logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

8. KE JAKARTA.

Keesokan harinya, ia mendatangi gurunya dan menyatakan ke luar dari Fathahillah meskipun
Ia belum dinyatakan lulus.
“Lho ada apa kok tiba-tiba mau keluar.“ tanya Kiai Syafaat.
Subiyanto tetap diam tak berkata apapun.
“Kamu harus punya alasan kalau mau ke luar. Ke luar tanpa alasan itu tidak baik Biyanto.“ tambah
Kiai Syafaat.
Subiyanto tetap menyembunyikan alasannya. Ia tak ingin gurunya tahu duduk perkaranya.
“Walau tanpa alasan saya tetap akan ke luar hari ini.“ tandas Subiyanto.
“Bagaimana pertanggung jawaban ku pada ibumu?“ tanya Kiai Syafaat.
“Biar aku yang mempertanggung jawabkan keputusan ini pada ibu!“ sahut Subiyanto.
Kiai Syafaat tak dapat mencegah kepergian Subiyanto walau sejuta tanya muncul di benaknya.
Subiyanto membawa semua barangnya dan meninggalkan benda-benda pemberian Riza dan Sriatmi.
Dengan hati terluka, ia menenteng tas dan berjalan ke luar dari komplek Fathahillah di antar
Sutoyo dan beberapa teman dekatnya. Dengan saipi anginnya, ia dengan cepat tiba di rumahnya.
Subiarsih terkejut melihat anaknya pulang dengan membawa semua barangnya.
“Ada apa nak kok barangnya dibawa pulang semua?“ tanya Subiarsih.
Subiyanto menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Rasa sakit hati ditumpahkan dalam keluh-
kesah pada ibunya.
“Kemarin nenek Ratna. Sekarang istri guru ku! Kenapa mereka menghina kita?” keluh Subiyanto.
“Sabar ya nak. Kita ini memang orang kecil dan sederhana.“ hibur Subiarsih sambil memeluk
anaknya.
Hati Subiarsih pilu melihat apa yang dialami anaknya. Penghinaan nenek Ratna dan istri Kiai Syafaat
membuat kekuatiran akan perkembangan Subiyanto.
“Sudah! Simpan barang mu. Ibu sudah membuat sayur asem dan ikan asin kesukaanmu. Ayo makan
dengan ibu.“ kata Subiarsih mencoba mengalihkan persoalan yang sedang melanda anaknya.
Akhirnya ibu dan anak, menikmati sayur asem dan ikan asin ditambah sambal terasi yang sedap.
Namun dua peristiwa itu membuat Jaelani terpukul. Ia juga mengetahui penghinaan-
penghinaan itu. Bagi Jaelani, penghinaan itu juga berlaku untuk dirinya. Ia merasa bersalah karena
hanya mampu hidup sebagai tukang bangunan dengan penghasilan pas-pasan untuk kebutuhan
hidup sehari-hari. Tekanan mental itu berakibat pada kesehatan jantungnya sehingga ia sakit
berhari-hari hingga akhirnya ia berpulang. Semangat hidupnya sirna seiring tak mampu mencari jalan
ke luar bagi persoalan anaknya. Kematian Jaelani meninggalkan beban berat bagi Subiarsih karena ia
harus berjuang menghidupi anak-anaknya. Hal itu menimbulkan amarah mendalam pada Subiyanto.
Ia menjadi keras kepada siapa saja kecuali pada keluarga dan Ratna. Ratna pun melihat perubahan
dalam diri kekasihnya hingga menimbulkan kepedihan. Ia menuangkan kepedihan itu dalam surat-
suratnya untuk Subiyanto.
Subiyanto menjadi beringas ketika melihat kemaksiatan dan perlakukan buruk pada yang
lemah. Ia sempat menghajar tiga orang pemabuk yang mengganggu tetangganya. Kala itu, ia sedang
menyendiri di dekat SD Inpres. Tiba-tiba seorang lelaki muda yang sedikit lebih tua darinya
berlari sambil memegang kepalanya yang mengeluarkan darah.
“Kenapa kang?“ tanya Subiyanto pada Sugeng, tetangganya yang pulang dari tempat bekerja.
Kang merupakan ungkapan bahasa Jawa yang berarti kakak.
“Aku dipukul orang yang mabuk di gubug di pinggir jalan itu.“ kata Sugeng sambil berlalu.
Subiyanto segera bangkit berjalan ke arah gubug itu. Ketiga orang yang bukan warga dusunnya
terlihat sedang menenggak minuman keras.
“Hei! Mengapa kalian memukul tetangga ku?“ seru Subiyanto.
Ketiganya berdiri dengan botol minuman keras tergenggam. Tanpa jawab dipukulkan botol itu ke arah kepala Subiyanto. Ketiganya tak mengetahui kekuatan Subiyanto. Dengan cepat, Subiyanto
menghindar lalu dengan cepat dipukulnya tangan yang mengayunkan botol itu. Subiyanto
melampiaskan persoalan hidupnya pada ketiga orang itu. Ia menghajar ketiganya dengan pukulan
dan tendangan. Dua orang terkapar kesakitan. Salah seorang diseret Subiyanto ke parit yang hitam
airnya. Ia membenamkan kepala orang itu ke dalam air hitam itu hingga ia menenggaknya.
“Minum...!“ teriak Subiyanto.
Orang itu tak berdaya hingga mengikuti paksaan Subiyanto. Lalu Subiyanto menyeret orang yang
ke dua untuk melakukan hal yang sama. Demikian juga dengan orang yang ke tiga.
“Awas! Kalau kalian mabuk dan memukul orang lagi!” kata Subiyanto seiring ketiganya pergi
meninggalkan Subiyanto. Tetapi ketiganya mendendam pada Subiyanto.
Keesokan harinya, ia membawa 10 orang untuk mengeroyok Subiyanto yang sedang berjalan
seusai jam sekolah. Subiyanto dicegat di jalan masuk ke perkampungan Kalicilik. Kesepuluh orang itu
langsung menyerang Subiyanto. Gejolak hati yang belum mereda akibat penghinaan dan kematian
ayahnya, membuat Subiyanto melampiaskannya lagi pada 10 orang itu.Tanpa banyak kata,
Subiyanto merapal ajian membelah buana yang diajarkan ibunya dengan cara bertapa di dalam air
sungai kanal selama 40 hari pada jam 9 malam hingga subuh sama seperti ketika ia belajar Sakaratul
maut.
Ia menguasai ajian itu setelah mendengar suara pada hari ke 40 yang berbunyi, “Megaring songsong
buana iku, ngenteni suara gong telu. Payung tunggul nogo kiai gagak lumayung sodo lawang.“
Tubuhnya langsung dingin dan hawa dingin itu kemudian terserap dalam tubuhnya. Dengan ilmu
tersebut Subiyanto dapat membendung serangan apa pun pada dirinya. Ketika 10 orang itu
menyerang dengan pukulan dan sabetan parang, Subiyanto tetap berdiri. Tak ada satu pun pukulan
yang menerpa tubuhnya. Tak ada sebilah parang pun yang melukai kulitnya. Semuanya seperti
membentur dinding pelindung. Tak lama Subiyanto merapal sakaratul maut lalu menghantam 10
orang itu. Tubuh kesepuluh orang itu terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri dan
tersungkur sambil menggeliat kesakitan. Subiyanto mendekati salah satu pengeroyok yang kemarin
dipaksa minum air parit yang kotor. Ia mencengkeram baju orang itu dan dipandang
wajahnya dengan amarah. Subiyanto memukul wajah orang itu berkali-kali hingga beberapa giginya
tanggal.
“Bawa semua temanmu! Aku tak takut! Tapi awas kalau sampai aku melihat kamu lagi. Kupatahkan
tanganmu!“ seru Subiyanto sambil melepaskan cengkeramnya.
Ia segera berlalu dari tempat itu.
Dengan wafatnya Jaelani, Subiarsih mengambil-alih tugas untuk menafkahi anak-anaknya.
Subiyanto bersekolah sambil membantu berjualan panganan ke kantin sekolah. Ia juga membantu
Subiarsih mengangkut sayur yang dibeli dari Pasar Bintoro untuk dijual kembali atau dipakai sebagai
bahan pembuat panganan yang dijual Subiyanto di Kantin Sekolah. Subiarsih menjadi penjual sayur
keliling. Setiap seusai subuh, Subiarsih dan Subiyanto ke Pasar Bintoro Kita Demak. Dengan
membawa gerobak, Subiarsih membeli dagangan. Gerobak diisi penuh dengan barang dagangan lalu
Subiyanto menariknya ke Kalicilik. Dengan diam-diam Ratna membantu Subiyanto setelah melihat
kekasihnya membawa panganan ke kantin sekolah. Semua uang saku selalu dibelikan panganan yang
berasal dari Subiyanto lalu dibawa pulang ke rumah atau dibagikan pada teman sekelas. Rasa
prihatin itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir dengan rasa bangga karena orang yang dicintai adalah orang
yang sungguh mengabdi pada keluarga sehingga tak malu walau membawa dagangan ke kantin
sekolah dan menagih uangnya kala usai jam sekolah. Ia makin menyakini bahwa kekasihnya adalah
laki-laki yang bertanggung jawab.
Namun suatu ketika, Ratna gelisah karena Subiyanto sudah seminggu tak bersekolah. Tak
seorangpun yang tahu penyebabnya. Bahkan ketika ia bertanya pada teman-teman Subiyanto, nihil
hasilnya. Subiyanto menghilang dari sekolah. Ia juga tak melihat batang hidung kekasihnya di dusun.
Gubug sawah pun sudah seminggu tak ditempati Subiyanto. Sularso yang menggembalakan kambing
dan menjaga sawah di gubug itu. Akhirnya, ia menulis surat kepada Subiarsih. Ia memberi uang
kepada Suti agar menyampaikan surat itu pada ibu Subiyanto. Suti sangat simpati dengan nasib anak
juragannya. Ia memberi respon dengan membantu mencari tahu keberadaan Subiyanto.
“Ratna! Menurut ibunya, Subiyanto pergi ke Jakarta.“ kata Suti.
“Ke Jakarta!“ Ratna kaget mendengar perkataan Suti.
“Iya. Sudah seminggu ia berada di Jakarta.“ lanjut Suti.
“Kapan dia pulang?“ tanya Ratna dengan air mata yang mulai menetes.
“Sedang apa kamu Suti?“ tanya Ngatinah dengan tiba-tiba ketika melihat Ratna bercakap-cakap
dengan Suti.
Walau terkejut, Suti pandai bersandiwara.
“Anu nek. Tanya soal agama sama mbak Ratna.“ jawab Suti.
“Ya sudah teruskan saja. Ajari Suti cara sholat dan ngaji yang bener!“ kata Ngatinah lalu kembali
masuk ke dalam rumah.
“Pintar juga mbak Suti.“ seru Ratna dengan tersenyum walau hatinya sedih.
“Menurut ibunya, Subiyanto akan lama di Jakarta.“ lanjut Suti.
“Lho bagaimana ini? Bagaimana sekolahnya?“ Ratna menanggapi dengan pertanyaan.
“Dan menurut ibunya lagi, Subiyanto berhenti sekolah!“ terus Suti.
“Lalu?“ tanya Ratna dengan cepat dan hati yang berdebar-debar.
“Subiyanto cari kerja di Jakarta.“ jawab Suti.
“Kerja? Buat apa kerja?“ respon Ratna.
“Kalau itu, aku tak tahu alasannya. Ibunya juga tak mau memberitahu.“ kata Suti lagi.
“Lah, aku bagaimana? Mas Subiyanto bagaimana sih? Mengapa ia meninggalkanku? Mustinya dia
bilang supaya aku bisa ikut.“ respon Ratna dengan air mata makin berderai.
“Jangan nangis mbak! Nanti ketahuan ibu. Kalau tak berhenti nangisnya, aku tak akan memberitahu
info lagi tentang Subiyanto.“ sahut Suti untuk menenangkan Ratna.
“Apa infonya?“ tanya Ratna sambil menghapus air matanya.
Suti menengok ke arah rumah juragannya untuk melihat apakah ada orang yang memperhatikan
mereka.
“Ada apa mbak? Kok malah celingak-celinguk. Katanya ada info tentang mas Subiyanto?“ tanya
Ratna.
Setelah Suti yakin tak ada yang melihat. Ia segera merogoh amplop kecil yang diselipkan ke dalam
branya.
“Ini surat Subiyanto yang dititipkan pada ibunya untuk kamu sebelum ia berangkat ke Jakarta.“ bisik
Suti sambil memberikan amplop kecil pada Ratna.
Ratna langsung menggenggam dan memasukkan dalam kantong celananya.
“Terima kasih mbak suti.“ ucap Ratna yang segera berlalu dari hadapan Suti.
Suti memandang anak majikannya dengan menghela nafas secara berkata dalam hati, “Semoga Allah
melindungi dan kalian bisa menikah.”
Ratna langsung masuk ke dalam kamar lalu menguncinya dari dalam. Dibukanya surat dari
kekasihnya. Ia membaca kata demi kata dari surat itu. Air matanya meleleh di pipi. Ia memahami
alasan kekasihnya untuk meninggalkan bangku sekolah dan merantau ke Jakarta. Matanya menatap
baris terakhir dalam surat itu yang tertulis, “Aku pergi untuk kembali. Aku pergi untuk memenuhi
janji ku pada mu. Aku akan pulang ke Kalicilik paling lama satu tahun. Idul fitri tahun depan aku akan
pulang untuk kamu.“
“Mas sungguh besar pengorbanan mu demi janji mu padaku. Aku akan menjaga cinta ini dan
menunggu engkau kembali.“ desis Ratna sambil membenamkan kepala dalam bantal yang dulu
dipakai untuk bercinta dengan kekasihnya.
Tasbih pemberian Subiyanto diraih dan digenggam erat-erat. Air mata pengharapan meleleh
membasahi bantal. Matanya nanar pada tasbih dalam genggaman.
“Aku akan bantu dengan doa dan tahajud dari sini mas. Semoga Tuhan menjaga mu dan kita akan
bertemu lagi tahun depan. Semoga kita cepat bersatu.“ tekad Ratna.
Sore pun mengiring pengharapan Ratna. Matahari yang condong ke barat dan masuk ke dalam
Kamar Ratna, memberi sebuah pengharapan .Ia memandang ke jendela yang menghadap ke barat,
arah yang dijelajahi kekasihnya menuju ibukota negara demi sebuah janji dan harapan.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (273)

  • avatar
    Udinsarmi

    99+

    21/08

      0
  • avatar
    GustolibIlham

    keren bisa jadi dana

    14/08

      0
  • avatar
    AlfariziMuhammad

    sangat bagus

    02/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด