seorang cowok yang menembakku waktu aku masih sekolah dulu.
Teringat itu, senyumku memudar. Menebak-nebak apakah Barikli termasuk ke dalam golongan cowok seperti itu. Menggeleng cepat, aku menyimpulkan bahwa cowok itu harusnya berbeda. Suara lemah lembutnya, juga tatapan sayu yang terpancar dari kedua matanya, menandakan kalo cowok itu harusnya gak seaktif para buaya. Harusnya dia baik dan tulus.
"Aku dapat rejeki. Kapan kita nongkrong lagi?"
Terpaku pada pesan itu, mataku menerawanb. Fikiranku bereaksi, memikirkan kemungkinan yang terjadi dibalik ajakan Barikli. Mungkinkah? Apakah? Bagaimana bisa? Dan banyak kalimat tanya lainnya yang berjubelan di kepalaku.
Interaksi kami membawa perubahan? Dari yang semula dia hanya melontarkan beberapa patah kalimat menjadi berparagraf kalimat, hingga raga meminta untuk dipertemukan. Mungkinkah kalo hatinya mulai menumbuhkan rasa terhadapku, seperti rasaku untuknya?
Jemariku gemetar saat mulai mengetikkan balasan, lumayan terenyuh kalo semua kemungkinan yang kubuat adalah kenyataan.
"Caca,"
Panggilan Ibu dari luar kamarku terdengar lirih, diikuti ketukan pintu yang membuatku segera bangkit untuk menemuinya. Meletakkan handphone yang layarnya memperlihatkan riwayat chatku dengan Barikli, dengan sederet jawaban yang kutulis yang belum berhasil terketuk menu kirim.
"Apa Bu?" tanyaku.
"Tamunya mau pulang. Ayo salim,"
Seketika raut masamku hadir kembali.
"Ya biarin pulang lah Bu, aku gak usah disalimin juga gak papa," jawabku.
"Kamu tau gimana adab memuliakan tamu? Ibu gak mau dengar alasan lagi, cepetan ke depan,"
Dengan bibir yang mengerucut akibat sebal, aku gak bisa menolak dan mengikuti Ibu setelah menyambar jilbab yang tadi kulepas.
"Saya nungguin kamu jadi menantu ibu ya nak," Aku hanya kicep mendengar perkataan itu saat bersalaman dengan wanita yang berstatus sebagai ibunya si laki-laki.
Aku gak tau namanya, dan sepertinya emang gak perlu tau siapa namanya.
"Berapa tahun? Dua? Lima? Jangan lama-lama ya, ntar Mas ketuaan," Satu tangannya terulur, mengusap kepalaku yang terbalut jilbab warna biru. Sontak aku menghindar, memelototkan mataku, menunjukkan rasa ketidaksukaanku atas apa yang dilakukannya tanpa izin.
Hampir saja aku mengumpat kalo gak secepatnya sadar, aku disini gak sendirian dan berbuat seperti itu adalah hal yang memalukan. Bisa bisanya dia dengan seenaknya membelaiku tanpa rasa dosa.
"Jangan sok kenal. Saya gak tau siapa Anda," kataku sinis. Laki-laki itu malah tersenyum miring. Lalu matanya berpendar tajam, mengunci tatapanku di manik matanya yang berwarna hitam kelam.
"Bu, saya sekeluarga pamit ya,"
Memutus kontak matanya denganku, tatapannya kembali ramah ketika berhadapan dengan Ibu. Membuatku merinding, dan ngeri membayangkan lagi bagaimana tatapan menakutkan itu memakuku.
"Pak, Caca belum mau nikah," Keluhku lagi pada Bapak usai keluarga asing itu pergi.
Bapak tersenyum, kerutan disekitar bibirnya tertarik.
"Bapak terserah sama kamu. Kamu yang mau ngejalanin. Tapi kalo ada yang siap menikahi kamu, alangkah baiknya menerima tawaran itu. Kalo sudah begitu Bapak sudah gak nanggung kamu lagi,"
"Caca gak mau Pak. Caca gak kenal sama dia. Kok bisa dia mendadak mau ngelamar Caca?"
"Kalo gak mau ya sudah. Tolak dia secara baik-baik. Jangan sampai menyakiti hatinya dia,"
Bapak berlalu, tenang sekali seolah yang baru saja terjadi hanyalah kejadian biasa dalam hidupnya. Berbeda denganku perasannya campur aduk menjadi satu kesatuan yang sulit diungkapkan. Antara sedih, gelisah, kecewa, juga rasa menyesal karena kebahagiaan untuk kedua orang tuaku belum bisa kuciptakan.
Benar kata Bapak, dengan aku menikah maka tanggung jawab Bapak kepadaku sudah beralih ke suamiku. Artinya, selama ini aku memang menjadi beban keluarga.
"Ibu dulu seumuran kamu sudah menikah Ca,"
"Tapi sekarang dua ribu lima belas Bu, bukan zaman baheula,"
"Adza ganteng lo Ca,"
"Adza siapa?"
"Laki-laki tadi,"
Aku ber oh ria. Membenarkan kata Ibu karena aku gak pernah mengatakan kalo laki-laki itu jelek. Dia rupawan. Kuakui meskipun masih satu kali tadi bertemu, aku sudah bisa menilai bagaimana seluk beluk wajahnya. Apalagi jambang tipis di dagunya, membuatnya semakin terlihat mempesona.
"Ibu rela kalo Caca yang masih manja ini jadi istri orang yang Caca gak kenal?"
"Kenapa enggak?" Ibu berdiri, mengemasi gelas gelas bekas kopi, meletakkannya di atas tampan. "Ibu malah bahagia. Adza sudah mapan, sholeh, tanggung jawab, mencintai kamu. Kalo Ibu jadi kamu, ibu sudah jawab iya," tambahnya.
"Tapi Caca bukan Ibu,"
Mencermati Ibu yang dengan lancarnya bisa mengatakan keunggulan Adza, aku curiga.
"Jadi beneran Ibu yang ngejodohin Caca sama Adza?" Kecurigaanku keluar menjadi sebuah pertanyaan yang menjadi dasar ini semua.
"Enggak. Makanya kalo ada tamu itu di ajak ngobrol, bukannya ditinggal pergi," Ibu mengangkat tampan, hendak pergi.
"Jadi kenapa dia bisa tau Caca? Caca gak kenal sama dia, gak pernah ketemu dia juga. Dan anehnya sekali kesini dia malah mau ngelamar Caca,"
"Ya begitu yang namanya jodoh," tanpa rasa dosa, setelah mengucap itu, Ibu berlalu.
###
"Sab, aku disini,"
Lalu sebuah foto ikut menyertai pesan tadi. Jantungku langsung berdebar mencermati foto yang dikirim Barikli.
Menyerobot handuk dibalik pintu, aku berlari ke kamar mandi. Bisa-bisanya aku ketiduran hingga waktu maghrib usai. Mentang mentang aku lagi halangan, orang orang di rumah gak ada antusiasnya sama sekali untuk membangunkanku.
Aku lupa, kalo malam ini aku ada janji dengan Barikli. Dia disana menungguku, sementara aku disini masih mulai bersiap diri. Sial. Kenapa tadi aku gak pasang alarm?
Bisa bisanya aku harus bersiap dengan kecepatan ekstra. Mana bisa aku dengan tenang mempercantik diri kalo keadaannya begini. Gak mungkin banget aku dengan pd nya menemui Barikli dengan wajah pucat khas orang baru bangun tidur. Bukannya terpesona, malah ilfil nanti jadinya.
Menarik hembuskan nafas, aku mulai menenangkan diri.
Sekali lagi, menarik hembuskan nafas, aku mulai melangkah memasuki kafe. Masih sama seperti kafe yang kemarin kudatangi. Aku gak tau alasan Barikli memilih kafe ini lagi. Bukannya lebih asyik kalo kami bertemu di tempat lain? Seenggaknya akan ada tempat lain yang menjadi saksi kebersamaan kami kali ini.
Berhenti di depan tempat yang waktu lalu kami tempati, aku gak menemukan sosoknya. Yang kulihat melainkan sepasang kekasih yang asyik bercengkerama. Menebar pandangan, mataku terpaku pada seseorang dengan punggung tegap yang duduk membelakangiku. Disana, di sebuah meja yang berada di pojok, yang terpisah jauh dari meja lainnya. Dibawah remangnya cahaya lampu kekuningan, aku bisa mengenali sosok itu.
"Maaf," ucapku begitu aku menghenyakkan pantatku di kursi depannya. Tanganku gemetar, juga jantungku berdebar, tanda kalo aku diserang rasa grogi yang sedikit sulit dikendalikan.
"Aku kira kamu gak datang, karena ibu kamu gak ngasih izin," katanya dengan suara khas miliknya. Juga gak lupa, tatapan sendunya yang menatapku datar.
"Boleh kok," jawabku. Sejujurnya, Ibu tadi melepasku dengan agak gak rela seperti biasanya setiap aku meminta izin keluar malam. Aku gak bisa menyerah begitu saja dibawah kekangan Ibu. Mengeluarkan kalimat rayuan hingga memenangkan restu Ibu, dan berakhir dengan keberadaanku disini sekarang. Itu artinya, aku berhasil.
"Tumben kamu gak sibuk," kataku. Anggap saja sebuah kail untuk memancing alasan Barikli mengajakku bertemu lagi. Aku ingin membuktikan kemungkinan-kemungkinan yang kuciptakan sendiri.
"Aku gak pernah sibuk Sab. Aku belum punya kesibukan yang hakiki. Kamu enak sudah kerja," Mata sendunya menerawang, seolah mengamati jalur hidupnya yang gak pernah bisa ditebak bagaimana akan berlalu.
"Rencanamu mau ngapain?" tanyaku. Lupa akan tujuanku untuk menemukan alasannya mengajakku kemari, aku lebih tertarik membahas rencana masa depannya.
"Kerja. Mungkin merantau,"
"Sama ibu kamu boleh?"
"Boleh."
Jelas, dia berbeda dariku yang penuh kekangan. Meskipun kami sama-sama terbelenggu dalam banyak aturan, tapi dia memiliki celah untuk keluar dari aturan itu. Satu satunya alasan adalah karena dia laki-laki.
"Mau kerja apa?" tanyaku.
Dia menggeleng. Tampak sorot putus asa dari matanya.
"Semangat ya. Yang penting usaha dan berdoa, kita gak tau apa yang akan terjadi esok hari," Aku tersenyum, menyalurkan vibes positif kepada Barikli. Cowok itu menatapku datar, lalu sebuah senyuman terukir, hingga dua gigi atasnya yang agak renggang terlihat.
"Budhe ku suaminya polisi. Nawarin aku untuk dibantu masuk kepolisian kalo aku mau. Tapi aku gak minat, itu bukan cita-citaku."
"Kenapa? Postur tubuh kamu cocok lho jadi polisi. Masalah fisik kamu oke, kamu tinggal fokus ke yang lain. Apalagi ada orang dalam, "
Barikli menggeleng. "Nggak minat Sab. Itu bukan ranahku,"
"Padahal banyak lho Ki, yang minat jadi abdi negara,"
"Banyak. Apalagi tunjangannya banyak,"
"Iya bener banget," Dengan setuju aku mengangguk. "Kalo jadi cowok enak, mau pilih tujuan hidup apapun, asal gak neko-neko pasti orang tua ngizinin,"
"Cowok itu berat. Tanggungjawab nya banyak. Gak seringan yang kamu fikirikan."
"Tapi yang jelas beda sama cewek. Jadi cewek tuh juga berat Ki. Banyak kekangan tau gak?"
"Itu karena mereka sayang sama kamu. Aku juga gitu, banyak kekangan. Tapi ibuku faham, dimana aku harus dikekang, dan kapan aku harus dilepaskan."
"Aku kalo jadi cowok, udah melanglang buana kemana aja. Kerja keras, cari duit yang banyak," ceritaku mengungkapkan secuil keinginanku andai saja aku terlahir sebagai cowok.
"Asyik sih. Aku dulu psg di Blitar. Jauh dari Ibu," ungkapnya mulai bercerita. "Seru. Banyak pengalaman, juga teman. Kamu pengen lihat, aku disana ngapain aja?"
Belum sempat aku menjawab, Barikli menggeser kursinya mendekatiku. Mencondongkan tubuhnya, lalu menunjukkan foto foto kepadaku. Aku gak fokus sama penjelasan mengenai setiap foto yang ditunjukkannya. Aroma parfum yang menusuk hidungku, membuatku terbuai, disusul dengan suara lembutnya yang dengan jelas masuk ke gendang telinga, semakin gak fokus dengan ceritanya yang kini entah sampai dimana.
Suaranya senyap, dia terdiam. Aku mendongak hendak menanyakan mengapa ceritanya terhenti, tapi bibirku gak sanggup bersuara kala matanya menatap mataku dalam. Hanya ternganga, aku bersusah payah menelan ludah. Mata itu, memang khas miliknya. Agak sipit tanpa kelopak mata, berteduh di bawah kedua alis tebal yang melengkung. Hidungnya mancung, dengan ujungnya yang mengkilap akibat berkeringat. Kumisnya tipis sebanding dengan bibir merah mudanya yang juga tipis.
Jangan lupakan dagu belah tengahnya, yang membuatku mengira ngira kalo kami ditakdirkan berjodoh hanya karena bentuknya sama dengan milikku.
Ya Allah, aku ingat dengan larangan-Mu bahwa menatap mahkluk-Mu satu ini berdosa. Tapi, akan mubadzir kalo aku malah menyia-nyiakannya. Untuk kali ini, maafkan aku. Aku sengaja mengkhilafkan diri.
"Kamu rela gak, kalo aku jatuh cinta sama kamu?"
Pengakuan itu sangat jelas menyerbu telingaku, menusuk hatiku yang paling dalam, memompa jantungku dan menghasilkan debaran dengan frekuensi tertinggi. Tubuhku ikut bergetar, lalu tanganku yang saling kugenggam, terasa dingin.
"Aku jatuh cinta sama kamu,"
Pengulangan itu membuat hatiku berdesir kocar-kacir. Saking terkejutnya, mataku terasa panas akibat kelamaan terbelalak.
Bibirku bahkan lupa mengatup yang untungnya air liurku gak menetes.
"Kamu gak benci aku kan Sab, gegara ngomong ini,"
Mataku berkaca, bukan karena terharu, tapi karena panas. Adegan ini membuatku lupa mengedip. Tapi untung, aku masih ingat untuk bernafas. Ya walaupun aku mengharapkan kalo aku mendadak pingsan, dan Barikli memberiku nafas buatan. Oke Sab, harapan itu gak akan terwujud kecuali kalo kamu berada di adegan cerita.
"Aku, aku gak benci kok Ki," kataku dengan gagap. Sulit sekali mengendalikan diri agar rasa senang yang gak tertolong ini jangan cepat menyebar kesuluruh jiwa, perasaan dan juga raga.
"Kamu mau jadi pacarku?"
Ya Allah, to the point sekali cowok ini. Aku seketika gak tau harus mengatakan apa. Hanya satu yang berseliweran di fikiranku sekarang, yaitu aku menemukan alasan dia mengajakku bertemu malam ini. Mengangguk tanda faham, aku membatin dalam hati, "Oh jadi ini.... Jadi perasaanku sudah terbalaskan kah?"
"Kamu mengangguk artinya setuju kan?"
"Hah?"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    10d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด