logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 2 - Putri Sophia

Keahlian King Stephan dalam memanah tidak perlu diragukan lagi. Sejak kecil ia sudah sering berlatih di samping waktunya untuk bermain dengan teman sebayanya. Saat ini, di tengah hutan, King Stephan dengan menunggangi kuda tengah berburu rusa. Rusa itu akan digunakannya sebagai alat agar bisa masuk ke dalam istana.
Jenderal Maddhika sendiri ia tugaskan untuk mencari siapa yang selama ini menjadi pemasok daging ke dalam kerajaan. Pemasok daging tersebut tentunya memiliki semacam tanda pengenal agar para pengawal mengizinkannya masuk dan King Stephan beserta jenderalnya butuh tanda pengenal itu.
Seekor rusa tertangkap oleh pandangannya. King Stephan memperlambat gerakan kuda yang ia pacu agar rusa yang tengah merumput tersebut tenang di tempat. Ia menarik salah satu anak panah dari balik punggungnya dan meletakkannya pada busur yang telah siap di tangannya.
Hewan gemuk itu rupanya menyadari kehadiran pemangsa sebab segera melompat dan berlari menjauh di antara semak-semak dan pepohonan untuk melindungi diri.
“Cukup gesit,” gumam King Stephan lantas memacu kudanya mengejar hewan buruannya tersebut sambil tetap membidik. Di satu kesempatan, ia menarik anak panahnya dan melepaskannya ke arah bidikan. Anak panah itu kemudian menacap dengan tepat melumpuhkan rusa yang diburunya tadi.
King Stephan turun dari kudanya dan menghampiri rusa yang tergolek dengan anak panah yang masih menancap. Ia harap Jenderal Maddhika sudah selesai dengan tugasnya untuk mendapatkan tanda pengenal dengan cara apapun sehingga mereka bisa masuk ke dalam istana sebagai pemburu tanpa perlu banyak pemeriksaan.
Jenderal Maddhika memang melakukan tugasnya dengan baik. Segera setelah sang raja yang dihormatinya kembali dari dalam hutan ke gubuk kecil tempat mereka bermalam, mereka segera berangkat menuju istana dengan gerobak yang juga telah disiapkan untuk membawa rusa tadi. Di sore harinya, King Stephan bersama Jenderal Maddhika tiba di istana. Keduanya berjalan mengekori penjaga yang membawa rusa buruan tersebut ke area dapur. Daging rusa itu akan terlebih dahulu diperiksa keamanannya untuk dikonsumsi. Selama menunggu hasilnya, para pemasok diharuskan untuk menunggu.
Hal itu akan memakan waktu lama. King Stephan bukanlah orang yang sanggup menunggu dengan sabar. Di istana ia terbiasa mendapatkan apapun semudah menjentikkan jari tangan.
Mungkin semua orang tidak menyadarinya, tapi mata tajam King Stephan melihat adanya pergerakan aneh di dahan pohon. Penyusup. Otaknya langsung mengambil kesimpulan. Penyusup itu tampak mengintai paviliun di samping timur. King Stephan melarikan pandangannya ke arah paviliun itu. Terlihat olehnya beberapa orang. Nampak seperti dayang yang mengawal seorang gadis muda. Gadis muda itu pastilah memiliki peran penting di dalam istana hingga ada pihak yang tidak menyukainya.
Penyusup itu mulai membidik. Pikiran King Stephan berputar cepat. Bila gadis muda itu memiliki peran penting, maka jika King Stephan berhasil menyelamatkannya dari bahaya, sudah tentu pihak istana akan memberi King Stephan penghargaan. Jalannya akan semakin mudah.
Anak panah dari penyusup itu mulai melejit. King Stephan dengan gerakan secepat kilat mengikuti insting berperangnya berlari menuju si gadis muda. Semua yang melihat terkesiap. Jenderal Maddhi bahkan langsung melepaskan anak panah ke arah penyusup yang baru disadarinya.
Waktu tidak memungkinkan baginya untuk menepis anak panah itu. Kedua tangan King Stephan terulur, mendekap gadis itu dan membalikkan posisi. Hingga yang terkena bidikan panah itu adalah pundaknya. King Stephan menunduk pada gadis muda yang memejamkan mata erat seolah begitu takut dan terkejut itu. Para dayang langsung menggiring gadis muda itu pergi. Para pengawal menangkap penyusup tersebut. King Stephan dibawa ke wilayah tabib untuk mendapatkan pengobatan.
Panah itu beracun. King Stephan telah memprediksinya. Untunglah sistem imun yang berpadu dengan kekuatan genetik pada struktur darahnya mampu menetralisir racun itu dengan cepat. Tabib istana pun tercengang karena King Stephan tidak roboh padahal racun itu cukup kuat.
“Syukurlah Anda baik-baik saja, Yang Mulia,” tutur sang Jenderal merasa lega.
“Dan gadis itu?”
“Gadis yang Anda selamatkan adalah putri raja dari permaisuri, Yang Mulia.”
Putri raja. King Stephan melewatkan berita ini. Setahunya, perempuan yang menjadi permaisuri di kerajaan tersebut mandul, tak bisa mengandung keturunan raja. Meski begitu, raja di sana tak mengangkat seorang permaisuri lagi. Namun ternyata, permaisuri melahirkan seorang putri.
“Putri Sophia, keberadaannya memang dirahasiakan dari khalayak ramai karena ia berbeda. Itulah kabar yang saya dengar tadi, Yang Mulia.”
“Dia berbeda,” gumam King Stephan yang tidak terdengar oleh Jenderal Maddhika, “apa yang membuatnya berbeda, Jenderal?”
“Mengenai hal itu saya kurang tahu, Yang Mulia. Sepertinya kerajaan memang sangat merahasiakannya.”
Utusan sang raja datang menginterupsi pembicaraan mereka. Sang raja meminta King Stephan untuk datang menghadap di ruang singasana raja. Di sanalah King Stephan saat ini, menekuk sebelah lutut di hadapan sang raja.
“Aku telah mendengar bahwa kau menyelamatkan putriku dari penyusup, hai, Pemburu.”
King Stephan mendongak dan mengangguk sopan.
“Bagaimana kau bisa menyadari keberadaan dari penyusup tersebut sedangkan para pengawalku yang lain tak menyadarinya?”
King Stephan menampakkan senyum miring di balik cadarnya. Oh, ia sungguh yakin para pengawal yang bertugas menjaga sang putri pastilah terlatih. Bila terjadi kelalaian, sudah pasti itu sudah terencana.
“Saya hanya tak sengaja melihatnya, Yang Mulia.”
“Baiklah. Nyawa Putri Sophia adalah hal terpenting bagiku. Aku pun mendengar bahwa gerakan lihaimu untuk menyelamatkan putriku bukanlah gerakan biasa. Oleh sebab itu, sudikah kiranya bila kau kujadikan pengawal pribadi sang putri, hai, Pemburu?”
Bagaimana mungkin sang raja bisa seceroboh itu dalam memilih seorang pengawal untuk putrinya sendiri? Aneh, mungkin King Stephan akan mencaritahunya nanti.
“Maafkan saya, Yang Mulia. Apakah keputusan ini tidak terlalu terburu-buru?” sahut penasihat raja.
“Tidak ada satu pun orang dalam di istana yang pantas melakukannya,” ujar Raja Handaru datar seolah memang tak ada satu pun anggota kerajaan yang dipercayainya, “Jadi, bagaimana, Pemburu?”
“Saya hanyalah seorang pemburu, Yang Mulia. Tidak pantas untuk bergabung di dalam istana ini, apalagi menjadi pengawal pribadi sang putri.” King Stephan merendah, tak ingin terlihat antusias karena penawaran menarik itu.
“Kau terlalu merendah, namun aku memaksa.”
“Kalau begitu, saya terima penawaran itu, Yang Mulia. Merupakan tugas yang sangat mulia bagi saya untuk menjaga Sang Putri.”
“Bagus. Mulai saat ini kau akan tinggal di Paviliun Timur, tempat tinggal putriku, untuk selalu menjaganya.”
Setelah itu, King Stephan disumpah untuk tidak berkhianat dan mendedikasikan dirinya untuk keselamatan Sang Putri. King Stephan tak pernah tahu ada sumpah semacam itu di Kerajaan Whitesands.
Paviliun Timur tempat tinggal sang putri dikelilingi oleh taman bunga. Setelah meminta waktu untuk berbicara dengan Jenderal Maddhika yang King Stephan akui sebagai saudaranya, King Stephan segera diperkenalkan kepada sang putri sebagai pengawalnya.
Putri Sophia menyuruh dayang yang menemaninya untuk pergi. Sang putri, yang separuh wajahnya tertutup oleh cadar membuat King Stephan sedikit banyak merasa penasan.
“Duduklah,” titah sang putri dengan suara lembutnya, suara lembut yang entah mengapa sanggup membuat aliran darah King Stephan menderas. “Jangan sungkan.”
King Stephan akhirnya duduk di seberang sang putri dengan meja bundar yang menghalangi mereka. Jemari sang putri dengan lincah membuat pola pada kain yang akan disulamnya. Beberapa menit kemudian, sang putri meletakkan pekerjaannya.
“Maaf atas ketidaknyamanannya. Bukankah lebih baik bila kita saling mengetahui nama?”
“Ah, ya, Putri. Maafkan kelancangan saya. Saya Zhafran.” King Stephan memperkenalkan diri dengan sopan.
“Aku Sophia. Seperti yang kau tahu, aku adalah putri raja dari permaisuri.”
King Stephan tak mendengar kebanggaan dalam suara Putri Sophia. Yang ia dengar malah sebuah ... kesedihan.
“Jadi aku akan memanggilmu Zhafran. Seharusnya kau tak perlu menyelamatkanku. Tapi, terima kasih.”
Alis King Stephan berkerut. Ia paling tak suka menduga-duga atau pun memikirkan masalah orang lain. Tapi ini adalah Sang Putri. Sedikit informasi akan memuluskan jalannya.
“Maaf atas kelancangan saya, Putri. Tapi ... mengapa?”
Putri Sophia menghela napas lirih. Dulu ia terlahir prematur, ibunya mengalami pendarahan yang menyebabkannya meninggal. Karena terlahir prematur, kondisi fisiknya lebih lemah dari saudara-saudaranya yang lain. Karena hal itu pula, Putri Sophia selalu merepotkan. Membuat sang ayah terkadang marah karena kelakuannya yang sering menentang.
Bagaimana tidak, sejak ia terlahir sampai kini berusia delapan belas tahun, tak pernah dirinya melihat dunia di luar istana. Ayahnya melarang keras untuk hal itu. Bukan semata-mata karena keselamatannya, namun karena kemampuan aneh yang dimilikinya. Jika ia tak memiliki kemampuan tersebut, mungkin sang ayah tak akan repot-repot memperketat penjagaan untuknya. Toh, ia hanya seorang putri.
“Karena aku berbeda....” Putri Sophia menatap telapak tangannya, “dan aneh. Bagaimana keadaanmu? Kau terkena panah.”
King Stephan menilai bahwa Sang Putri tak ingin membicarakan dirinya dan mengapa ia berbeda. Akan sangat mencurigakan bila King Stephan memaksa. Jadi mari ikuti alur yang Putri Sophia inginkan.
“Saya baik-baik saja, Putri. Terima kasih.”
“Mengapa kau menyelamatkanku, Zhafran?”
Untuk memuluskan jalannya, tentu saja.
“Saya hanya kebetulan melihat hal itu dan bergerak begitu saja.”
“Bisa saja kau pura-pura tidak melihatnya.”
“Anda terlihat tidak senang dengan perbuatan saya, Putri.”
“Ya.” Putri Sophia menatap King Stephan. Sang putri terlihat emosional. Dadanya naik turun karena napasnya tak stabil.
King Stephan segera berdiri dan membungkuk. “Maafkan kelancangan saya, Putri. Mungkin sebaiknya Anda beristirahat.”
“Tidak.” Putri Sophia mengambil napas berat, “Duduklah, Zhafran. Maafkan aku. Aku hanya ... hanya berpikir bahwa lebih baik aku....” Ia menggantung ucapannya.
King Stephan diam sejenak, mengira-ngira apa penyebab emosi Putri Sophia menjadi begitu labil. Sang putri bahkan tak mau diselamatkan. Bukankah bagus bila seseorang menyelamatkannya dari kejahatan siapapun yang mendalangi penyusup itu masuk ke istana?
Dan apa maksud Putri Sophia dengan aneh dan berbeda?
“Duduklah lagi,” ujar Putri Sophia lagi. “Jangan sungkan. Aku bukan siapa-siapa hingga kau harus sebegitu hormat kepadaku.”
Jelas-jelas Putri Sophia adalah putri raja, dari seorang permaisuri pula. Derajatnya di sana melebihi derajat saudara-saudaranya dari selir raja.
“Anda senang menyulam?”
Di balik cadarnya, Putri Sophia tersenyum. Ia suka dengan apapun yang berbau benang dan jarum. Ia senang menyulam, ia senang merajut. Ia bahkan tak peduli ketika beberapa kali jarum tersebut tak sengaja mengenai jemarinya. Karena dengan menyulam dan merajut, akan mengobati kerinduannya terhadap sosok seorang ibu—ibundanya juga menyenangi dua hal itu, itulah yang diketahuinya.
King Stephan kembali diam dalam duduknya. Putri Sophia kembali menyulam. Rangkaian benang yang disulam telaten itu, membentuk sebuah gambar bunga dengan beberapa sulur yang cantik. Mata King Stephan terfokus pada gerakan jemarinya. Hingga satu waktu, jarum di tangan sanga putri mengenai ujung jemarinya yang lentik. Putri Sophia lantas mengaduh.
King Stephan refleks berdiri dan menghampiri Putri Sophia. “Anda baik-baik saja?”
Jemarinya sedikit mengeluarkan darah, namun Putri Sophia menggeleng. “Tidak apa-apa. Ini sudah biasa terjadi.”
Jari itu masih mengeluarkan darah. King Stephan menekuk lututnya dan bergumam, “Mohon maaf, Putri.” Lalu diambilnya tangan Putri Sophia dan ia kulum salah satu jarinya yang terluka.
Mata Putri Sophia melebar, tetapi ia hanya diam memerhatikan. Bagaimana mungkin pengawal barunya, kini berani menyentuh bahkan mengulum jarinya? Yang King Stephan lakukan sebenarnya hanya yang diingatnya di masa lalu di mana ketika jarinya terluka, ibunya akan melakukan hal yang sama.
Putri Sophia membeku dengan pandangan masih sama sampai King Stephan mengeluarkan jari Putri Sophia dari mulutnya. King Stephan tak segera melepas tangan sang puti yang terasa sangat halus dan lembut. Ada sesuatu yang aneh di diri sang putri, seperti sang putri menyimpan sebuah kekuatan. King Stephan dapat merasakannya melalui sentuhan itu.
Saat pengawalnya mendongak, Putri Sophia langsung mengalihkan pandangan dan menarik tangannya. “Terima kasih,” katanya dalam bentuk gumaman.
“Ibu saya sering melakukan hal itu sewaktu saya kecil.”
Putri Sophia langsung termenung. “Kau pasti sangat bahagia saat kau kecil.”
King Stephan lupa bahwa ibunda Putri Sophia meninggal sewaktu melahirkan sang putri. Tak ayal kini Putri Sophia terlihat sangat sedih. Sang putri tentu sensitif dengan bahasan tentang ibu.
“Ampun, Putri Sophia. Saya tidak bermaksud untuk....”
“Tidak apa-apa. Mungkin nanti kau bisa menceritakan tentang masa kecilmu kepadaku.”
Setelah beberapa saat diam, King Stephan lalu mengangguk. Putri Sophia pasti sangat merindukan sosok seorang ibu di hidupnya. Meski baru sebentar berada di istana itu, King Stephan tahu begitu saja bahwa Putri Sophia tidaklah teramat dekat dengan selir-selir raja, juga dengan saudara-sudaranya yang lain.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (238)

  • avatar
    AhkamAqila

    Sangat menarik! Penulisannya rapi, alurnya teratur, dan diksinya beragam. Sangat nyaman untuk dibaca dan dinikmati sembari bersantai👍🏻 Best of luck, author!

    20/01/2022

      1
  • avatar
    Nur Ellie Syafiqa Iqa

    👍🏻.... 💞

    28d

      0
  • avatar
    AlexAlex

    nice story

    11/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด