logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Dia Yang Selalu Setia

   Eiliyah POV
Aku menatap wajah Annisa lekat dengan mata yang nanar. Tak bisa kubayangkan betapa pengalaman menyakitkan itu menjadi trauma yang begitu melukainya hingga saat ini. Kulihat sahabatku itu telah menumpahkan air matanya bagaikan air bah yang mengalir dan tak dapat dibendung lagi.
Akupun juga ikut menangis, sebagai sesama wanita aku bisa mengerti betapa terlukanya dia dengan semua tragedi yang menimpanya, namun aku tahu aku tidak akan pernah benar-benar memahami seberapa dalam dan besar luka yang tersisa di hatinya itu. Ku usap air mata yang mengalir di pipinya perlahan dengan penuh kelembutan. Aku berharap setidaknya gestur sederhana itu bisa sediki membuktikan eksistensiku di sisinya yang ingin mendukung dan menemaninya.
"ternyata lelaki itu adalah seorang atheis yang memiliki islampobia Eil, dia sengaja mempermainkan perasaanku dan berusaha membuatku mempercayainya hanya untuk menghancurkanku hingga berkeping-keping!" nada suara Annisa mulai meninggi, aku hanya diam mendengarkannya.
" dipertemuan pertama kita lo pernah nyinggung apakah gue ga malu ngelepas jilbab gue?! Malu! Rasa malu itu udah hilang Eil. Apa gunanya gue nyimpan rasa malu itu saat gue udah ga ada harga dirinya!" Annisa mengubah cara bicaranya dengan bahasa yang lebih kasar seolah untuk mengekspresikan rasa marah dan frustrasi yang selama ini dia pendam.
Aku tetap terdiam tak yakin jika apapun yang akan aku katakan mampu membuatnya merasa lebih baik. Aku takut ucapanku malah membuatnya merasa terhakimi dan menarik dirinya dariku. Aku khawatir salah kata yang aku pilih bisa membuat sahabatku itu terpuruk ke dalam jurang yang lebih dalam lagi.
" Lo ga akan ngerti Eil gimana sulitnya mempertahankan aqidah lo disini! Lo ga ngerti gimana masyarakat sini memandang kerudung lo dengan jijik!" Annisa berteriak kepadaku setelah sebelumnya aku pernah menyinggung penampilannya yang tidak sesuai dengan identitasnya sebagai muslimah di pertemuan awal kami.
Annisa sahabatku tak lagi sholehah seperti dulu. Aku menghela nafas dalam menyadari semua itu, dadaku terasa sesak saat memahami alasan dibalik perubahannya menjadi wanita "nakal" seperti saat ini. Mungkin saja Annisa merasa telah hilang harapannya dengan semua kejadian yang telah menimpanya. Mungkin saja dia merasa terlalu kotor dan merasa munafik jika harus selalu mempertahankan jilbabnya sementara dia telah kehilangan kesuciannya sebagai seorang wanita dengan cara yang sangat menyedihkan dan menjijikan. Namun ada satu pertanyaan yang sejak tadi ingin aku tanyakan kepadanya.
"apakah kepercayaan tentang keberadaan Allah pun ikut menghilang setelah tragedi yang menimpamu ini An?" tanya ku pelan dengan penuh kehati-hatian.
Aku sungguh tidak ingin menambah luka dihatinya ataupun menyinggungnya. Dia begitu rapuh. Annisa memandangku dengan matanya yang sembab sambil membuka tutup bibirnya tanpa mampu mengutarakan satu katapun. Aku menunggunya dengan sabar saat wanita itu akhirnya menundukkan kepalanya dan menatap lantai dihadapannya dengan pandangan nanar.
"Allah ga adil Eil.... Allah ga adil.... Kenapa Dia ngebiarin gue ngalamin semua penderitaan pahit ini?! Apa salah gue Eil?? Gue selalu ngejaga penampilan gue tapi kenapa gue malah di rudapaksa oleh para binatang itu? Dimana Allah saat semua itu terjadi?!" Suaranya bergetar dan kalimatnya terbata-bata diantara isakan tangisnya yang kembali terpecah.
Aku mengelus rambut Annisa dengan lembut kemudian beralih mengelus lengannya pelan.
" Allah selalu punya alasan yang baik dalam menentukan takdir seorang hambaNya An... Mungkin segala hal terasa begitu pahit untuk kita terima namun berprasangka baiklah kepadaNya. Bukankah Allah selalu sesuai dengan prasangka hambaNya...?" ucapku hati-hati. Annisa menggelengkan kepalanya dan menutup rapat matanya, dia membiarkan aliran air mata kembali membasahi pipinya.
"..... Semuanya sudah terlambat Eil, aku sudah melangkah terlalu jauh... Tidak ada jalan lagi bagiku untuk kembali...." ucap Annisa dengan bahasa yang mulai melembut.
Suaranya terdengar begitu pahit dan penuh dengan penderitaan. Aku tersenyum mendengar ucapannya, aku merasa ada penyesalan yang tersirat dari kalimat itu, jauh di lubuk hatinya Annisa merindukan kedekatannya dengan sang pencipta. Dia merindukan kehadiran kekasih sejatinya dalam setiap helaan nafas dan detak jantungnya.
"An, Allah adalah Dzat yang paling setia menunggu... Dia sang Maha Rahman dan Rahim... Dia memiliki sifat Al Ghofur... Allah tidak akan pernah meninggalkan hambaNya meskipun hanya sedetik saja, selama kau belum sampai di ujung nafasmu, Allah selalu ada, di tempat yang sama.... Menunggu taubatmu.... " ucapku mengenggam kedua tangan Annisa dengan erat. Dia mengangkat wajahnya dan memandang wajahku dengan pilu.
" Apakah Allah masih mau menerimaku kembali yang sudah terlanjur kotor ini Eil? " tanyanya dengan penuh kesedihan. Dari ekspresinya itu aku tahu, sebenarnya Annisa sungguh merindukan kehadiran iman dan taqwa di dalam hatinya. Aku tersenyum, mataku kembali berkaca-kaca.
"Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang yang menyucikan diri." aku menyebutkan terjemahan dari Q.S. Al-Baqarah ayat 222 sambil mengukir senyumanku.
"Dari Abu Hamzah yaitu Anas Ibn Malik al-Anshari ra. pelayan Rasulullah saw. berkata: Rasulullah saw. bersabda: "Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya dari gembiranya seseorang dari kalian yang menemukan untanya yang telah hilang di gurun sahara." kali ini aku menyebutkan hadits Muttafaqun Alaih untuk lebih meyakinkan sahabatku bahwa pintu taubat Allah selalu terbuka untuk siapapun yang ingin kembali kepadanya. Annisa mulai nampak sedikit tenang, dia menampakkan perasaan yang bercampur haru atas kemurahan hati Allah dan juga penyelasan atas semua kesalahannya.
"Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Kau masih memiliki kesempatan An, selalu.... " lanjutku dengan menyebutkan terjemahan dari QS. Az Zumar ayat 53-54.
Kali ini aku kembali menangis membayangkan keluasan kasih sayang Allah yang tidak ada habis dan putusnya kepada hamba-hambaNya. Kerinduan kepadaNya pun mulai membuncah dan dadaku juga ikut terasa sesak saat aku mengingat setiap dosa yang pernah aku perbuatan.
Tidak peduli seberapa jauh kita telah melangkah dariNya, Allah akan selalu ada untuk kita. Bahkan Dia akan membentangkan tangannya di malam hari untuk menerima taubat hambaNya yang berbuat dosa di siang hari dan membentangkan tanganNya di siang hari untuk menunggu taubat hambaNya yang bermaksiat di malam hari. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?
©®
Annisa POV
Mendengar semua ucapan Eiliyah membuatku tak mampu lagi menahan buncahan kerinduan, cinta, penyesalan dan rasa takut yang menyatu di dalam dada. Semuanya telah tumpah ruah dalam bentuk air mataku yang mengalir dengan deras. Kulihat sahabatku itu juga ikut menangis setiap kali mengucapkan untaian surat cinta yang romantis dariNya kepada kami hambaNya.
Nyatanya mungkin Allah memang menginginkanku untuk kembali ke dalam jalanNya. Aku yakin Dia masih begitu menyayangiku. Eiliyah adalah salah satu bukti cinta yang dikirimkanNya untukku agar aku kembali merasakan kasih sayangNya yang tidak terbatas. Aku sangat bersyukur karena Allah masih mempertemukanku kembali dengan saudari seimanku ini. Eiliyah memelukku sekali lagi sambil membisikan kalimat terakhir sebelum meninggalkanku sendirian.
"Cobalah untuk memikirkannya lebih dalam An, aku yakin Allah tidak pernah pergi dan masih setia tinggal di dalam hatimu. Temukanlah dia kembali disana, maka kau akan menemukan kebahagiaanmu yang sejati...." ucapnya kemudian mengecup keningku lembut dan berjalan keluar dari kamarku.
©®
Pukul 03.00 a.m, Eiliyah terbangun dari tidurnya dan langsung menuju ke arah kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Percakapannya dengan Annisa membuat wanita itu juga ingin bercengkerama mesra dengan kekasihnya di keheningan malam. Dia ingin mengungkapkan semua kegundahan, kegelisahan, rasa bahagia serta syukurnya kepada sang pemilik kehidupan yang masih memberikannya kesempatan untuk membuka matanya kembali dan menikmati kasih sayangNya pagi itu.
Eiliyah segera mendirikan shalat malam dengan khusyuk sambil membayangkan bahwa Sang Kekasih benar-benar berada di hadapannya. Seperti yang diucapkan olehNya pada bagian sepertiga malam terakhir, Allah akan turun ke langit Bumi dan mengabulkan setiap permintaan hambaNya. Saat itulah Dia berada di posisi yang paling dekat dengan hambaNya.
Setelah menyelesaikan sholat malamnya, Eiliyah keluar dari kamar dan menuju dapur untuk mengambil segelas air minum. Secara samar dia mendengar suara yang berasal dari kamar Annisa. Eiliyah mendekat dan mampu mendengarkan suara lantunan ayat suci Al Qur'an yang dikumandangkan oleh suara merdu sahabatnya di antara isakan tangis yang tak terhentikan.
Sudah lama sekali wanita itu tidak mendengar suara Annisa yang sedang mengaji, betapa bahagianya dia saat mengetahui semua itu. Eiliyah mencoba mendengarkan bacaan Annisa dengan lebih seksama untuk mengetahui surat apa yang dibaca oleh sahabatnya itu.
Annisa sedang membaca surat Ar-Rahman, nampaknya wanita itu ingin mengingat kembali setiap kenikmatan dan kasih sayang Allah yang luas melebihi sedikit penderitaan dan cobaan yang menimpa hidupnya. Memang benar, hal-hal yang membuat kita menderita sejatinya hanyalah bagaikan setetes air diantara luasnya samudera.
Suara Annisa semakin bergetar dan terhenti karena isakannya setiap kali dia kembali membaca ayat yang sama. Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban??
Eiliyah pun ikut menangis dalam haru mendengarkan tangisan Annisa. Sahabatnya itu telah kembali ke jalan yang benar. Mereka berdua akhirnya menghabiskan waktu mereka menunggu subuh sambil bertilawah Al-Qur'an. Mengawali pagi hari mereka dengan penuh keberkahan.
Adzan subuh akhirnya berkumandang, Annisa mengetuk pintu kamar Eiliyah dan mengajak sahabatnya untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Keduanya saling berpelukan setelah melaksanakan ritual sholat subuh itu. Annisa nampak begitu cantik dan mempesona dalam balutan mukenah yang dikenakannya.
Setelah melaksanakan sholat, Eiliyah membuka tirai di kamarnya dan ingin membuka jendela, dia ingin merasakan udara segar agar masuk ke dalam kamarnya. Dia membuka lebar jendelanya dan menghirup udara pagi kota itu dengan perlahan. Senyuman manis nampak mendarat di bibirnya dan membuat wanita itu nampak lebih cantik.
Langit masih nampak cukup gelap karena matahari belum terbit seutuhnya. Eiliyah memandang sekeliling kota kemudian mengalihkan pandangannya ke arah jalan trotoar di bawah apartemen. Jalan itu nampak sepi dari lalu lalang manusia, namun ada satu sosok laki-laki yang sedang berdiri tepat di depan apartemen mereka.
Lelaki itu adalah satu-satunya manusia yang nampak di jalanan yang sepi itu. Dia menyadari gerakan dari jendela Eiliyah dan mengalihkan pandangannya kepada wanita itu. Mata mereka saling bertemu.
Eiliyah langsung melebarkan pupil matanya saat melihat wajah lelaki itu. Wajah yang sama sekali tidak asing. Dia telah berkali-kali melihat wajah lelaki itu kemanapun dia pergi. Lelaki yang sama yang dia tabrak di hari pertamanya di kampus. Lelaki yang dia lihat di sore hari kemarin saat dia melarikan diri dari apartemen. Dan sekarang di pagi buta itu, dia kembali melihat lelaki yang sama sedang berdiri di depan apartemennya dan mengawasi setiap gerak-geriknya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (131)

  • avatar
    OctaEldo

    senang

    15d

      0
  • avatar
    LestariAyu

    cerita nya sangat bagus sekali

    10/08

      0
  • avatar
    TansaniLia

    kerennn bagus ceritanya menarik

    23/04

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด