logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

MPH, 5

"Tapi—"
Kevin langsung mengatup bibir Zea dengan telunjuknya. "Sudah, Sayang, tidak perlu dibahas lagi, oke? Aku tidak mau anak kita jadi ikutan sedih kalau Ibunya sedih," dia menatap Zea lembut.
Zea mengangguk pelan.
"Oh, ya. Kamu mau makan apa, Sayang? Mau aku pesanin bubur di depan?" tawar Kevin.
"Nggak usah!" Zea menggeleng cepat. "Aku sudah tidak ngidam bubur lagi. Tiba-tiba aku ingin makan apel saja."
"Baiklah. Tunggu sebentar, ya." Kevin bangkit berdiri, menaruh mangkuk bubur tadi ke wastafel, lalu mengambil beberapa buah apel dari dalam kulkas.
Kevin kembali duduk di samping Zea, lalu mengupas apel.
"Kamu nggak berangkat kerja, Sayang? Ini sudah jam enam, loh."
"Nanti, sebentar lagi, Sayang. Tunggu aku selesai mengupas apel untuk kamu dan calon bayi kita.” Kevin tersenyum manis pada Zea lalu kembali fokus mengupas apel.
***
Jam menunjukkan pukul satu siang. Jam pelajaran di TK sudah kosong. Anak-anak sudah pulang dengan dijemput oleh orang tua masing-masing. Kevin sibuk menilai buku-buku pelajaran dari anak-anak didiknya di meja kerja.
"Oh ya, Pak Kevin." Para guru di samping meja kiri- kanan Kevin memanggil.
Kevin menoleh pada mereka. "Ya, kenapa?" tanyanya ramah.
"Bagaimana dengan kehamilan Bu Zea? Sehat, kan? Kalau nggak salah, sebentar lagi Bu Zea akan lahiran?" tanya salah satu guru.
Kevin mengangguk. "Iya, Bu. Doakan, ya. Semoga semuanya lancar dan bayinya selamat"
"Amin. Pasti dong, Pak, kami akan mendoakan keselamatan bagi ibu dan bayinya," sahut mereka antusias.
"Apa Bapak dan istri sudah mempersiapkan semua keperluan bayi kalian?"
"Sudah, kok, Bu."
"Apa saja, Pak?"
"Yang pasti, untuk biaya persalinan. Itu yang paling penting, dan dari jauh-jauh hari pun saya sudah persiapkan." Kevin menjawab sopan.
"Kalau soal itu juga saya tahulah, Pak. Masa bayar biaya rumah sakit pakai daun?" Tawa di ruang guru itu seketika pecah.
"Lalu, apa lagi? Untuk yang lain-lainnya sudah dipersiapkan?"
"Ya, seperti yang biasa dilakukan orang tua pada umumnya, kok. Seperti mendekorasi kamar bayi, membeli perabotan khusus bayi, baju-baju, mainan, dan lain-lainnya."
"Oh, ya. Ngomong-ngomong, kalau Bapak sedang bekerja di sekolah, berarti Bu Zea ditinggal sendiri di rumah, dong?"
Kevin menggeleng. "Nggak, Bu. Ada ibu mertua saya yang selalu menjaga istri saya kalau saya keluar atau bekerja."
"Wah, baik sekali ibu mertua Bapak. Penuh perhatian dan pengertian."
"Ibu mertua Bapak tinggal bareng?"
"Sebelumnya sih, tidak. Tapi karena kandungan istri saya semakin membesar dan dia tidak bisa ditinggalkan sendirian, ibu mertua berinisiatif untuk tinggal di rumah kami untuk menjaga putrinya."
"Wah! Benar-benar ibu mertua idaman," puji mereka.
Kevin terkekeh malu.
"Oh, ya, Pak." Mereka masing-masing mengeluarkan hadiah dari laci meja. "Ini buat bayi dan istri Bapak."
Mereka kompak memberikan kado pada Kevin.
"Ya ampun!" Kevin sangat terharu. "Kalian tidak perlu repot-repot seperti ini, saya jadi merasa sudah merepotkan," ungkapnya tidak enak.
"Nggak kok, Pak. Kami malah senang bisa memberikan hadiah pada teman sekerja kami." Mereka tersenyum tulus dan lebar.
Kevin terharu sampai matanya berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, karena sudah peduli pada saya, istri dan bayi kami."
"Iya, sama-sama."
"Jangan lupa undang-undang kami, loh, kalau Bapak mengadakan acara syukuran untuk bayinya."
"Pasti. Saya pasti akan undang kalian semua," tekad Kevin bersungguh-sungguh.
"Kalau begitu, kami lanjut kerja lagi, ya."
Kevin mengangguk. "Iya, Pak, Bu, silakan."
Kumpulan itu bubar, mereka kembali ke meja masing- masing.
***
Zea menunggu kepulangan Kevin di sofa tamu. Zea berkali-kali melihat jam di dinding, memperhatikan detak jarum panjangnya terus berdetak dan bergerak memutar. Entah mengapa, semenjak hamil anak pertama, Zea seperti tidak mau lepas dari Kevin. Apa mungkin ini keinginan dari bayi dalam kandungannya, atau dari dirinya?
Pokoknya, Zea ingin terus-terusan menempel dekat suaminya sembari perut dan kepalanya dielus-elus dengan lembut.
"Zea, sebaiknya kamu istirahat di kamar saja," omel Dewi.
"Nggak, Bu. Aku mau menunggu Mas Kevin di sini," tekad Zea bersemangat.
"Tapi kamu sedang hamil, Sayang. Ibu hamil harus banyak-banyak istirahat. Kasihan bayi yang ada di kandungan kamu, dia juga butuh istirahat."
"Tapi aku nggak bisa tidur kalau nggak ada Mas Kevin, Bu," rengek Zea mulai menangis
Dewi menghela napas panjang. Sejak hamil, suasana hati Zea mendadak berubah drastis. Dia jadi lebih mudah menangis, tertawa, bahkan aktif bergerak sana-sini.
"Baiklah, terserah kamu saja," jawab Dewi pasrah, lalu kembali ke dapur.
Tok! Tok! Tok!
Zea langsung tersenyum semringah. "Itu pasti Kevin!" Zea buru-buru membukakan pintu.
"Halo, Sayang. Ak—"
"Kenapa kamu pulangnya terlambat, sih? Apa kamu tahu, aku capek nungguin kamu!" omel Zea sambil merengut kesal.
"Maafkan aku, Sayang. Aku tadi harus sewa mobil dulu."
"Sewa mobil? Buat apa? Memang kita mau pindah ke mana?" sela Zea kaget.
Kevin terkekeh geli. "Bukan pindah, Sayang. Tapi, aku sewa mobil untuk mengangkut semua hadiah yang dikasih dari teman-teman kerja aku di sekolah. Dan kebanyakan kado-kadonya cukup besar. Aku nggak bisa membawanya sendirian menggunakan motor," jelas Kevin panjang lebar.
"Oh, begitu." Zea tersenyum lebar, lega.
***
Kevin hanya mengomando sopir dan beberapa tetangga yang sukarela bergotong royong menurunkan barang-barang dari mobil pick up dan menaruhnya di depan teras.
Kevin tidak bisa ikut membantu, karena Zea tidak mengizinkannya. Sebab, sejak tadi, Zea terus memeluk lengannya begitu erat dan manja, enggan membiarkan pergi.
"Aku sangat senang sekali, Sayang. Ternyata kamu selama ini dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dan peduli denganmu." Zea tersenyum bahagia pada Kevin.
Kevin juga, ia mengusap-usap tangan Zea di lengannya. "Iya, Sayang. Terima kasih juga, karena kamu sudah menjadi salah satu dari orang-orang yang ada, sayang dan peduli padaku."
Zea terkekeh malu-malu. Pipinya merah merona. "Kamu jangan sempat-sempatnya gombal," ledeknya.
"Aku tidak gombal, Sayang. Aku serius."
"Sudah, Mas, Mbak. Sudah saya pindahkan semua barang-barangnya." Sang sopir tersenyum sopan pada Kevin dan Zea.
"Terima kasih, ya, Pak." Kevin merogoh saku celananya lalu memberikan sejumlah uang pada sopir itu.
Sopir itu menerimanya dengan senyum semringah. "Terima kasih ya, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu."
Kevin dan Zea mengangguk. Setelah sopir dan beberapa tetangga pulang, Zea menarik-narik tangan Kevin manja.
"Ayo, Sayang," bujuk Zea.
"Mau ke mana?"
"Cerita-cerita lagi tentang momen manis kita." kata Zea. "Aku masih penasaran dengan masa lalu kita yang belum aku tahu."
"Baiklah, baiklah, tapi kamu makan dulu." Kevin tersenyum manis.
Zea mengangguk cepat. "Kupas kan apelnya, ya?" Zea menatap Kevin dengan mata berbinar-binar.
"Masa kamu makan apel terus, Sayang? Harus makan yang lain juga, dong," bujuk Kevin lembut.
Zea menghela napas, lalu mengangguk. "Ya sudah, deh."
Kevin terkekeh sambil mencolek dagu Zea. "Jangan cemberut gitu, dong, Sayang. Nanti aku suapin,kok."
***
Tbc

หนังสือแสดงความคิดเห็น (32)

  • avatar
    PutriAmelia

    sangat bagus

    08/08

      0
  • avatar
    IrawanFahri

    bagus

    20/06

      1
  • avatar
    KhusnulDinda

    bagus baget

    07/06

      1
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด