logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

MY BABY GIRL

MY BABY GIRL

TYA GUNAWAN


KESALAHAN

Rania memandang gusar pemandangan di hadapannya. Pasalnya baru kali ini ia melihat seseorang berciuman tepat di depan matanya. Hawa panas seketika memperbanyak produksi keringat di tubuhnya. Dan sekarang tak hanya lengket, Rania bahkan merasakan tubuhnya mulai basah. Dia butuh mandi, tapi mengapa malah kakinya seperti jeli?
Tak jauh darinya, Sully tampak terpejam begitu menikmati permanan lidah dan tangan pria itu yang dengan lihainya menyusup ke dalam kaosnya. Sully mendesah, napasnya terasa di ujung tenggorokan, saat lelaki yang merengkuh erat tubuhnya itu menghisap lehernya dalam-dalam, hingga mencipta tanda di tiga tempat, yang salah satunya dekat tulang selangka hingga berwarna merah kebiruan.
Rania seketika membekap mulutnya. Bak ikan di daratan, Gadis itu ingin menggelepar mencari pasokan udara. Ia mengerjap lalu segera menyeret tubuhnya untuk kabur.
Lagi-lagi rasa aneh menimbulkan gelenyar asing di pusat gairahnya.
Sialan.
Ia tidak mungkin bernapsu hanya karena melihat dua makhluk tak tahu malu itu, bukan?
Brak.
“Rania!” terdengar suara teriakan cempreng Sully ketika pintu kamarnya terbuka, “Lo kenapa? Bolos kuliah lagi?”
Rania mendelik, terkejut dengan penampakan yang tiba-tiba saja sudah muncul di ambang pintu tanpa bisa ia cegah, “Hm,” gumamnya malas lalu kembali meneruskan kegiatannya tanpa terpengaruh derap langkah Sully yang kian mendekat ke arahnya.
Sully mengulas cengiran lebar menatap Rania yang sejak tadi cemberut sambil menelungkupkan tubuhnya di atas kasur. Gadis itu masih asyik memainkan ponselnya tanpa sedikit pun mengindahkan kehadirannya.
“Gue baru aja pulang kuliah,” ucap Sully ringan sembari duduk di kursi plastik samping nakas.
“Suka-suka lo,” Rania mendengkus judes, “Lagian nggak ada yang tanya.”
“Kucel amat itu muka!”
“Kalau gue kucel? Terus lo apa?” gumam Rania sarkas masih sambil menggeser layar ponselnya.
Sully berdecak, sadar baru saja melecehkan seorang primadona kampus.
“Lo dicari tuh sama Pak Bagas.”
“Biarin aja. Ntar juga bosen sendiri,” Rania mengedikkan bahu tak acuh lalu menutup mukanya dengan bantal yang penuh dengan gambar pulau di setiap sudutnya –hampir membentuk peta dunia.
Oh my gosh… Sully bergidik jijik.
“Minggu depan UAS.”
“Sudah tahu.”
“Lalu kenapa lo nggak masuk, Rania?” Sully berdecak sebal. “Tanpa keterangan lagi. Lo dicatat bolos tau, nggak?”
“Gue nunggak SPP enam bulan, Sull.”
Mata Sully melotot, “Sull? Bisul?”
“Ly? Sih? Ah susah! Lagian nama lo Suliasih. Kenapa nggak dipanggil Asih aja, sih? Lo juga nggak ada mirip-miripnya sama Choi Jin-ri? Kenapa harus dipanggil Sully?”
“Apa susahnya sih, Ra? S-u-l-l-y…. Ah…, Whatever, suka-suka lo mau panggil gue apa,” Sully mengibaskan tangan seolah menghalau lalat di udara, “Yang penting sekarang, kenapa lo bolos kuliah dua minggu?”
“Gue belom bisa bayar SPP, dan gue nggak boleh ikut UAS.”
“Kasihan. Lalu?”
“Ya, karena gue nggak punya uang, kenapa gue harus masuk? Toh, minggu depan, gue tetep nggak bisa ikut UAS juga, ‘kan?” ucap Rania ringan, masih fokus pada kegiatannya menggeser layar polselnya tanpa sekali pun menoleh ke arah Sully.
“Terus lo ada jalan keluarnya?”
“Kalau ada, ngapain gue bolos?”
Sully menggaruk tengkuknya, “Bener juga, ya.”
“Hm,” Rania hanya berdeham. Masih fokus pada ponsel di tangannya.
“Eh…, Lo dari tadi ngapain sih, Ra?” Sully kembali berdecak sebal karena dari tadi Rania mengabaikan dirinya. Sahabatnya itu masih asyik dengan ponselnya tanpa sekalipun menoleh ke arahnya. “Gue serasa ngomong di telepon, deh.”
“Main game.”
“Main game?” Sully menautkan alisnya heran, “Lo kira dengan main game lo bisa bayar SPP?”
“Barangkali bisa. Daripada lo? Main bibir.”
Sully mencebik, “Lo lihat?”
“Nggak sengaja.”
“Lakukan sesuatu, kek!”
“Terus gue harus gimana? Curhat di medsos? Nangis di twiter? Teriak-teriak di facebook?”
Sully melotot geram pada Rania, “Yang ada lo dikata gila!”
“Tuh, tahu!”
“Telepon kek.”
“Siapa?”
“Orang tua lo, keles! Masa orang tua gue?”
Rania melirik malas ke arah Sully, ia menjawab dengan lirih, “Sudah. Bapak dan mama nggak punya uang. Panen gagal. Gaji bapak juga sudah habis buat berobat mama bulan lalu,” akhirnya Rania tidak tahan juga cerita.
“Apa? Mama kamu sakit? Parah?”
“Iya,” Rania menghela napas berat. Seperti dadanya tertimpa barbel Agung Hercules. “Mama kena kanker.”
“Ya Tuhan. Itu alasannya kenapa Bapak lo nggak bisa kirim uang buat bayar SPP?” Tanya Sully tepat sasaran.
“Iya.”
“Tapi kenapa lo juga nggak pulang ke kampung?” tanya Sully penasaran.
“Gue aja nggak punya dwit buat ongkos ojek ke kampus, Sully! Apalagi ongkos buat pulang ke kampung?”
“Busyeet. Terus lo makan apa dua minggu ini?”
“Mie instan. Utang di warung depan.”
“Astaga! Lagian ngapain lo nggak telepon gue?”
“Pulsa habis. Wifi di kost juga harus bayar.”
Sully menepuk dahinya, “Kasihan banget sih hidup lo,” keluhnya lirih, merasa prihatin dengan beban hidup sahabatnya itu.
Rania menertawakan dirinya sendiri. Senyuman getir menyusul perlahan di bibirnya, “Mungkin gue harus putus kuliah, Sull. Dan gue harus siap-siap cari kerja pakai ijazah SMA.”
“Mau kerja apa, lo?”
“Belum tahu. Lo sendiri kerja apa? Bisa punya mobil keren dan ganti ponsel tiap bulan?”
“Ganti-ganti pacar,” Sully melengos mengalihkan tatapannya pada nakas di samping ranjang.
“Kayak sandal jepit aja, ganti-ganti. Tiap kali putus nyari yang baru,” Rania mencibir.
“Namanya juga masa pencarian. Wajarlah ganti-ganti. Nyari yang pas ‘kan nggak mudah.”
“Oh.”
“Lo sendiri? Status aja yang primadona kampus, tapi pacar aja nggak punya.”
Rania mengangkat kepalanya, “Gue takut dosa.”
Sully mendesah, “Itu alasan lo sejak SMA.”
“Emang kalau udah kuliah, pacaran udah nggak dosa?”
“Tau ah. Nggak pernah menang gue debat sama lo.”
Rania tampak berpikir, “Ganti-ganti pacar bisa dapat duit ‘kan, Sull? Ikutan dong?” Rania merengek.
“Bukannya lo takut dosa?”
“Iya. Tapi ini terpaksa. Demi masa depan gue.”
“Lo serius?”
“Banget. Tapi yang seperti pacar lo! Yang bisa menghasilkan uang! Asal nggak digrepe-grepe gue rela!”
Wajah Sully memerah, “Udah. Ngapain bahas pacar. Fokus ke masalah lo aja,” Sully berusaha mengalihkan pembicaraan. “Kita cari solusinya sama-sama.”
“Apa dong?” Rania menggaruk tengkuknya. Pikirannya kosong. “Bagaimana cara gue mencari uang sepuluh juta dalam waktu satu minggu, Sull?”
“Kerja.”
Rania mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasa kegagalan sudah mulai membayang di pelupuk. Gadis itu benar-benar mulai mencemaskan masa depannya yang tidak jelas. Rasanya sayang saja memikirkan perjuangannya selama beberapa tahun terakhir ini akan berakhir sia-sia.
“Kerja apa?”
Suasana di kamar kost Rania itu sepi untuk beberapa saat. Sully memperhatikan penampilan gadis cantik di depannya itu yang sudah seperti gembel saja sekarang karena akhir-akhir ini ia hanya meringkuk saja di kamar.
“Lo cantik.”
Rania menautkan kedua alisnya, “Kalau itu semua orang juga tahu!”
“Lo bisa kerja di café milik temen gue.”
“Sepuluh juta per minggu?”
“Tentu saja tidak, kampret! Lo hanya lulusan SMA, café apa yang bisa ngasih gaji sepuluh juta per minggu?”
“Gitu ya?”
“Iya. Paling juga sesuai UMK.”
Rania mengangguk-angguk, “Tapi, gue butuh sepuluh juta dalam waktu seminggu, Sull.”
“Mau dipikir sampai otak kamu varises juga nggak bakalan nemu pekerjaan untuk lulusan SMA dengan gaji sepuluh juta per minggu, Rania!” Sully menjawab dengan kesal tanpa menoleh ke arah Rania.
“Lalu? Apa dong?” Rania menghela napas. Merasa lelah dengan pikirannya. “Cariin gue pacar yang seperti pacar lo, deh, Sull. Please!”
“Nggak!”
“Lo nggak kasihan sama teman sendiri?”
“Justru ini karena gue kasihan, Pea!”
“Nggak. Nyatanya lo nggak mau bantu!”
“Gue pingin bantu lo, Rania. tapi lo tahu sendiri keadaan gue saat ini gimana?!”
“Gue nggak mau pinjam dwit lo. Cariin gue cowok.”
“Gue takut lo nyesel, Ra.”
“Nggak. Nggak bakal!”
“Lo kan nggak tau pekerjaan gue apa?”
“Gue nggak peduli!”
“Gue nggak bisa, Ra. Please deh. Kita cari pekerjaan yang lain aja.”
“Serah.”
Rania menjawab dengan kesal lalu kembali mengambil ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya serampangan sembari memalingkan muka.
Perlahan terdengar suara isaknya. Punggung gadis itu sedikit bergetar.
“Ra? Lo nangis?”
Rania mencebik, “Nggak! Mata gue kelilipan hape.”
“Ra? Lo kenapa sih? Jangan begini dong! Drama amat!”
“Serah.”
“Okay… Okay. Gue menyerah,” Sully merebut ponsel yang digenggam Rania lalu menaruhnya di atas nakas. “Gue akan mencarikan lo cowok! Tapi lo harus janji? Ingat, jangan pernah salahkan gue!”
“Kan gue udah bilang! Nggak! Gue nggak bakalan nyalahin lo,” Rania menyusut air mata dan ingusnya dengan lengan baju. “Yang penting gue bisa kerja dan nggak jadi berhenti kuliah. Itu udah cukup buat gue.”
“Ish… jorok banget sih lo. Lagian di meja ada tisu, Ra.”
“Biarin.”
“Lo—” Sully terdiam. “Yakin nggak nyesel?”
“Yakin.”
“Oke. Gue akan kenalin lo sama temen cowok gue.”
Bola mata Rania berpendar senang, “Lo emang sahabat sejati gue dari orok, Sull.”
Sully meringis. Rania sudah seperti saudaranya sendiri dan akan selalu seperti itu. Kini gadis itu membutuhkan bantuannya. Meskipun ini sebuah kesalahan, Sully bersumpah akan menjadi orang yang akan selalu ada saat Rania membutuhkan. Ya, Sully akan melakukan apapun untuk Rania demi masa depannya. Sully akan mengajari Rania banyak hal tentang kehidupan. Seperti motto Sully, bukankah banyak masalah menjadikan kita lebih dewasa? Maka, jadilah orang yang bermasalah agar kita bisa menjadi semakin dewasa.
Ah, benar-benar pesan yang antimainstream.
*****

หนังสือแสดงความคิดเห็น (1014)

  • avatar
    PatimahSiti

    oke

    12/08

      0
  • avatar
    SetyaY tri sunu

    bagus

    06/07

      0
  • avatar
    Seind Rz

    bagus

    23/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด