Seiring dengan makin akrabnya Subiyanto dan Ratna, Subiarsih menambah kemampuan Subiyanto dengan pukulan sakaratul maut. Subiarsih memerintahkan Subiyanto untuk menguasainya. Ia hanya diperkenankan minum air putih tanpa gula dan campuran apapun. Subiyanto juga hanya diperkenankan makan nasi putih saja. Awalnya, Subiarsih mengajak anak lelakinya ke halaman belakang rumah yang tak dinaungi pohon sehingga langit terlihat lapang. “Biyanto. Perhatikan contoh dari ibu.“ suruh Subiarsih. Subiarsih duduk bersila lalu menengadahkan tangan ke atas. Subiyanto pun mengikutinya. “Ketika tangan seperti ini ucapkan sahadat taawudz yang bunyinya Subhanahu wa ta'ala.“ kata Subiarsih. Subiyanto pun menirukan ucapan sahadat itu. “Ucapkan bismilllah dulu kalau akan memulai dan lakukan itu hingga menjelang subuh.“ perintah Subiarsih. Malam itu Subiyanto mulai melatih diri untuk menguasai pukulan sakaratul maut. Setiap malam ia melatih diri di belakang rumah usai mempersiapkan pelajaran sekolah. Selama 40 hari, Ia hanya tidur ketika berada di sawah. Ratna menggantikan dirinya untuk menggembalakan kambing dan menjaga sawah. Ratna melakukan dengan ketulusan hati karena rasa sayang mulai tumbuh di hatinya. Pada malam terakhir dari latihan itu, Subiyanto memulai latihan dengan tekad kuat dengan puasa mutih selama 40 hari. Ratna pun ikut-ikutan puasa mutih walau tak memahami apa yang sedang dilakoni Subiyanto. Selama 40 hari, Subiyanto hanya diperkenankan makan nasi tanpa lauk, sayur dan garam. Ia juga hanya diperkenankan minum air putih tanpa gula dan campuran apa pun. Awalnya, Subiarsih mengajak anak lelakinya ke halaman belakang rumah yang tak dinaungi pohon sehingga langit terlihat lapang. Untuk menguasai Sakaratul maut, ia mulai duduk bersila dan tangannya mengadah ke langit. Sahadat taawudz pun mulai dilafalkan setelah ucapan bismillah. Ketika menjelang tengah malam, ia merasakan badan menjadi hangat.Ia melihat sinar kuning kehijauan dari bintang yang betebaran di langit masuk ke dalam tubuhnya. Hal itu terjadi berulang-ulang hingga menjelang subuh. “Kamu berhasil Biyanto.“ kata Subiarsih ketika menjelang subuh. Subiyanto pun segera berdiri. Lalu memeluk ibunya. Kepalanya dibenamkan ke dada Subiarsih dan kedua tangannya memeluk erat. Subiarsih pun membalas dengan membelai kepala Subiyanto. “Sekarang kamu coba gunakan pukulan sakaratul maut itu. Pukulkan ke pohon asem tua itu.” suruh Subiarsih. Subiyanto segera berdiri dan bersiap. Sakaratul maut segera diucap dalam hati. Kemudian dengan cepat tangan kanannya dikepalkan dan diayunkan ke arah pohon asem tua yang tumbuh di halaman belakang rumah. Dalam hitungan detik, sakaratul maut menghantam pohon asem itu. “Ingat! Jangan menggunakan ilmu itu dengan sembarangan!“ pesan Subiarsih. “Biyanto janji bu.“jawab Subiyanto. “Sekarang sholat dulu, nanti ke buru pagi.“ perintah Subiarsih pada anaknya. Subiyanto pun menuruti perintah ibunya. Ia melangkah ke tempat wudhu lalu bersholat. Subiarsih terpaku memandang Subiyanto yang melangkah pergi. “Pak! Aku sudah menjalankan amanatmu!“ desis Subiarsih mengingat pesan Sapuan semasa hidupnya. Subiarsih mewariskan ilmu yang dimiliki Sapuan kepada Subiyanto. Hingga menjelang kelas 3 SMP, Subiyanto mewarisi ilmu yang dimiliki Sapuan. Subiyanto yang masih berusia muda telah menguasai ilmu yang dahulu dimiliki Sapuan. Tinggal satu ilmu lagi yang harus dikuasai Subiyanto. Kanuragan tingkat tinggi yang harus diperoleh dengan jalan berlatih di Rahtawu, Gebog, Kudus. Di samping itu, Subiyanto juga belajar pencak silat pada guru olah raganya. Ia sangat berbakat sehingga ketika ia duduk di kelas 3 SMP, Subiyanto mampu menjuarai beberapa kejuaraan pencak silat di Demak dan kemudian meningkat ditingkat propinsi Jawa Tengah. Seiring dengan itu, hubungan Subiyanto dan Ratna kian erat. Ratna yang makin menyayangi Subiyanto semakin terbiasa untuk berdua dengan teman sekelasnya. Subiyanto juga memiliki rasa sayang pada Ratna. Gubug di sawah menjadi tempat bertemu, belajar dan bermain. Keceriaan dan tawa selalu mewarnai kebersamaan itu. Tak terasa kebersamaan itu berlangsung hingga mereka segera menuntaskan pendidikan menengahnya. “Rat... Aku mau dipondokkan ibu ke Demak setelah lulus.“ kata Subiyanto di kala mereka berada di gubug sawah. “Lho.“ balas Ratna dengan nada kecewa. “Ya. Ibu menghendaki agar aku memiliki dasar agama yang kuat.“ terang Subiyanto. “Lalu bagaimana dengan aku?” tanya Ratna. “Kitakan masih satu sekolah, jadi tiap hari masih bisa bertemu.“ hibur Subiyanto mematahkan protes Ratna. “Aku akan selalu pulang ke rumah setiap hari sabtu. Jadi aku janji akan selalu menemui mu di gubug ini setiap sabtu sore hari.“ hibur Subiyanto. Ratna hanya diam tak mau membalas perkataan Subiyanto. Kepala menunduk dan wajahnya menampakkan kesedihan bercampur kekuatiran. “Aku tidak mau kehilangan kamu.“ kata Ratna tiba-tiba sambil mencium pipi Subiyanto lalu tertunduk kembali. Subiyanto tersenyum dan terpana namun berbunga. Rasa sayang yang juga ada di hati, memperoleh jawaban. “Aku tahu! Aku juga sayang padamu.“ balas Subiyanto. Ratnapun tersenyum walau hati masih menampakkan kekuatiran. “Aku juga sayang.“ lirih Ratna. “Makanya jangan bersedih! Kita saling berjanji untuk menjaga kesetiaan. Gubug ini menjadi saksinya.“ ujar Subiyanto. “Tapi nanti kamu pasti mengingkari janji. Di pondok, pasti banyak gadis yang lebih cantik dari ku.“ kilah Ratna. “Jangan meragukan aku, Rat!“ tegas Subiyanto. Ratna berhasil diyakinkan. Ia juga berjanji tak akan menyayangi orang lain. Kedua bocah Kalicilik yang sedang beranjak remaja saling mengikat janji setia. Rasa sayang yang muncul dari kebersamaan menyatu dalam ikatan untuk saling setia. Mereka duduk berdua menunggu datangnya maghrib. Tak ada kata yang terucap namun hati yang saling menyapa. Dengan getar sayang yang menyelimuti seiring hembusan angin sore yang menerpa. Senja keduanya beranjak dari gubug itu menuju ke perkampungan Kalicilik. Mereka berpisah di ujung jalan. Ratna berlari ke rumah yang hanya beberapa meter sedangkan Subiyanto berjalan ke ujung barat perkampungan itu. Suara adzan maghrib yang menggema, mengiring perpisahan kedua remaja yang berbeda status sosial. Keduanya mengimpikan harapan untuk bersama hingga kematian memisahkan. Tak lama setelah Subiyanto menyelesaikan pendidikan menengah pertama, ia dipondokkan. Lembaga pendidikan keagamaan Fathahillah terlihat sepi di pagi itu. Tak ada seorang santri yang terlihat. Subiarsih dan Subiyanto melangkah memasuki halaman lembaga pendidikan keagamaan yang berdiri di Kracakan. Mereka sempat kebingungan mencari orang yang dapat ditanyai. Namun tak lama muncul seorang gadis remaja. Gadis itu memandang Subiyanto sekejap lalu berpaling pada Subiarsih seraya berkata, “Mau cari siapa bu?“ “Rumah Kiai Syafaat yang mana ya dik?“ tanya Subiarsih. Gadis itu menunjuk rumah yang berada di tengah dua bangunan besar. “Apakah pak kiai ada di rumah?“ tanya Subiarsih lagi. “Ada bu. Mari saya antarkan.“ jawab gadis itu dengan sopan. Ketiganya melangkah ke rumah Kiai Haji Syafaat, pimpinan lembaga pendidikan keagamaan itu. “Siapa nduk?“ sapa lelaki setengah baya yang berkain sarung. Nduk adalah panggilan anak perempuan di Jawa Tengah. “Ini pak. Ibu ini mencari bapak.“ jawab gadis itu. Lelaki itu segera ke luar dari dalam rumahnya. “Oooo ibu Subiarsih. Mari masuk!“ kata Kiai Syafaat yang rupanya sudah mengenal Subiarsih. “Maaf yi. Kami mengganggu sebentar.“ balas Subiarsih. Yi adalah panggilan untuk seorang kiai di Jawa Tengah. Lelaki yang bernama Kyai Haji Syafaat melepaskan senyumnya lalu mempersilahkan Subiarsih dan Subiyanto duduk. “Nduk. Buatkan minuman buat ibu Subiarsih!” perintah Kiai Musafak pada gadis cilik. “Ya pak.“ jawab gadis itu sambil melirik Subiyanto yang duduk di sebelah ibunya. “Nggak perlu repot yi.“ sergah Subiarsih. “Ibu ini seperti orang tak kenal saja.“ balas Kiai Syafaat. Gadis cilik itu kembali ke luar dengan membawa tiga gelas teh. Lalu menyuguhkannya pada Subiarsih, Subiyanto dan Kiai Syafaat. Ia kembali melirik Subiyanto. Ketampanan Subiyanto memang tak dapat disembunyikan walau ia berasal dari desa. “Ini anak saya.“ kata Kiai Syafaat membelai rambut gadis itu. Gadis itu tersenyum lalu memberi salam pada Subiarsih dan menjabat tangan Subiyanto. Mata gadis itu berbinar menatap wajah Subiyanto. Senyumnya mengembang. Subiyanto pun membalas senyuman itu. Bahagia memancar dari raut wajah gadis itu. “Ini namanya Riza. Dia sudah duduk di bangku 2 SMP.“ jelas Kiai Syafaat. “Kalau ini anak saya yi. Namanya Subiyanto. Insyaallah mau belajar di sini.“ balas Subiarsih. “Oooo ini yang namanya Subiyanto. Sang juara pencak silat itu. Bagus! Aku senang dengan anak yang berprestasi. Apalagi kalau punya ilmu agama yang kuat. Tambah bagus!“ puji Kiai Syafaat. Riza yang duduk di sebelah Kiai Syafaat kian berbinar mendengar pujian ayahnya pada Subiyanto. Ia makin mengagumi Subiyanto karena ternyata ia tak hanya tampan tetapi juga berprestasi. Namun Subiyanto tak mengetahui rasa kagum itu. Ia tetap diam. “Saya titip Subiyanto yi.“ pinta Subiarsih. “Wah dengan senang hati. Saya merasa terhormat dapat mendidik Subiyanto, anak ibu Subiarsih yang sholekah.“ balas Kiai Syafaat. “Biyanto! Kamu harus patuh pada Kiai Syafaat sama seperti kamu patuh pada ibu. Jangan malas! Kiai Syafaat ini ahli agama. Belajarlah agama dengan sungguh!“ kata Subiarsih pada anaknya. “Ya bu. Insyaallah. Biyanto akan lakukan sekuat tenaga.“ jawab Subiyanto. Akhirnya Subiyanto ditinggalkan di lembaga pendidikan keagamaan itu. Ia memulai lembaran baru untuk menimba ilmu agama di bawah tuntunan Kiai Haji Syafaat. Dengan di antar salah seorang seorang siswa, ia menempati sebuah kamar di asrama pria. Kamar itu berpenghuni 13 orang dengan seorang pembimbing. Dengan beralaskan tikar, Subiyanto beristirahat siang itu. Menjelang azar, ia memulai aktifitasnya dengan sholat azar. Kedisiplinan menjadi salah satu unsur yang ditanamkan di lembaga pendidikan agama itu. Hal itu seiring dengan didikan untuk menjalankan ibadah, rukun agama dan belajar kitab suci. Subiyanto ikut menjalankan kedisiplinan dalam berbagai segi kehidupan dalam lembaga pendidikan itu. Pada pagi hari, ia berangkat ke sekolah. Usai jam sekolah, ia belajar agama. Kemahiran ilmu agama kian mendalam seiring meningkatnya usia. Segudang prestasi dalam pencak silat juga kian bertambah. Ia merengkuh gelar juara pertama dalam kejuaraan antar sekolah di Salatiga dan kemudian di Purwokerto. Kemahirannya dalam jurus-jurus pencak silat kian handal apalagi ia juga memiliki kanuragan yang diwarisi dari Sapuan. Perpaduan pencak silat dan kanuragan menjadi kekuatan dahsyat yang dimiliki Subiyanto. Selang 2 tahun kemudian, Subiyanto bertumbuh menjadi seorang siswa yang dipandang istimewa. Kedisiplinan dalam menjalankan kehidupan beragama dan peningkatan kesalehan menjadi perhatian utama Kiai Syafaat yang terkenal disiplin dalam mendidik murid-muridnya. Subiyanto mampu menyerap dan melaksanakan didikan Kiai Syafaat. Ia mengungguli siswa-siswa yang lain dalam menimba ilmu agama di lembaga pendidikan keagamaan itu. Maka Kiai Syafaat tak segan memberi kepercayaan pada Subiyanto untuk membantu mengembangkan lembaga itu. Ia mempercayakan kepada Subiyanto pelajaran pencak silat kepada para siswa yang lain. Pada setiap selasa dan kamis, Subiyanto mengajarkan pencak silat kepada siswa-siswi yang berminat. Keadaan ini membuat Riza mengagumi Subiyanto. Sejak bertemu pertama kali, ia sudah menaruh hati. Situasi asrama yang memisahkan siswa pria dan perempuan membuat Riza tidak bisa bertemu dengan Subiyanto. Ia hanya dapat memandang Subiyanto dari jauh. Ia selalu menunggu dari balik jendela kamarnya kala Subiyanto mengajar pencak silat. Riza sungguh jatuh hati pada sosok remaja yang menjadi murid ayahnya. “Apa yang kamu tulis?“ tanya Sriatmi -istri Kiai Haji Syafaat- ketika melihat Riza anaknya Memandang Subiyanto dari jendela kamarnya. Riza terkejut lalu dengan cepat menyembunyikannya. Namun terlambat. Sriatmi telah melihatnya kala Riza melamuni Subiyanto dengan mata tak berkedip. “Ibu. Jangan bilang pada ayah! Riza mohon?“ pinta Riza. “Jujur dengan ibu! Ibu tak akan memberitahukan ayahmu.“ jawab Sriatmi. “Ibu lihat anak lelaki yang mengajar pencak silat itu?“ tanya Riza. Sriatmi menatap ke arah Subiyanto yang sedang mengajar pencak silat. “Ada apa dengan Subiyanto?“tanya Sriatmi pada anak perempuannya. “Riza menyukai Subiyanto bu.Tapi Riza tak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkannya. Riza ingin Subiyanto jadi suami kelak.“ terang Riza. “Oooo anak ibu sedang jatuh cinta.“ seru Sriatmi. “Jangan keras-keras bu! Nanti ayah mendengarnya.“ pinta Riza. “Ibu memahami nak. Dulu ibu juga mengalami yang sama. Bapak mu itu dulu siswa kakek. Lalu Ibu menikah dengannya. Karena Syafaat adalah siswa yang paling pandai.“ cerita Sriatmi. “Ooooo begitu ya bu.“ balas Riza. “Ibu akan bantu. Ibu lihat Subiyanto juga siswa yang pandai ditambah piawai dalam pencak silat.“ kata Sriatmi. “Sungguh bu? Terima kasih bu.“ seru Riza. Akhir Sriatmi mencari cara agar Subiyanto memberi perhatian pada Riza. Ia berhasil membujuk suaminya untuk menempatkan Subiyanto di kamar depan dengan alasan bisa membantu keamanan. Kamar kecil yang hanya dapat dihuni satu orang menjadi kamar Subiyanto. Lalu setiap hari, Riza diperintahkan ibunya untuk mengantar makanan pada Subiyanto. Mulailah Riza dekat dengan Subiyanto. Tak jarang mereka bercakap-cakap usai Riza mengantar makanan. Tak lama, Riza pun dapat belajar bersama Subiyanto. Ia selalu meminta Subiyanto untuk mengajarinya. Dengan diam-diam Kiai Syafaat pun merestui hubungan Riza dengan Subiyanto. Subiyanto mendapat perlakuan istimewa dari keluarga Syafaat. Bahkan Kyai Syafaat menurunkan ilmu penerawangan pada Subiyanto sehingga Subiyanto dapat melihat Subiarsih atau Ratna dari kamarnya di kala rindu melanda. Ia kian dipercayai Kiai Syafaat walau usia masih belia. Subiyanto memberi peran bagi perkembangan Fathaillah. Riza pun kian memberi perhatian pada Subiyanto. Harapan untuk bersanding dengan Subiyanto kian membumbung tinggi. Namun harapan itu tak sejalan dengan isi hati Subiyanto. Ia tetap setia pada Ratna. Ia tetap pulang ke Kalicilik di hari sabtu dan kembali ke Fathaillah senin siang seusai sekolah. Gubug di sawah menjadi tempat melepas rindu dari dua insan walau di sekolah mereka juga sering bertemu. Subiyanto menjaga Ratna bahkan ketika pulang sekolah Subiyanto rela mengantar Ratna hingga ke perbatasan antara Kalicilik dan Singorejo dengan berboncengan sepeda milik Ratna. Sesudah itu, ia kembali ke Fathahillah dengan saipi angin. Walau Riza selalu mendekat, Subiyanto tetap tak menanggapi upaya itu. Ia menghormati keluarga Kiai Syafaat dan merasa berhutang budi. Ia tak mau melampaui kehendak Allah dan tetap mensyukuri bila ia memperoleh ilmu agama dan diberi keistimewaan dari keluarga Kiai Syafaat. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang siswa Fatahillah. Hingga akhirnya ketika ia duduk di bangku 3 SMA, suatu peristiwa menjadi titik awal perubahan arah Hidup Subiyanto. Berawal dari kemenangan demi kemenangan dalam kejuaraan pencak silat hingga ia dipercayai untuk mengikuti kualifikasi pekan olahraga nasional cabang pencak silat mewakili Kabupaten Demak. Di final, ia didiskualifikasi panitia karena pesanan dari pihak tertentu. Ia dianggap melakukan pukulan mematikan ke arah bagian vital lawan. Hal itu memukul batin yang terdalam. Ia bukan hanya merasakan kegagalan namun ia merasa diperlakukan tidak adil. “Sudahlah kak. Janganbersedih! Kan masih ada aku.“ hibur Riza. “Ya dik.“ jawab Subiyanto singkat tanpa semangat. “Senyumlah kak! Kok cemberut begitu?“ kata Riza lagi. Subiyanto tak menjawab dan meminta Riza untuk pulang dengan alasan ia mau pulang ke Kalicilik. “Aku ikut kak. Aku ingin melihat Kalicilik.“ pinta Riza yang sebenarnya ingin terus berduaan dengan Subiyanto. “Jangan dik! Kalicilik itu desa. Jalannya saja belum diaspal. Lagi pula nanti kamu tinggal di mana?“ tolak Subiyanto. “Di rumah kakak!“ jawab Riza singkat dan cepat. “Hey, kita bukan muhrim lho. Aku tidak mau orang tua menyalahkan kita. Lagi pula agama melarang lho. Kita harus menjaga nama baik Fathaillah dan nama besar ayah mu sebagai agamawan.“ dalih Subiyanto memberi alasan kuat. Riza tak dapat lagi berkilah dengan alasan itu. Dengan berat hati, ia merelakan Subiyanto pulang ke Kalicilik. Ia memendam rasa sayang pada pujaan hatinya. Ia pun pergi dengan cepat ke rumahnya sedangkan Subiyanto segera bergegas pulang ke Kalicilik. “Biyanto gagal di pra PON.“ adu Subiyanto pada ibunya. “Ya sudah tak apa. Itu sudah takdir Allah.“ balas Subiarsih menghibur sambil membelai rambut Subiyanto. “Tapi Biyanto dicurangi. Tidak adil! “ kilah Subiyanto. “Jangan putus asa! Allah pasti memberikan sesuatu yang lebih baik.“ balas Subiarsih sambil menyuruh Subiyanto menjalankan tugasnya menggembalakan kambing. Subiyanto pun segera membawa kambingnya ke sawah sambil mengharap kehadiran Ratna di sisinya. “Mas Subiyanto tidak boleh bersedih kalau gagal. Aku tetap menganggap mas adalah lelaki yang hebat!“ hibur Ratna sambil menyandarkan kepala di pundak Subiyanto. Keduanya kian erat dan lekat. Gubug di sawah menjadi tempat melepas kerinduan dan memadu kasih. Walau pada awalnya mereka tetap menjaga kesucian hubungannya.
99+
21/08
0keren bisa jadi dana
14/08
0sangat bagus
02/08
0ดูทั้งหมด