Dalam gelapnya punden itu, ia meminta restu untuk menolong warga Mutih dari kemarau panjang yang menyengsarakan. Sapuan duduk bersila dengan tangan diletakkan di paha. Ia terus memanjatkan doa dan permohonan restu agar warga Mutih dijauhkan dari malapetaka. Suara binatang malam yang nyaring terdengar, tak dihiraukannya. Seluruh eksistensi dirinya dipusatkan pada semedinya. Ketika suara adzan subuh terdengar, Sapuan mengakhiri doanya lalu melangkah kembali ke rumahnya. Setelah wudhu, ia bersholat bersama keluarga. Sulastri, anak dan menantu ikut serta dalam sholat subuh berjamaah yang rutin dilakukan keluarga Sapuan. “Jaelani. Suruh istrimu untuk membangunkan Subiyanto lalu antar ia ke sini!“ perintah Sapuan pada lelakinya yang menjadi suami dari anak perempuannya Subiarsih seusai sholat berjamaah. “Ya Pak. Saya akan laksanakan.“ jawab Jaelani. Jaelani segera melangkah menuju rumahnya yang terletak di paling ujung kanan belakang berbatasan dengan persawahan. “Bangunkan Biyanto! Bapak memanggilnya.“ kata Jaelani pada istrinya yang sedang memasak air. “Ya mas. Ada apa kok bapak memanggil Biyanto?“ tanya Subiarsih. “Aku tak tahu tetapi sepertinya penting dan mau diajak melakukan sesuatu karena bapak memegang cemeti dan kendi.“ jawab Jaelani. Subiarsih segera melangkah menuju kamar anak laki-lakinya lalu menyibakkan tirai kain yang menjadi penutup pintu kamar anak-anaknya. Ia mendekati Subiyanto yang tidur bersama kedua saudara kandung. “Biyanto bangun nak. Mau diajak Mbah Sapuan.“ kata Subiarsih. Subiyanto yang masih berusia 6 tahun menggeliat dengan malasnya. Subiarsih mengulang kembali perkataannya. Ia menarik sarung yang menyelimuti tubuh Subiyanto. Lalu membelai kepala Subiyanto dan mengecup kening anak itu. Rasa sayang seorang ibu terlihat. Subiyanto segera membuka matanya lalu memandang ibunya. “Ibu.“ ucap Subiyanto. “Ayo bangun nak. Mau diajak Mbahmu.“ balas Subiarsih. “Mau diajak ke mana bu? “tanya Subiyanto diiringi dengan bangkit dari peraduannya. “Ibu tidak tahu. Ayo cepat mandi! Sudah ditunggu mbah mu di mushola.“ jawab Subiarsih. Subiyanto segera turun pergi ke sumur. Ia mendapat pelukan ibunya sejenak lalu melangkah menuju sumur yang biasa dipakai untuk mandi dan mencuci baju. Ia membersihkan diri dengan air sumur di pagi itu kala matahari belum menampakkan dirinya. Setelah mendapat sarapan dari ibu dengan singkong rebus dan segelas air hangat. Subiyanto diantar Jaelani menuju ke mushola. Sapuan yang masih duduk bersila segera membalikkan badan ketika Jaelani dan Subiyanto masih berjalan di halaman rumah. Ia berdiri dan melangkah ke luar mushola. “Ini Biyanto pak!“ kata Jaelani. “Kamu pulang dan nanti siang Biyanto ku antar ke rumah mu.“ balas Sapuan. “Ya pak.“ sahut Jaelani lalu pergi meninggalkan Sapuan dan Subiyanto. “Biyanto! Cakra dalam diri mu memang lebih kuat dibandingkan semua cucu ku. Maka kamu harus membantu kakek.“ kata Sapuan pada Subiyanto yang berdiri di hadapannya. Subiyanto yang belum memahami perkataan itu hanya menganggukkan kepala. “Mbah! Biyanto patuh pada semua yang diminta dan disuruh Mbah.“kata Subiyanto. “Ayo ikut Mbah!“ ajak Sapuan lalu menggandeng Subiyanto berjalan menuju persawahan desa yang kering-kerontang dan tak sebatang tanaman padi tumbuh di sana. Mereka berjalan menuju persawahan yang terletak di belakang tempat tinggalnya. Subiyanto memegang kendi di tangan kanannya sedangkan Sapuan memegang cemeti di tangan kirinya. Mereka menuju ke tengah areal persawahan itu. Sapuan berjalan di depan Subiyanto ketika Melewati galengan persawahan. Galengan berasal dari Bahasa Jawa yang sinonim dengan kata pematang-sawah. Tak ada kata terucap. Keduanya melangkah dengan cepat. Sapuan mengimbangi langkah kaki cucunya yang pendek sehingga Subiyanto selalu membuntutinya. Matahari yang sudah meninggi menjadi saksi peristiwa ini. Kala mereka sudah berada di tengah areal persawahan, Sapuan menyuruh Subiyanto berdiri dan diam menunggu perintah. Sapuan segera melangkah beberapa langkah. Lalu cemeti digenggamnya. Tangan kanannya mengarah ke atas usai mengucap bismillah. Sedangkan tangan kirinya menyilang di dada. Tak Lama kaki kanan diangkat ke depan, dan dalam sekali ayun, tubuh berputar beberapa kali lalu berdiri dengan sikap seperti semula. Ketika Angin mulai bertiup, ia mengulang gerakan itu beberapa kali hingga angin makin bertiup kencang. “Biyanto ke sini!“ seru Sapuan. Tanpa banyak kata, Subiyanto melangkah menuju ke arah kakeknya. “Naik ke bahu punggung kakek!“ perintah Sapuan pada Subiyanto. Sapuan berjongkok dan Subiyanto segera naik di bahu kakeknya. Setelah Subiyanto duduk di bahu kakeknya. Tangan kanannya memegang kendi dengan erat sedangkan tangan kirinya memegang kerah baju kakeknya. Angin yang bertiup mengencang menerpa tubuh mereka. Lalu dari mulut Sapuan terucap, “Hu Hak Hakagal buana Yahu Yahu Yahu Laillahhaillah Allahu Akbar.“ Cemeti segera diraihnya dari pinggangnya lalu dilecutkan di udara hingga menimbulkan suara keras seperti ledakan petasan. Ia mengulang hingga 2 kali hingga tiba-tiba langit menjadi berawan gelap di pagi itu. Mendung segera menyelimuti langit Mutih. Ia mengulang sekali lagi sehingga kilat berpijar di awan-awan yang kian gelap. “Biyanto! Tuangkan air di kendi ke tanah.“ perintah Sapuan. Subiyanto segera melaksanakan perintah kakeknya. Dengan tangan kiri yang memegang kerah baju kakeknya. Ia menuangkan air dari dalam kendi yang dipegang dengan tangan kanannya. Ketika air dalam kendi menerpa tanah, kilat menyambar dan guntur menggelegar di angkasa. Mendung yang kian gelap mengindikasikan kehadiran hujan di persada Mutih meski musim kemarau melanda. Sapuan segera meninggalkan areal persawahan. Subiyanto yang berada dibahunya tak diturunkan. Dengan Saipi-angin, ia bergerak menuju rumahnya. Dalam sekejap, ia dan Subiyanto sudah berada di mushola. Tak lama hujan deras turun ke persada Mutih. Curahan air yang deras membasahi Mutih. Warga Mutih segera menyambut dengan syukur turunnya hujan di pagi itu. Sebagian menampung air hujan dalam ember untuk dipergunakan bagi kebutuhan air bersih sehari- hari. Dalam mushola, Sapuan menurunkan Subiyanto dari bahunya. Dengan bersila Sapuan berkata,“Mengko yen tekan jaman ne.Tak titipke kabeh neng kowe.“ -Nanti saatnya akan tiba, semua ilmu yang ku miliki akan diberikan padamu. Subiyanto yang juga duduk bersila di hadapan kakeknya, hanya mengangguk walau tak memahami semua yang dikatakan kakeknya. Segala sesuatunya hanya terekam dalam memorinya. Hujan deras turun hingga sepanjang hari. Subiyanto menemani kakeknya diteras rumah hingga menjelang maghrib. Mereka berdua hanya memandang air hujan yang membasahi bumi Mutih. Terkadang ia pergi ke belakang menemani Sulastri yang memasak didapur. Makanan sederhana diolah sang nenek. Singkong yang direbus, ikan asin yang di goreng dan beras yang ditanak. Subiyanto ikut menikmati makanan itu bersama kakeknya di teras rumah. Tiga tahun kemudian sejak peristiwa, di sore hari yang cerah Jaelani dan Subarsih duduk di hadapan Sapuan di teras rumah. “Di antara semua anak-anak mu dan cucu-cucu ku, Biyanto yang sanggup mewarisi kekuatan ku.“ kata Sapuan kepada suami-istri itu. “Kalian sudah dibekali dengan ajaran agama. Maka Biyanto juga harus dibekali dengan ajaran agama.“ pesan Sapuan pada Jaelani. “Saya akan akan laksanakan pak.“ jawab Jaelani. “Dan kamu Subiarsih, apa saja yang pernah ku ajarkan pada padamu harus kamu turunkan kepada Biyanto“ lanjut Sapuan. “Ya pak. Saya tidak akan melalaikannya.“ jawab Subiarsih. “Bawalah anak-anak mu pergi dari tempat ini ketika waktunya tiba! Bawalah ini sebagai bekalnya!“ lanjut Sapuan. Semua itu disampaikan Sapuan kepada Jaelani dan Subiarsih sebagai sebuah pertanda. Kekuatan fisik Sapuan memang kian menurun karena usia. Ia menyadari bahwa anak-anak laki-lakinya akan bertarung demi memperoleh kekayaan dari rumah dan tanahnya. Beberapa bulan kemudian perkiraan Sapuan menjadi kenyataan kala ia menghembuskan nafas terakhir di peraduannya pada usia yang lanjut. Banyak warga Mutih yang merasa kehilangan sosok laki-laki yang sangat mempedulikan orang lain. Hampir semua warga Mutih pernah merasakan ketulusan dan kebaikan hatinya. Wafatnya Sapuan diantar sebagian besar warga Mutih ketika jasadnya dibawa ke peristirahatan yang terakhir. Di tengah kepedihan Sulastri, anak-anak perempuan dan warga Mutih, keempat anak lelakinya justru menodai dengan mempersoalkan tanah yang menjadi tempat tinggal Sapuan semasa hidup. Sehari setelah pemakaman Sapuan, Jaelani dan Subarsih didatangi dua kakak lelakinya. Mereka menyatakan bahwa Sapuan sudah mewariskan rumah beserta tanahnya kepada mereka sehingga Jaelani dan Subiarsih diminta untuk bersiap meninggalkan rumah yang dibangun dari hasil jerih lelah Jaelani dalam bekerja sebagai tukang bangunan di Semarang. Mereka meminta Jaelani dan Subiarsih meninggalkan tempat itu. Hal yang serupa juga dilakukan dua kakak laki-lakinya kepada adik perempuan Subiarsih. Sapuan adalah orang yang dapat membaca gelagat. Ia memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Kedua anak perempuannya menerima seluruh warisan yang berwujud perhiasan dan uang. Ia sudah memberikan beberapa bulan sebelum ia berpulang. Maka desakan kakak lelakinya itu ditanggapi kedua putri Sapuan dengan meninggalkan Mutih. Dengan berbekal tabungan dan warisan Sapuan, Jaelani mencari tempat tinggal yang baru. Ia sempat pergi ke berbagai tempat seperti Jungsemi, Bungo, dan Jetak. Namun akhirnya ia menemukan sebidang tanah di Kalicilik dengan harga terjangkau. Desa yang berjarak 3 km dari kota Demak menjadi pilihan agar Jaelani dapat pergi dan pulang dengan mudah bila usai bekerja di Semarang. Tepat di bulan April 1979, Jaelani memboyong keluarganya ke Kalicilik bersama Sulastri yang tidak bersedia tinggal bersama anak lelakinya.
99+
21/08
0keren bisa jadi dana
14/08
0sangat bagus
02/08
0ดูทั้งหมด