logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 13 Tergoda

"Mbak ngelamun aja. Mikirin apa hayo?" Agnes meletakkan nampan makan siangnya dan duduk di sebelah Hani.
"Eh, enggak." Hani menatap makan siangnya dengan tidak berselera. Sedari tadi dia hanya mengaduk nasi dan tak berniat memasukkannya ke mulut. 
"Mas Ardi sibuk banget, ya? Sampai Mbak uring-uringan kayak gini." Agnes mengerling beberapa kali. Memberanikan diri untuk bertanya. Ada rasa kasihan melihat sahabatnya ini.
"Tau, nih. Masa' training sibuk banget. Susah dihubungi lagi." Akhirnya dia meletakkan alat makannya di piring.
"Positif thinking, Mbak. Kali emang tuntutan perusahaan kayak gitu."
"Iya, Nes. Jujur aku sebel. Mas Ardi nggak biasanya begini." Dia mengambil selembar tissue dan membersihkan mulutnya, menghabiskan sisa minuman di gelas. 
"Oh, iya. Waktu itu kenapa mbak lari-lari dari ruangan bapak? Sampai aku panggil enggak denger."
Wajah Hani memucat. Mau dijawab apa ini?
"Oh! Itu ... aku kebelet. Udah nggak tahan, langsung ke toilet." Hani berbohong. Tidak mungkin dia bercerita bagaimana kelakuan Reza kepadanya.
"Pantes Bu Maya nelpon aku minta anter dokumennya. Mbak lama banget ditungguin."
"Sorry, ya."
Mereka asyik bercerita hingga ....
"Mbak, si Bapak ke sini lagi."
Hani menoleh ke arah pintu masuk. Lalu membuang muka, pura-pura tidak melihat. Mengambil kembali sendok yang tadi dia letakkan, dan kembali mengaduknya untuk menghilangkan rasa gugup.
"Akhir-akhir ini dia sering makan di kantin, deh." Agnes mulai memancing pembicaraan.
"Aku enggak perhatikan, Nes." 
Hani berpura-pura cuek. Dia masih marah mengingat kejadian itu. 
"Mbak, dia ngelirik ke sini terus." Si cantik itu menyenggol lengannya. 
"Udah dulu, ya. Mba mau istirahat di ruangan aja." Hani sengaja menghindar. Semakin jarang bertemu dengan Reza, itu semakin baik. 
"Mbak sakit? Kok mukanya pucat begitu." Ada nada khawatir saat melihat kondisi sahabatnya yang tampak lemas sejak tadi.
"Cuma capek aja. Beberapa hari ini si abang rewel. Aku nggak bisa tidur nyenyak," jawabnya.
"Cepat pulih, ya. Kalau sakit ijin pulang. Nggak usah dipaksain, Mbak."
Hani mengangguk kemudian meninggalkan kantin, kembali ke ruangannya untuk beristirahat. Jam makan siang masih ada dua puluh menit lagi.
***
"Masuk." 
Suara Reza membuat Hani ketakutan. Dia sudah menyiapkan gunting kecil di saku. Jika lelaki itu berani berbuat nekat, dia tak akan segan melukai untuk mempertahankan diri.
Sejak kejadian itu, hubungan mereka menjadi kaku. Tadinya akrab kini menjadi renggang. Setiap selesai mengantar berkas, Hani langsung keluar ruangan.  
"Masih marah?" Lelaki itu menatapnya lekat. Beberapa kali mencuri pandang.
"Enggak, Pak. Saya permisi."
"Maaf, ya. Aku nggak sopan sama kamu." Ada nada sesal dalam hatinya. 
Hani membuang muka. "Sudah selesai ya, Pak. Saya mau kembali ke ruangan."
"Tunggu! Aku mau bicara."
Tanpa mendengarkan ucapan Reza, Hani berjalan meninggalkannya. Saat tangannya hendak menggapai gagang pintu, tiba-tiba tubuhnya ambruk.
"Kamu kenapa?" 
Reza segera berlari mengampiri tubuh Hani yang tak sadarkan diri di lantai. Lalu mengangkat dan meletakkannya di sofa. 
"Kamu sakit?" Hani tak bergerak sedikit pun.
Reza segera keluar dari ruangannya, memanggil sang sekretaris.
"Agnes kemari. Hani pingsan."
Mata cantik itu melotot, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Ada apa, Pak?"
"Cepat!" 
Agnes segera masuk ke ruangan. "Mbak kenapa?" Dia menepuk pipi Hani berulang kali.
Reza sendiri tampak kebingungan. 
"Aduh gimana ini, ya? Tadi udah saya suruh istirahat malah maksain kerja." Kali ini tangan Agnes mengipas wajah Hani dengan kertas.
Reza terlihat mondar-mandir sejak tadi, tidak tahu harus memutuskan apa dalam kondisi begini. "Coba kamu hubungi bagian kesehatan. Minta dokter Hadi ke sini." Dia memerintah.
"Baik, Pak." Agnes setengah berlari keluar ruangan. Dia juga ikut panik. 
***
"Vertigo. Tensinya drop, delapan puluh per enam puluh. Ini ada obat dan vitamin yang harus diminum. Nggak perlu opname. Istirahat aja tiga hari di rumah. Kecapean karyawan lo ini, Za." Hadi memberikan penjelasan.
"Thanks," kata Reza singkat.
"Gue lihat dia ini suka mendem perasaan. Jadi begitu ada masalah tubuhnya langsung bereaksi. Bener, nggak?"
"Mungkin ada masalah keluarga. Gue juga enggak tau. Masa' mau nanya."
"Oh, udah nikah, ya? Kirain masih single. Imut banget." Hadi tersenyum tidak jelas.
Hani sendiri masih dijagakan Agnes untuk sementara waktu. Sudah mulai sadar hanya masih lemah. 
"Dasar dokter buaya." Reza menggelengkan kepalanya, tak menyangka kalau pesona wanita ini begitu kuat.
"Emangnya lo enggak?" Hadi membalas.
Reza mengumpat, yang kemudian dijawab dengan tawa oleh Hadi.
"Lo naksir? Gue lihat lo khawatir banget. Tumben perhatian sama karyawan. Biasanya cuek bebek. Kenal nama saja nggak mau."
Reza mengulum senyum. Pintar juga Hadi memancingnya dengan pertanyaan seperti itu. "Sok tau. Ini cewek suaminya lagi ke luar kota. Ntar kalau dia kenapa-kenapa kasian." Reza berusaha menutupi perasannya yang sedari tadi tak karuan. 
"Segitunya. Ini kan bukan urusan lo kali."
"Urusan gue, lah. Karyawan sakit bisa rugi perusahaan kalau dia nggak masuk." Lelaki itu masih berkelit. Bahaya kalau sampai orang lain tahu, bisa jadi bahan bully-an.
"Gue pamit dulu. Suruh OB nebus obatnya di apotik deket sini. Pasien masih banyak nungguin."
"Siap, Pak Dokter. Salam buat istri lo di rumah." 
Mereka bersalaman. Lega hati Reza saat Hadi mengatakan kalau pujaan hatinya itu baik-baik saja, Hanya butuh istirahat beberapa hari.
"Ntar gue sampaikan."
Reza ke ruangan untuk melihat kondisi Hani. Wanita itu mMasih lemah dan terbaring di sofa. Beberapa karyawan ada yang datang melihat tapi tak ada satupun yang bersedia mengurusnya. Mereka bahkan kembali ke ruangan dan melanjutkan pekerjaan.
"Jadi ini gimana ini ya, Pak? Mbak Hani enggak mungkin ditinggal di kantor."
"Kamu tau rumahnya?"
"Tau. Tapi suaminya lagi nggak ada. Terus, siapa yang nanti ngerawat Mbak Hani?"
Reza berfikir sejenak. "Keluarganya mungkin?"
"Enggak ada. Mereka cuma bertiga di sini. Katanya keluarga jauh di kota lain."
Lelaki itu terkejut mendengarnya. Ternyata, banyak hal yang tidak dia ketahui tentang wanita ini. 
Agnes mengusap wajah Hani dengan tissue basah. Berharap segera pulih, tapi sepertinya Hani benar-benar kelelahan. Dia malah kembali memejamkan mata.
"Tetangga?"
"Ada sih yang jagain anaknya. Tapi kan udah tua. Masa' mau merawat Mbak Hani juga."
"Gini. Kamu kerumahnya Hani. Bilang ke tetangganya sementara waktu jagain anaknya. Soal Hani biar aja dulu di sini. Nanti kalau udah baikan saya urusin."
"Tapi, bapak kan sibuk?"
"Gampang, lah. Besok juga weekend. Kantor libur." 
Agnes mengangguk patuh.
Reza mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ini. Kasihkan ke tetangga itu. Biaya buat anaknya."
"Baik, Pak. Saya permisi." Agnes meninggalkan mereka berdua. Sebenarnya dia sedikit curiga, hanya tidak mau terlalu jauh ikut campur. 
***
Hani terbangun, mengerjapkan mata beberapa kali dan melihat sekeliling.
"Di mana ini?" Dia merasa asing. Ini bukan kamarnya!
"Apartemen aku," jawab Reza santai. 
Hani menoleh dan mendapatkan lelaki itu duduk tak jauh darinya, sedang mengutak-atik laptop di meja.
"Kok aku bisa ada di sini?" Sudah lupa dengan sebutan "pak" yang biasa dia gunakan.  
"Iya, memang. Tadi habis minum obat, kamu teler lagi." Reza berjalan mendekatinya.
Hani gelagapan, bergerak mundur ke belakang. Tiba-tiba dia sadar akan sesuatu.
"Jangan dekat-dekat!"
Reza tertawa geli. "Emangnya kenapa?"
"Kamu mau apa?" Dia mulai ketakutan.
"Aku cuma mau nolong." 
"Aku mau pulang!" Hani melawan.
"Kamu di sini sampai sembuh!" Dia bersikeras. Dalam kondisi begini mana mungkin dia membiarkan wanitanya sendirian di rumah sana. Kalau terjadi apa-apa dia pasti akan menyesal. 
"Enggak mau! Aku mau ketemu anakku." 
Hani mencoba bangkit namun tubuhnya limbung dan jatuh. Sebelum itu terjadi, Reza dengan cepat menangkapnya.
Sejak dulu dia memang mengidap penyakit ini selain asam lambung yang cukup parah. Hanya jarang kambuh. Mungkin karena memikirkan suaminya terus, tubuhnya menjadi drop.
Wanita itu mencoba mendorongnya. "Jangan kurang ajar!" 
"Kamu bisa apa? Kamu masih lemah, sakit." Reza menahannya. 
"Aku mau pulang." Hani mencoba melepaskan diri. 
"Anak kamu udah ada yang jagain. Aku udah titip Agnes. Kamu disini sama aku sampai sembuh."
Dia menuntun Hani dengan sabar, mendudukkannya di sofa, kemudian mengambilkan air putih. 
Hani mengalah, membiarkan gelas di tangan Reza dan menyentuh mulut dan meminum isinya sampai habis. Kepalanya masih berdenyut, mau dipaksakan berdiri pun tidak bisa. 
"Makan." Reza meletakkan sebuah styrofoam berisi bubur di meja. Tadi dia memesannya lewat aplikasi online.
Tangan Hani bergetar saat membuka bungkusnya. Melihat itu, Reza dengan cepat membantunya, tapi dia sendiri tidak berani menyuapkan sekalipun ingin. Jadi, dia membiarkan wanita itu menghabiskan sendiri makanannya.
Selama makan, Hani selalu menunduk, tak berani menatap wajah tampan di hadapannya. Reza sendiri berpura-pura memainkan ponsel, padahal dalam hati berdebar kencang. Berkali-kali matanya melirik, memastikan Hani menghabiskan makannya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (11612)

  • avatar
    DITAPUSPAADYTIA

    fix perasan2 seperti di aduk2 antara baper bimbang di lema bingung dan sedih terus bahagia awal suami nya seperti idaman dan retak karna masalah ekonomi meski hubungan sudah lama gak menjamin keutuhan . patut di pelajari kehudupan cerita ini. seperti kayalan tapi terasa di dunia nyata best saya jujur terharu😢 apalagi awal keluarga sempurna masalah selalu ada dikehidupan di setiap cerita ❤

    17/08/2022

      0
  • avatar
    Yona Astuti

    saya suka bnget ceritanya ada kelanjutan gak..soalnya seru menginspirasi banyak bnget pelajaran yg dapet dipetik dari cerita ini..semangat ya semoga makin sukses dan ttap dalam lindungan Allah SWT aamiin☺️

    27/01/2022

      0
  • avatar
    lavoisierrz

    keren banget selalu bikin penasaran buat ngelanjutin ceritanya, bahasanya juga mudah dipahami, semangat kak

    21/01/2022

      1
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด