logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

04. Hari yang buruk

Malam sudah datang, Assyifa harus pulang dengan keadaan shock berat dan mengalami kejang-kejang karena ibunya ditemukan meninggal dunia dan adiknya menghilang, ternyata tidak hanya si kembar yang diincar tapi ibu mereka juga.
Ibu nya meninggal dirumah dengan keadaan kepala yang putus serta banyaknya luka bacokan ditubuhnya, sementara adiknya tidak ditemukan sama sekali alias menghilang, para pembunuh sudah ditangkap polisi setempat dan mereka akan segera dibawa ke pengadilan.
"A-ayah... A-ak-aku i-ingin menyusul ibu dan H-hikari..." Ujar Assyifa terbata-bata.
Ayahnya tengah menangis disampingnya, melihat sang putri satu-satunya sekarang berbaring dengan tubuhnya terus mengalami kejang-kejang setiap beberapa jam.
Istri dan anaknya yang lain sudah dinyatakan telah terbunuh oleh para pembunuh itu, namun mayat dari Hikari tidak kunjung ditemukan. Para pembunuh bilang kalau Hikari melompat kedalam sebuah sumur dekat rumah mereka tinggal. Tapi saat diperiksa hanya ada air saja didalam sana.
"Maafkan ayah, maafkan ayah..." Ujar sang ayah sembari mengelus punggung tangan anaknya.
Benar-benar pemandangan yang mengerikan bahwa kamu harus menerima dua kematian orang yang kamu sayang sekaligus dan anakmu mengalami kejang-kejang seperti ini diwaktu yang bersamaan, ini benar-benar seperti kejutan.
"Hi-hikari... I-ibu..." Panggil Assyifa.
Tubuhnya tidak berhenti gemetar, alat bantu bernafas juga sudah dipasang. Herman, nama ayahnya sangat terpukul dengan apa yang terjadi hari ini, dia menyesal meninggalkan istri dan dua anaknya sendiri.
"Nak, habis ini tetaplah bersama ayah." Kata ayahnya. Suaranya bergetar, dia sudah tak kuasa lagi menahan tangisnya. Tidak ada respon selain Assyifa yang terus meracau nama keluarganya, "A-ayah..." Panggilnya kesekian kali.
"Iya kenapa sayang? Ayah disini..." Kata Herman pada putrinya.
"A-ayah.. ibu..." Racaunya lagi.
Nafasnya tersengal-sengal kembali karena mengalami serangan panik saat ada seseorang yang masuk kedalam ruangan, Assyifa memiliki trauma terhadap laki-laki asing saat ini, karena mengalami trauma berat terhadap para pembunuh yang mengincarnya.
Matanya ditutup sapu tangan biru milik ayahnya, agar tidak panik "Tunggu sebentar, ayah pergi bicara dengan rekan ayah dulu." Katanya.
Herman keluar ruang rawat putrinya, berbicara dengan rekannya soal keadaan mayat istrinya dan apa saja yang sudah dilakukan oleh para pembunuh itu. "Mereka melakukannya seperti sudah direncanakan sebelumnya, Herman." Ujar sang rekan, Edi Hidayat.
Edi Hidayat adalah seorang Detektif dan teman seangkatan dari ayah Assyifa sendiri, mereka berteman dan saling membantu satu sama lain sejak SMP. Kali ini Herman memakai jasa dari Edi untuk mencaritahu siapa sebenarnya pelaku dari semua ini.
Herman mengangguk paham, "kamu sudah temukan siapa yang menyuruh mereka?" Tanya Herman.
Secarik kertas berisi foto tersangka diberikan pada Herman, Edi berkata, "Saya melihat ada dua tersangka yang menjadi dalang dalam pembunuhan ini, mereka orang yang menjadi musuh bisnis kamu, Herman."
Baru saja Herman ingin meledak karena amarah, dia mendengar suara kasur yang bergesekan dan teriakan anaknya. Panik, beliau segera masuk kembali bersama beberapa perawat yang juga mendengar suara gaduh tersebut, "Bapak tolong keluar sebentar pak." Ujar sang perawat.
"Dia anak saya! Saya harus jagain dia!" Seru Herman.
"Iya saya paham, tapi keadaan anak bapak tengah memburuk. Tolong serahkan ini pada pihak rumah sakit ya pak." Kata perawat. Pintu ditutup dan perawat itu mencoba menangani pasien bersama dokter yang buru-buru datang.
Edi mengelus punggung temannya, "Herman, serahkan ini pada yang maha kuasa." Kata Edi menenangkan.
Mau tidak mau dia menyerahkannya pada tuhan, anaknya mengalami kejang-kejang yang membuatnya kesusahan bernafas, kendali akan tubuhnya juga buruk. Hanya tuhan yang bisa menyembuhkan keadaan anaknya saat ini, setelah ini dia akan menjaga anaknya sebaik mungkin.
Jika saja waktu bisa diulang dia tidak akan meninggalkan anak-anaknya hari itu, jika saja waktu bisa diulang dia tidak akan menolak kerja sama dari perusahaan musuhnya saat ini. Tapi itu 'jika saja', kita berada dikenyataan yang hanya bisa berandai, tidak ada kata 'jika saja' disini.
"Adili mereka sekarang juga!" Seru Herman.
Amarahnya membara seperti si jago merah, tangan mengepal kuat serta urat yang mencuat dipipi dan lengan membuat aura disekitarnya berat. Edi tidak bisa melawan, dia hanya ditugaskan untuk mencari bukti dan mengurus saksi mata ditempat kejadian.
Selebihnya Herman yang akan mengurusnya sendiri.
Pengadilan para pembunuh berlangsung beberapa hari dengan hukuman mati sebagai hasilnya, Herman hanya bisa mengurus pembunuhnya karena dia tidak memiliki bukti yang cukup kalau musuh dari perusahaannya dalang dari pembantaian keluarganya.
Dia masih tidak tenang, karena itu penjagaan ketat dia berikan untuk menjaga putri semata wayangnya. Dua bodyguard berbadan kekar serta orang yang dengan sukarela merawat Assyifa dirumahnya, Marcel.
"Kak, kakak gak pergi ke gereja?" Tanya Assyifa, dia duduk dikursi dekat jendela, temapt biasa Hikari duduk semasa hidup.
"Tadi sebelum kesini aku ke gereja dulu, kamu udah sarapan?" Tanya Marcel, hatinya mencelos melihat keadaan Assyifa yang kacau balau, rambutnya kusut dan wajahnya pucat, tubuhnya juga mengurus sejak pulang dari rumah sakit.
Dia dengan senang hati mengambil buah dan bubur didapur, menyiapkannya untuk Assyifa. Perempuan beda agama yang dia cintai. Yah, mereka beda agama. Assyifa dengan assalamualaikum-nya dan Marcel dengan shalom-nya.
"Assyifa, makan sedikit buburnya..." Marcel menyondorkan sesendok bubur pada Assyifa.
Trang! Sendok itu ditepis begitu saja, ini sudah beberapa kali dilakukan, Marcel memaklumi keadaan Assyifa yang tengah dalam masa paling buruknya. Senyum yang Marcel suka, tawa yang Marcel suka, semuanya lenyap karena sekelompok manusia brengsek.
Meski dari awal mereka tidak bisa bersatu, tetap saja yang namanya cinta tidak bisa dihilangkan begitu saja. Assyifa adalah cinta pertama Marcel, karena itu dia ingin berada disampingnya terus.
"Buat kamu aja kak, aku udah kenyang makan kenyataan." Ujarnya ketus.
Marcel menaruh mangkuknya diatas nakas, mencoba merapihkan rambut si gadis dengan sisir yang ada dimeja rias. Menyisir rambut ikal itu dengan perlahan, "Aku tau kamu masih sedih, tapi jangan terlalu kalut dalam kesedihan ya? Aku suka senyuman kamu, aku suka liat kamu ketawa lagi." Kata Marcel.
Kalimatnya tidak digubris, tatapannya kosong tidak ada cahaya lagi. Kehilangan saudari kembar dan ibu disaat yang bersamaan adalah yang paling buruk, Marcel bahkan tidak bisa membayangkannya jika itu terjadi padanya.
"Kamu berdoa buat Hikari sama ibumu ya, jangan diam begini, dunia masih banyak yang belum kamu eksplor kamu bilang mau jadi pelukis terkenal" Kata Marcel lagi.
"Ya." Balas Assyifa.
Ingin menangis Marcel mendengar jawabannya, dia ingin memeluk orang yang dia cintai ini tapi apa daya dia tidak akan bisa memeluknya sebelum dia mengucap dua kalimat syahadat dan kata sah terucap.
"Aku ingin sendiri, tinggalkan aku." Pinta Assyifa.
"Baiklah, makan ya jangan didiemin begitu buburnya." Kata Marcel. Dia berjalan keluar dan menutup pintu pelan-pelan, tidak mau mengeluarkan suara gaduh.
Dia menghela nafas panjang saat ayah Assyifa bertanya bagaimana keadaan putrinya, "Dia masih sama seperti yang kemarin, akan saya sarankan anda menyewa guru private untuknya pak." Kata Marcel.
Ayahnya lemas kembali, dia tidak bisa melihat senyum anaknya lagi setelah ini, sudah seminggu setelah hari itu tapi Assyifa masih tidak menunjukan dirinya lagi, dia asik menyekap diri disana, entah sampai kapan dia begitu.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (27)

  • avatar
    AdharaRevani

    bagus sekali aplikasi ini sangat menguntungkan

    29/05

      0
  • avatar
    IrwansyahSalsabila

    cerita bagus dan menarik

    19/03

      0
  • avatar
    Cikal baihaqiGalih

    bagus

    13/03

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด