logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

2. Panggil Saja Caca

Kesan yang sangat buruk untuk memulai sebuah perkenalan. Harusnya Nana datang ke rumahku tadi malam, bukannya tadi pagi jam setengah delapan, memberi kabar kalo pelatihan dimulai jam delapan pagi ini. Sepupuku itu masih sempat membela diri, katanya tadi malam dia gak membuka handphone, jadi pesan yang berisi info dari dinas masih dia baca tadi pagi. Alhasil aku yang akan mulai menjemur pakaian, lari pontang-panting bersiap diri.
Mengambil pakaian dari keranjang kotor yang untungnya belum kurendam detergen. Masih wangi, meskipun sedikit kusut.
"Sabrina, panggil aja Caca,"
Kataku memulai perkenalan. Berdiri di depan banyak orang setelah sekian lama gak sekolah rasanya sedikit grogi. Apalagi ada lima cowok disana yang menatapku dengan tatapan intimidasi. Rasanya, ingin segera mengakhiri sesi ini, dan menyilahkan peserta lain untuk memperkenalkan diri. Ditambah lagi tampil dengan pakaian kusut, dan sama sekali gak stylish seperti ini, membuat pipiku perlahan merah karena menahan malu. Salahkan kemalasanku yang kalo mencuci baju menunggu dulu hingga menumpuk satu ember. Beginilah hasilnya, memungut baju seadanya, dan jadilah sepertiku. "Jemuran berjalan". Hijab warna cream, baju warna hijau, dan rok warna abu-abu.
Setelah berbulan-bulan mendekam diri di rumah dan jarang berinteraksi dengan orang banyak, rasanya canggung sekali saat dihadapkan dengan situasi seperti ini. Aku adalah tipe orang yang lumayan cuek kalo berhadapan dengan orang baru, tapi mendadak bobrok saat bersama dengan orang yang kukenal. Kepribadian seperti itu bisa jadi terjadi pada diri orang lain juga, gak hanya padaku. Dan aku bangga.
"Konfirm fb ku ya Sab,"
Menoleh ke sosok yang bersuara, refleks mataku menyipit menghindari silaunya matahari siang hari. Kedua alisku bertaut, mengamati sosok yang ada disebelahku, tersenyum, lalu berdiri usai menalikan sepatunya.
"Oh... Pak ketu... " kataku setelah menyadari bahwa dia adalah ketua kelasku. Aku lupa namanya, karena tadi saat dia memperkenalkan diri, aku terlalu sibuk meredakan detakan jantung agar gak grogi saat tiba waktu perkenalanku.
Dia yang dipilih emak-emak untuk menjadi ketua kelas dijurusanku. Aku cuma ikutan setuju, dan gak mempermasalahkan hal itu. Dan nenyerahkan semuanya pada emak-emak yang menjadi mayoritas menjadi peserta pelatihan di kelasku. Menjadi peserta paling muda sudah sepatutnya bersikap ikut-ikutan saja.
Sosoknya paling menonjol diantara empat peserta cowok yang lain. Mungkin karena tubuhnya yang paling tinggi, dan juga wajahnya yang rupawan.
Masih duduk di undakan mushola, menunggu Mbak Kar dan Mbak Rita yang masih menunaikan ibadah sholat, mataku berkeliling. Menyusuri sekeliling mushola yang terdapat kelas kelas jurusan lain. Paling pojok adalah kelas jurusan mesin, bisa ditebak dari penghuninya yang seluruhnya adalah cowok. Lalu kelasku jurusan tata boga, disusul dengan jurusan jahit, tata rias pengantin, dan yang pojok lagi adalah jurusan pengelasan.
Seharusnya aku gak salah pilih untuk mengikuti pelatihan kerja ini. Tujuan utamaku adalah untuk menghapus status pengangguran. Dengan begini, Ibu tidak lagi khawatir karena aku gak lagi rebahan malas-malasan di kamar karena gak ada kerjaan. Meskipun statusku gak berubah menjadi pekerja, setidaknya aku akan lebih produktif untuk tiga minggu ke depan.
Dua teman yang kudapat hari ini, yang bisa langsung akrab, karena umur kami gak jauh beda. Mbak Kar, dan Mbak Rita. Senang sekali mendapat teman baru di hari pertama pelatihan. Dengan begini hari-hariku tiga minggu ke depan seharusnya akan aman.
"Bisa gak Ca?" tanya cowok yang berdiri gak jauh dari tempatku. Kelas sudah berakhir, dan kini saatnya pulang. Berbeda dengan Mbak Kar dan Mbak Rita yang sudah tancap gas duluan, aku masih sibuk berusaha mengeluarkan motorku dengan aman tanpa menyenggol motor yang lain.
Padahal tadi pagi aku datang tidak kepagian, tapi kenapa motorku jadi yang terdepan?
Dengan tubuh seringkih ini, gimana caranya menyisihkan motor sebanyak itu.
"Gak bisa," kataku putus asa. Cowok itu mendekat, mengamati sekitar, lalu bertanya, "Motor kamu yang mana? "
Jariku menunjuk dimana motorku berada.
"Dalam banget. Udah nunggu aja sampe yang lain pulang,"
Aku mendengus. Kukira dia bakal membantuku, tapi ternyata malah memberi keputusan yang sebenarnya akan kulakukan kalo nanti aku sudah lelah dan putus asa.
Aku ingat dia. Satu kelas denganku. Cowok berkulit putih dengan sedikit jerawat kemerahan di wajahnya, namanya kalo gak salah adalah Tino. Datang paling telat, sekitar pukul sepuluhan, dengan penampilan rapi ala mas-mas kantoran.
"Kamu kenapa belum pulang Mas?" tanyaku begitu melihat dia gak kunjung tancap gas seperti anak-anak yang lain. Dia yang asyik dengan handphone ditangannya, menoleh.
"Nungguin Barik," jawabnya lalu kembali terpaku ke layar handphone.
"Hah? Barik siapa? Teman kamu Mas?"
Dia mengangguk, lalu kepalanya terangkat saat seorang cowok datang menghampiri kami.
"Lama banget. Keburu tutup ntar bengkelnya," katanya yang kutebak ditujukan kepada cowok yang baru datang.
"Pak ketu... Jadi nama kamu Barik?" tanyaku setelah sadar bahwa cowok tinggi menjulang di depanku ini yang menjabat sebagai ketua kelas, memiliki nama yang baru saja kutau.
Bisa-bisanya aku gak tau nama sosok penting seperti dia. Dia juga yang tadi menyuruhku menerima pertemanan di akun Facebook.
Barik mengangguk, lalu berkata, "Jangan lupa konfirm,"
Aku mengangguk pelan, menyaksikan kedua cowok itu yang beranjak akan pulang. Membalas sapaan selamat tinggalnya dengan anggukan, aku masih terpaku. Lalu sadar, kalo motorku masih terbelenggu disana, dan gak ada lagi orang yang kukenal yang bisa kumintai bantuan.
@@@
"Mbak minta air panas,"
Aku menghembus nafas kasar. Membilas piring terakhir sebelum akhirnya berdiri.
"Rebus sendiri Mas, kompornya nganggur," responku lalu beranjak memasuki kelas. Belum siang, tapi cowok-cowok jurusan sebelah sudah antri pinjam kompor untuk merebus air panas buat menyeduh kopi.
Sudah menjadi kebiasaan setiap hari, seperti ini. Kayaknya, jurusan sebelah emang hobi mencari yang gratis-gratis. Gak kelewatan juga, kalo masakan hasil praktek diminta juga sama mereka. Apalagi ada Andri, salah satu cowok yang mereka kenal menjadi peserta di kelasku, tambah berani mereka seenaknya keluar masuk sudah seperti rumah sendiri.
Gak masalah sebenarnya, cuma aku sedikit terganggu. Kalo hanya minta air panas gak masalah. Kadang, salah satu mereka gak gentar memberondongku dengan pertanyaan, "Mbak, nama fb mu apa?"
Kalo sudah gitu, moodku yang tadinya good, berubah jadi not good.
"Buat aku Mas?" tanyaku dengan mata terbelalak karena terkejut. Tino mendadak menghampiriku yang tengah asyik berghibah dengan emak-emak, mengulurkan sepotong paha ayam goreng kepadaku.
Sama terkejutnya, para emak juga ikutan melongo, lalu kembali dengan aksi per-ghibahan setelah aku menerima pemberian Tino masih dengan rasa terkejut yang belum reda.
"Makasih," kataku kemudian. Cowok itu pergi, sementara aku meratapi sepotong paha ayam goreng hasil praktek hari ini dengan tatapan bingung.
Melirik Tino yang sudah bergabung dengan para cowok, aku masih gak tau apa maksud dibalik pemberiannya kepadaku. Dia baik, karena sudah memberiku, tapi ini membingungkan. Kenapa harus aku?
Orang lain di kelas ini masih banyak. Ada Mbak Kar dan Mbak Rita yang malah satu kelompok sama dia. Tapi kenapa malah aku yang gak ada hak untuk menerima sepotong paha ayam hasil karya kelompoknya.
Aneh.
Menjelang jam istirahat, aku memutuskan untuk duduk berdua bersama Mbak Kar di teras depan kelas. Menyaksikan anak-anak kelas lain berbondong-bondong menuju ke mushola untuk sholat. Di dalam rasanya panas banget. Ada AC tapi dinginnya gak terasa.
Memilih mencari udara alami, sambil bercerita tentang masa sekolah dulu bersama Mbak Kar, mengulang memori masa putih abu-abu yang sama sekali gak seindah di sinetron.
"Udah selesai Mas?" tanya Mbak Kar begitu para cowok telah kembali dari mushola.
"Udah dong. Gak masuk kalian? Mau cepet pulang gak?" kata Ilham yang membuat kami refleks berdiri dan mengikuti mereka masuk ke kelas.
Berjalan sejajar dengan Tino, mendadak dia menepuk bahuku, seraya berkata, "Mbak-mbak,"
Aku menoleh. "Kenapa?" tanyaku.
"Rambutmu kelihatan," katanya seraya menunjuk bagian belakang hijabku. Refleks aku menarik belakang hijabku, menutupi rambut yang dimaksud Tino. Berjalan dengan bingung, hingga cowok itu mendahuluiku. Dalam hati aku bertanya-tanya, "Ada apa gerangan dengan cowok itu hari ini?"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    10d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด