logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 3

Kadang, aku lebih suka menjadi orang lain daripada diriku sendiri. Karena apa? Saat menjadi orang lain aku lebih dihargai daripada saat menjadi diriku sendiri.
***
Rasa asing masih menghantui Arman. Ya, sekarang ini dia sedang di kampus saudara kembarnya−Arba. Seketika ada seorang yang menghampirinya, dia duduk di sebelah Arman.
"Bro,"sapa orang itu. Dia adalah teman Arba bernama Julian, dia adalah teman dekat Arba. Mereka sudah berteman dari awal masuk kuliah.
"Ada apa?" Arman membalas ucapan Julian dengan gugup karena dia belum terbiasa.
"Nggak apa. Lo dari tadi ngapain diem aja? Ada masalah? tanya Julian. Jujur dia merasa aneh dengan sikap temannya beberapa minggu ini. Maka dari itu, Julian memastikan apa yang terjadi dengan temannya yang tak biasanya bersikap diam saja. Biasanya Arba bersikap solid dan tidak pernah diam seperti seribu bahasa.
Arman hanya menggeleng,"Gue nggak apa.
"Yakin?" Arman langsung mengangguk cepat.
Tak berselang lama, dosen pun datang. Dia mengintruksikan bahwa hari ini ada kuis dadakan, rasa takut kembali menghantui Arman, dia hanya takut kalau dia menghancurkan nilai saudaranya.
Bagaimana ini?
"Ambil soal dan kerjakan di selembar kertas, " ucap sang Dosen. Beliau adalah Pak Nuris, dia adalah dosen mata kuliah Pengantar Teknologi Infomasi.
Seketika satu persatu mahasiswa yang ada di kelas maju ke depan untuk mengambil soal dan mereka mulai mengerjakan kuis.
Arman bingung bukan main melihat soal kuis yang di berikan, dia sesekali menggelengkan kepalanya, dan di lain sisi dia tak tahu harus menjawab apa dari soal tersebut.
Sial
"Ba, lo belum ngerjain sama sekali?" tanya Julian yang sedari tadi memperhatikan Arba yang hanya diam tak mengerjakan.
"Belum, gue baru pusing, susah mikirnya!" celetuk Arman.
"Ya udah, lo lihat jawaban gue saja," Julian menyodorkan jawabannya ke Arman. Arman masih diam, dia merasa tak enak hati pada teman Arba.
"Beneran nggak apa?" tanya Arman, masih merasa tak enak hati.
"Iya. Lo kayak sama siapa aja," jawab Julian tersenyum sambil menepuk bahu Arman.
Dengan cepat Arman segera menyalin jawaban Julian ke lembar jawabnya. Tak berselang lama, Arman sudah selesai menyain semua jawaban.
"Thanks udah bantuin gue." Arman merangkul bahu Julian erat. "Gue nggak tahu kalau nggak ada lo."
"Sama-sama. Mana kertas jawaban lo, gue kumpulin sekalian." Julian mengambil kertas jawaban itu dan mengumpulkannya di meja dosen lalu kembali ke mejanya.
"Waktu sudah habis, silakan kumpulkan," perintah Pak Nuris.
Dengan segera mereka mengumpulkannya. Setelah semua sudah mengumpulkan kertas kuis, Pak Nuris meninggalkan ruangan.
"Habis ini makan, yuk?" ajak Julian pada Arman. Cowok itu hanya mengangguk dan mereka meninggalkan kelas sambil menggendong tas mereka masing-masing.
Tak berselang lama, mereka berdua sudah sampai kantin dan mereka memesan makanan. Seusai memesan makanan, mereka duduk di tempat yang kosong. Sambil menunggu pesanan keduanya berbincang-bincang akrab.
"Gue traktir lo, ya?" Arman tersenyum, hitung-hitung untuk utang budi karena Julian telah memberikan jawaban kuisya padanya tadi. Arman tidak habis pikir bagaimana jadinya kalau tadi tidak ada Julian, tamatlah riwayatnya.
"Kebeneran, nih." Julian tertawa lepas. "Ulang tahun lo, ya?"
Arman menggeleng, "Nggak, sebagai rasa terima kasih karena lo udah bantuin gue."
"Santai aja, lo kan juga sering ngasih jawaban ke gue."
Akhirnya makanan pesanan mereka datang, dengan segera mereka melahapnya. Seusai selesai makan, mereka membayar dan melangkahkan kaki ke kelas berikutnya. Keyakinan Arman pudar, dia melihat jadwal kuliah yang ada di ponselnya.
"Lo lihat apa, Ba?" tanya Julian.
"Jadwal. Gue lupa habis ini mata kuliah apa," balas Arman masih menatap layar ponselnya.
"Otak lo lagi bermasalah kayaknya, masak jadwal kuliah aja lupa!" Julian tertawa sambil menepuk bahu Arman. Cowok itu heran tak biasanya Arba pelupa seperti ini. Biasanya malah Arba yang selalu mengingatkannya.
"Namanya juga manusia, bisa lupa,"jawab Arman enteng bermaksud untuk menutupi apa yang sedang terjadi semuanya. Apapun akan dia lakukan supaya misinya dengan Arba tak akan ketahuan siapapun.
"Bener juga," Julian akhirnya mengiyakan perkataan temannya itu.
***
Sore itu Arba dan Arman sedang bercengkrama di ruang tamu. Mereka mmebicarakan kisah masing-masing di kampus yang sekarang mereka tempati.
"Lo tahu nggak, tadi ada kuis dadakan!" seru Arman membuat Arba nyengir kuda.
"Terus?" Arba masih menanggapi dengan tertawa.
"Untung ada teman lo si Julian, kalau nggak mampus gue!" Arman sesekali menggelengkan kepalanya. Hari ini memang hari yang entah dia harus bilang ini hari sialnya atau hari keberuntungannya.
"Julian tahu semuanya?" Arba menanggapi jawaban saudara kembarnya dengan sedikit kaget.
"Nggak. Maksud gue dia mau nyontekin jawabannya ke gue," kata Arman sambil menghela napas lega.
"Dia nggak curiga?" Arba berbalik bertanya.
Arman menggeleng.
"Bagus, deh!" ucap Arba. Hampir saja dia berpikir misinya dengan Arman akan ketahuan, ternyata tidak. Memang keduanya harus memikirkan strategi supaya misinya tidak terendus oleh siapapun.
"Kalian sudah pulang?" Bu Juli menghampiri kedua anaknya.
"Udah, Bu," balas Arman. "Bu, Arman lapar!" Arman berkata to the point seperti anak kecil yang kelaparan.
"Makan aja pikiran lo," sahut Arba. Mengetahui saudara kembarnya meledeknya, Arman langsung menjitak kepala saudara kembarnya.
"Biarin, bilang aja lo juga lapar, kan?" tebak Arman.
"Tahu aja lo." Arba terkekeh.
"Ibu ambilkan. Udah jangan ribut-ribut." Bu Juli melangkahkan kaki ke dapur untuk mengmbil makanan dan kembali ke ruang tamu sambil membawakan dua piring untuk anak kembarnya.
"Ini ibu ambilkan, kalian makan, ya?" Bu Juli menyodorkan piring untuk keduanya yang langsung diterima Arba dan Arman.
"Terima kasih, Bu," kata Arman dan Arba serempak.
Bu Juli mengangguk.
Arman dan Arba melahap makanan dan setelah selesai mereka pergi ke dapur untuk mencuci piring. Tugas kali ini yang mencuci piring adalah Arman. Mereka selalu bergantian membantu pekerjaan rumah, hitung-hitung membantu pekerjaan rumah ibunya. Siapa lagi kalau bukan mereka? Ayah mereka sudah lama meninggal, 5 tahun yang lalu. Kadang mereka sangat merindukan sosok seorang ayah dalam kehidupan mereka. Takdir berkata lain, ayah mereka harus pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya karena sakit keras yang dideritanya.
"Udah selesai nih cuci piringnya," kata Arman seusai mencuci piring.
Arba menarik tangan Arman keluar dapur dan mereka menuju ruang tamu. Terlihat ibu mereka sedang meracik sayur-sayuran untuk memasak. Rasa iba mulai hadir dalam benak mereka.
"Bu, apa Arman berhenti kuliah aja?" Arman berkata demikian, membuat ibunya tak habis pikir.
"Kenapa tiba-tiba kamu bilang seperti itu, Nak?" tanya Bu Juli pada Arman.
"Arman mau bantuin ibu cari uang," Arman menghampiri ibunya dan meneglus bahu ibunya. Dia benar-benar tidak tega melihat ibunya yang setiap hari harus banting tulang berjualan di pasar demi membiayai kuliahnya dan Arba.
"Nggak, ibu tidak setuju! Pokoknya kalian berdua harus tetap kuliah. Lagi pula peninggalan ayah kalian masih cukup untuk membiayai keluarga kita. Ingat pesan ayah kalian, kalian harus jadi orang sukses. Kalau kalian berhenti kuliah sama saja kalian tidak menjalankan amanat dari ayah," jelas Bu Juli berusaha memberikan pengertian kepada dua anaknya. Ibu Juli hanya ingin anaknya menjadi orang yang sukses dan berguna bagi bangsa.
Arman dan Arba mengangguk sebagai tanda patuh pada ibunya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (210)

  • avatar
    Leni Meidola Putri

    cerita nya sangat menarik

    28/05/2022

      0
  • avatar
    channelBASRI PUTRA

    semangat dan semoga ke depannya akan ada terus cerita cerita yang lebih menarik.!!!

    22/12/2021

      0
  • avatar
    JuniantoRizki

    bgs

    22d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด