logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 4 - Keputusan King Stephan

“Aku akan menjadikan Putri Sophia permaisuriku,” ujar King Stephan saat Jenderal Maddhika menemuinya di malam hari.
“Putri Sophia, Yang Mulia?” Menyadari suaranya yang meninggi, Jenderal Maddhika buru-buru mengimbuhi, “Mohon ampun, Yang Mulia. Tapi saya dengar dari beberapa mulut, wajah sang putri rusak, Yang Mulia. Itulah salah satu alasan mengapa Raja Handaru menyuruhnya memakai cadar.”
Mungkin kabar itu hanya sebuah gosip antar pelayan belaka. Sebab kenyataan yang King Stephan temukan berbanding terbalik. Putri Sophia sangat cantik. Namun itu tak akan dikatakannya kepada siapapun.
“Jadi kabar apa yang kau dapatkan, Jenderal?”
“Raja Medina mengancam akan menyerang kerajaan ini bila sang putri menolak pinangannya, Yang Mulia.”
Kurang ajar. Berani-beraninya raja mata keranjang itu mengancam. Putri Sophia tidak akan pernah menerima pinangan Raja Medina sebab King Stephan sudah memutuskan bahwa ia-lah yang akan menikahi sang putri.
“Kita lihat saja perkembangannya, Jenderal. Jika dia bersikeras, aku akan menghadapinya.”
“Anda serius mengenai....”
“Jangan mempertanyakan keseriusanku, Jenderal. Kau boleh pergi.”
“Mohon maaf, Yang Mulia. Baiklah, saya permisi.”
King Stephan mendongak memandang bulan. Tidak lama setelahnya, ia sudah berjalan. Dengan elemen udara yang meringankan tubuhnya, membuatnya bisa masuk ke ruang peraduan sang putri melalui jendela yang kebetulan masih terbuka.
Putri Sophia sedang terlelap. King Stephan berdiri di sebelah tempat tidur. King Stephan tidak pernah merasa sebetah ini memandangi wajah perempuan selain ibunya. Namun Putri Sophia tanpa cadar, membius kesadarannya. Wajah berbentuk hati itu membuatnya terpesona.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, King Stephan merasa begitu ingin menyusurkan jemarinya di wajah seorang perempuan. Putri Sophia memang melepas cadarnya di waktu-waktu tertentu seperti saat tidur. King Stephan begitu beruntung karena memiliki kesempatan untuk melihat paras ayunya.
Tidak bisa menahan diri, King Stephan bergerak mendekat. Ia merendahkan tubuhnya dan menjulurkan jari telunjuknya menyusuri pangkal hidung sang putri. Sama seperti telapak tangannya, wajah sang putri juga terasa amat lembut.
King Stephan melebarkan telapak tangannya membelai pipi Putri Sophia. Putri Sophia sendiri masih terlelap begitu damai.
King Stephan masih berdiri mengawasi sampai matahari memunculkan semburatnya. Ia keluar dari sana dan melangkah pelan mengitari Paviliun Timur, memastikan keamanan wilayah sang putri tinggal.
Kedua mata King Stephan menangkap sekelebat bayangan hitam. King Stephan bergerak gesit untuk mengejar. Bayangan itu melompat ke arah dahan pohon, King Stephan masih mengejarnya. Ia yakin itu pasti penyusup. King Stephan berpegangan pada ranting pohon, kedua matanya memindai ke segala arah yang masih gelap. Bayangan gelap itu berbaur dengan kegelapan menjelang pagi. Ketika melihat ke kejauhan, bayangan itu sudah melompat cepat dan menghilang dari pandangan.
Memutuskan untuk tak mengejar penyusup yang pasti sudah jauh itu, King Stephan melompat turun dari dahan pohon. Ia kembali menyisir daerah sana. Para penjaga sedang tertidur, atau dibuat tidur secara disengaja. Pantas saja penyusup itu bisa masuk dengan mudah.
Saat matahari telah meninggi, King Stephan menjaga Putri Sophia dalam acara meminum tehnya. Putri Sophia banyak diam, bahkan sejak pagi, hanya beberapa patah kata yang keluar dengan lembut dari mulutnya.
“Zhafran, bisakah kau duduk?”
“Ampun, Putri—”
“Aku ingin kau duduk.”
King Stephan mematuhinya. Sang putri menuangkan teh ke poci lain dan menyuruh King Stephan untuk meminumnya. Sejenak mata King Stephan terpaku ke arah kedua tangan halus yang nampak rapuh itu. Kedua tangan itu, siapa sangka akan memiliki kekuatan yang sangat besar?
“Kita bisa berteman, kan, Zhafran?”
King Stephan memandang mata sang putri yang menatap penuh harap padanya.
“Aku tak pernah punya teman sebelumnya,” ujar sang putri lirih. “Ayah tidak pernah membiarkanku bersosialisasi.”
“Anda bisa menganggap saya sebagai teman, Putri.”
Meski tertutup cadar, King Stephan yakin ekspresi yang Putri Sophia tunjukkan kali ini adalah ekspresi senang. Kedua matanya yang bersinar menjelaskan banyak hal.
“Maaf untuk yang kemarin. Aku tak bisa mengendalikan emosiku.”
Berkat itu, King Stephan tahu satu rahasia tentang elemen penyembuh yang Putri Sophia miliki. King Stephan mengangguk tanpa melepas tatapannya ke arah sang putri. Ia ingin melihat wajah tanpa cadar itu lagi.
“Sekarang, bisakah kita saling bercerita?” pinta sang putri sekali lagi. Sebelum King Stephan menjawab, sang putri yang merasa nyaman dengan kehadiran pengawal barunya itu pun memulai ceritanya.
“Aku lahir prematur. Dengan keanehan yang kau lihat kemarin, tubuhku yang memang lemah dari lahir menjadi semakin lemah.”
“Itu bukanlah keanehan, Putri. Saya lebih suka menyebutnya sebagai kelebihan.”
“Aku aneh, Zhafran. Aku berbeda dengan saudara-saudaraku yang lain. Aku butuh dijaga ketat. Aku tak bisa melakukan sesuatu yang kuinginkan.”
“Anda hanya istimewa,” balas King Stephan halus.
“Bahkan semua saudaraku membenciku. Mereka tak mau bermain denganku. Mereka menjauh, mereka menganggapku penyakit. Mereka menganggap ayah lebih menyayangiku daripada mereka semua. Padahal aku tahu ayah melakukan ini, karena aku adalah beban sekaligus tanggung jawabnya.” Mata Putri Sophia memerah ketika kalimatnya berakhir.
Raja Handaru memiliki seorang permaisuri dan tiga orang selir. Dari selir pertama memiliki dua orang anak, dari selir kedua memiliki seorang anak dan dari selir ketiga juga memiliki dua orang anak. Sementara Putri Sophia adalah putri tunggal raja dengan permaisurinya. Takhta kerajaan ketika raja lengser, harusnya jatuh ke tangan anaknya dengan sang permaisuri. Namun karena dari sang permaisuri raja hanya memiliki seorang anak perempuan, maka otomatis, takhta jatuh ke tangan anak laki-laki dari selir raja tanpa mengabaikan protokol kerajaan.
Kecuali bila sang putri menikah sebelum raja turun takhta.
Mengenai kebencian saudara-saudaranya kepada Putri Sophia, King Stephan duga itu karena mereka iri. Mereka menganggap Putri Sophia menjadi anak kesayangan raja karena kekuatan penyembuh yang dimilikinya. Mereka merasa perhatian raja sepenuhnya tercurah pada Sophia, dan mungkin juga mereka merasa posisi mereka tersaingi.
King Stephan belum bisa memastikan mengapa Raja Handaru memperlakukan sang putri dengan cara yang berbeda kecuali karena memang ingin menjaga sang putri yang memiliki elemen penyembuh yang pasti berguna sewaktu-waktu. King Stephan tak bisa menyimpulkan bahwa Raja Handaru begitu menyayangi Putri Sophia. Ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang raja ingin menikahkan Putri Sophia dengan Raja Medina, si raja mata keranjang yang punya banyak harta.
“Bagaimana denganmu, Zhafran?”
King Stephan segera fokus lagi. “Saya anak bungsu dari dua orang bersaudara, Putri.”
“Oh ya? Apa pekerjaan ayah dan ibumu?”
“Orang tua saya hanya petani biasa.”
“Benarkah?” Sang putri terlihat bersemangat. “Di mana mereka tinggal?”
King Stephan harus memutar otak agar sang putri yang penuh rasa ingin tahu mempercayai kebohongannya atau penyamarannya akan terbongkar.
“Mereka tinggal di kaki bukit sana.”
Sang putri memandang ke arah yang King Stephan tunjuk. “Pasti jauh sekali.”
“Tapi mereka sudah meninggal. Mereka sudah sangat tua. Jadi saya dan saudara saya meninggalkan rumah dan berkelana.”
“Artinya kau sudah mendatangi banyak tempat?”
King Stephan mengangguk. Ia mendatangi banyak tempat, bukan untuk berkelana. Tapi untuk memimpin perang bersama Jenderal Maddhika dan prajuritnya yang lain.
“Aku ingin sekali keluar dari istana ini meski hanya sebentar,” gumam sang putri. “Tapi ayah tak pernah mengabulkannya.”
“Dunia luar tidak seindah bayangan Anda, Putri.”
“Akan ada pengawal yang menjagaku. Ada kau.” Lagi-lagi Putri Sophia memberi pandangan memohon. “Bisakah kau meminta izin pada ayah agar aku bisa melihat dunia barang sebentar, Zhafran?”
King Stephan memandang Putri Sophia. Sang putri hanya ingin melihat dunia luar. Mungkin itu sederhana. Namun untuk seorang putri yang menghabiskan usianya di dalam paviliun sejak bayi, keinginan sederhana itu menjadi sebuah mimpi yang begitu besar. King Stephan yang tak pernah peduli pada apa pun, menemukan dirinya bisa memahami keinginan Putri Sophia.
“Saya akan mencoba bicara dengan Raja Handaru. Tapi jika Raja tak memberi izin, saya tak bisa melakukan apa pun.”
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (238)

  • avatar
    AhkamAqila

    Sangat menarik! Penulisannya rapi, alurnya teratur, dan diksinya beragam. Sangat nyaman untuk dibaca dan dinikmati sembari bersantai👍🏻 Best of luck, author!

    20/01/2022

      1
  • avatar
    Nur Ellie Syafiqa Iqa

    👍🏻.... 💞

    28d

      0
  • avatar
    AlexAlex

    nice story

    11/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด