logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

MPH, 7

Zea berdiri menunggu di trotoar, menanti Kevin datang menjemputnya. Zea berkali-kali memeriksa jam di pergelangan tangannya. Hampir setengah jam dia hanya celinguk melihat ke kiri dan kanan, mengharapkan Kevin datang. Namun, hingga kini pria itu belum kunjung tiba.
Apa jangan-jangan Kevin tidak jadi mengajakku berkunjung ke tempat tinggalnya dulu? batin Zea sedih sekaligus kecewa. Meskipun begitu, kenapa dia tidak mengabari aku sama sekali?
Terdengar suara motor mendekat hingga suara mesin motornya tak asing lagi di telinga Zea. Zea tersenyum semringah ketika Kevin datang menghampirinya.
Kevin segera melepaskan helm dan menatap Zea menyesal. "Maaf, ya, Zea. Aku datang terlambat, karena motorku tadi tiba-tiba mogok."
Zea tersenyum manis. "Tidak masalah, kok. Aku juga menunggu tidak terlalu lama."
"Terima kasih, ya.” Kevin menyengir malu. “Ayo, naik," dia menyodorkan satu helm pada Zea.
Zea menerima helm itu, memakainya, lalu menaiki motor Kevin.
“Sudah siap?” Kevin melongok ke belakang. Zea mengangguk. “Sudah.”
“Aku jalan, ya.” Kevin melajukan motornya membelah jalan raya menuju tempat dia bernaung dahulu.
Tak lama kemudian, motor Kevin berhenti di depan halaman sebuah rumah panti asuhan sederhana.
Zea melepas helm dari kepalanya dan mengembalikannya pada Kevin. Zea terpana memandangi interior depan rumah putih itu, yang terlihat sederhana namun sangat nyaman.
"Apa ini tempat kamu tinggal dulu?" tanya Zea memastikan, tanpa berhenti memandang rumah itu. Ternyata ini tempat Kevin tinggal dulu.
Kevin tersenyum kikuk sambil mengangguk. "Iya, Zea. Maaf, ya, hanya rumah sederhana."
"Kenapa kamu malah minta maaf?" tegur Zea. "Ini rumah yang sangat indah dan damai."
Kevin tersenyum, lalu menunduk sedih. Entah kenapa, setiap kali dia berada di dekat Zea, perasaan rendah diri akibat terlahir sebagai anak yatim-piatu, selalu mengintimidasinya. Ia merasa tidak pantas bersanding dengan gadis terpandang seperti Zea.
"Ayo, kita masuk." Kevin mengajak Zea memasuki rumah panti sambil menenteng beberapa kantong plastik besar berisi makanan dan mainan.
“Ibu! Ini Kevin!” Kevin jalan di depan, sedangkan Zea mengikuti Kevin dari belakang.
Di sepanjang jalan, terdapat banyak foto yang terpajang di dinding. Zea memandangi setiap foto-foto itu sambil terus membuntuti Kevin. Langkah Zea makin melambat ketika ingin melihat foto-foto itu dengan saksama. Kira-kira di mana foto Kevin kecil?
"Ya ampun, Nak!" Seorang wanita paruh payah tergesa- gesa keluar dari dapur untuk menyambut Kevin dan Zea dengan sangat antusias.
Wanita itu cipika-cipiki dengan anak asuhnya. "Ibu kangen sekali sama kamu, Sayang! Bagaimana kabar kamu? Baik-baik saja, kan?" tanyanya bahagia.
Kevin tersenyum lebar. "Iya, Bu, aku baik-baik saja. Dan ini," Kevin menyerahkan plastik-plastik itu pada ibu asuhnya. "Aku membeli bahan makanan dan mainan untuk adik-adik."
Marni langsung menerima pemberian Kevin dengan antusias. "Terima kasih banyak, Sayang! Kamu benar- benar anak yang baik," pujinya terharu. Meskipun mereka telah lama tidak tinggal bersama, Kevin selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi anak-anak panti bertujuan memberikan beragam hadiah.
Bu Marni beralih pada gadis di samping Kevin. Ia mengernyit, memandangi Zea dari atas ke bawah. "Dia siapa, Nak? Istri kamu? Kok kamu nikah tidak undang- undang Ibu dan adik-adik kamu, sih?" protesnya.
"B—ukan, Bu! Dia sama sekali bukan istri aku!” sergah Kevin panik. Jantungnya langsung berdebar-debar kencang. “Kami berdua cuma berteman saja!"
"Ah, kamu, nih!" Bu Marni menepuk pundak Kevin pelan sambil terkekeh. "Nggak usah malu-malu gitu, dong. Selama ini mana pernah kamu mengajak teman kamu ke sini, apalagi seorang gadis? Pasti dia gadis spesial, kan?" godanya. Pipi Kevin dan Zea merah merona.
Jadi, selama ini Kevin tidak pernah membawa seorang gadis pun pada ibu angkatnya? batin Zea senyum- senyum sendiri. Ia merasa tersanjung karena dianggap gadis spesial di mata Kevin.
"Sudahlah, Bu, jangan ngomong seperti itu lagi. Apalagi di depan orangnya langsung," pinta Kevin gugup.
“Baiklah. Ibu mengerti kalau kamu malu,” bisik Marni menggoda.
“Oh ya, Bu.” Kevin memandang sekelilingnya heran. “Ngomong-ngomong, di mana adik-adik, Bu? Kok tidak kelihatan dari tadi. Apa mereka sedang tidur?" Kevin berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak, kok. Mereka lagi main di halaman belakang," jelas Bu Marni. "Cepat kamu ke sana, Sayang. Mereka pasti senang sekali melihat kamu di sini. Kata mereka, mereka kangen sekali sama kamu."
Kevin mengangguk. "Baiklah, Bu. Aku ke sana dulu, ya. Ayo, Zea."
Zea mengangguk sopan. Ia tersenyum pada Bu Marni sebelum mengikuti Kevin. "A-aku permisi ya, Bu," pamitnya sopan, gugup.
"Iya, Sayang." Bu Marni tersenyum semringah.
Zea segera menyusul Kevin yang berjalan menuju halaman belakang rumah.
"Halo, adik-adik!" seru Kevin antusias. Bocah laki-laki sedang asyik bermain bola, sedangkan anak perempuan sibuk bermain boneka di teras.
"Kakak!" Mereka sontak langsung berlarian menghampiri Kevin.
Zea tersenyum bahagia, rasa hangat memenuhi hatinya. Pribadi Kevin benar-benar sempurna. Selain baik, Kevin ternyata menyukai anak kecil juga, seperti dirinya.
"Kakak cantik ini siapa, Kak?" tanya salah satu anak- anak itu dengan polos. Mereka langsung menatap Zea penuh tanda tanya.
Zea tersenyum ramah, meskipun agak malu-malu. "H- hai, perkenalkan nama aku, Zea. Salam kenal semuanya."
"Hai, Kak! Salam kenal juga!" seru mereka bersemangat.
"Dia pacar Kak Kevin, kan?" celetuk gadis berusia delapan tahun.
"Eh, masih kecil tidak boleh ngomong cinta-cintaan," tegur Kevin tegas, berusaha menyembunyikan perubahan wajahnya.
"Tapi memang benar, kan, Kak?" goda gadis itu lagi.
"Cie! Cie! Cie, Kak Kevin!" goda mereka sambil tertawa lepas.
Zea mengulum senyum, menunduk menahan malu.
"Kalian ini, nakal sekali, sih," omel Kevin sok marah. Ia diam-diam melirik Zea dengan gugup, ingin mengetahui reaksi gadis itu ketika mendengar ledekan anak-anak panti.
"Ya sudah, mendingan kalian lanjut main saja, gih! Kakak dan Kak Zea mau bantu Ibu masak di dapur dulu. Jangan ke mana-mana, main di sini saja, mengerti?"
"Iya, Kak Kevin!" sahut mereka serentak, lalu kembali bermain.
"Aku saja yang bantuin ibu masak, Kev. Kamu jaga mereka saja," saran Zea.
"Memangnya kamu bisa masak?" tanya Kevin.
Zea terkekeh malu. "Belum terlalu mahir, sih. Tapi bisalah dikit-dikit," jelasnya.
Kevin tersenyum tulus. "Tidak apa-apa, kok. Nanti juga bakalan jago kalau kita sudah menika—" Kevin segera mengatup mulutnya rapat-rapat.
Zea melongo sesaat.
"Eh! maksudku …," ralat Kevin cepat, "Lama-kelamaan kamu pasti akan jago masak," dia terkekeh kikuk.
Ya ampun, Kevin! Kenapa malah keceplosan bilang menikah segala, sih? rutuk Kevin dalam hati.
Zea menunduk, tersipu malu. "Baiklah, aku pamit ke dapur dulu, ya. Kasihan Ibu sudah tua kalau masak sendirian, apalagi dalam porsi besar," pamit Zea.
Kevin kagum. "Iya. Sebelumnya terima kasih, ya, karena kamu sudah peduli dengan ibu angkatku."
"Tidak masalah." Zea tersenyum manis sebelum pergi meninggalkan Kevin.
Kevin memandangi punggung gadis itu saat berjalan memasuki rumah, kemudian menghilang di balik tembok.
"Seandainya aku bisa menikah dengan Zea, aku pasti akan menjadi pria paling beruntung di dunia," gumam Kevin berandai-andai.
"Tapi …," Kevin menghela napas panjang, lalu menunduk sedih. "Apa keluarga Zea bisa menerima aku, yang asal-usulnya tidak jelas seperti ini?"
Seandainya Kevin berpacaran sampai menjalani sebuah hubungan yang lebih serius, ketakutan terbesar Kevin adalah seandainya keluarga pasangannya nanti tidak bisa menerima statusnya sebagai anak yatim piatu. Tidak ada orang tua yang rela membiarkan anaknya menikah dengan seseorang yang tidak jelas asal usulnya.
Apalagi, Kevin bukan orang kaya apalagi tampan. Tidak ada nilai plus dalam dirinya.
Sejak remaja, Kevin selalu merasa kecil hati jika dibandingkan dengan pria-pria lain. Intinya, dia merasa tidak pantas untuk dicintai atau mencintai seseorang.
Namun, setelah Kevin bertemu dengan Zea, ketakutannya perlahan sirna. Dia yakin, dia bisa mendapatkan gadis yang tulus mencintainya.
***
Bu Marni sibuk memotong-motong wortel ketika Zea datang menghampirinya.
"Bu, apa boleh aku bantuin Ibu?" tawar Zea sopan.
Bu Marni tersenyum semringah. "Tentu saja, boleh dong, Sayang. Tetapi memangnya kamu bisa masak?"
Zea terkekeh canggung. "Aku cuma bisa sedikit-sedikit, Bu."
***
Tbc

หนังสือแสดงความคิดเห็น (32)

  • avatar
    PutriAmelia

    sangat bagus

    08/08

      0
  • avatar
    IrawanFahri

    bagus

    20/06

      1
  • avatar
    KhusnulDinda

    bagus baget

    07/06

      1
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด