logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

MPH, 4

Zea berjalan menuju kamar sambil menghela napas berat. Ia menaruh tas selempangnya lebih dulu lalu melemparkan dirinya ke kasur.
Zea memeluk bantal sambil menelungkupkan dirinya. "Siapa yang nelpon Kevin tadi? Apa jangan-jangan … pacar—"
Zea mencak-mencak sendiri. "Ish! Kenapa aku jadi marah seperti ini, sih? Seperti aku tidak terima jika Kevin sudah punya pacar! Suka-suka Kevinlah, entah gadis itu pacarnya atau bukan!" kesalnya pada dirinya.
***
Esok harinya.
Zea mampir ke minimarket sejenak untuk membeli minuman. Ia berjalan di lorong camilan untuk mencari makanan ringan sebagai teman minum.
"Ngapain lo ajak-ajak gue kalau cuma pergi ke minimarket, sih?! Gayanya kayak mau belanja banyak aja!"
Suara pria itu sangat tidak asing di telinga Zea. Ia berhenti, mengedarkan pandangannya ke segala arah. Matanya terpaku pada seorang pria dan gadis yang berdiri memunggungi di rak seberangnya.
Kevin? batin Zea terkejut.
"Lo bawel amat, sih, jadi cowok! Kalau gue ada motor, gue juga nggak bakalan sudi mau ngajak lo!" balas gadis itu.
"Malah ngelunjak lagi! Udahlah, gue tunggu di luar aja! Kayak kurang kerjaan gue nemenin lo!"
"Ya udah, sono! Lagian gue nggak ngajak lo masuk juga!"
Kevin berdecih kesal sebelum pergi meninggalkan gadis itu dan keluar. Zea mengamati Kevin dan gadis itu begitu saksama sampai Kevin pergi meninggalkan ruangan.
Zea buru-buru pergi ke kasir, membayar belanjaannya, lalu ke luar. Kevin duduk di kursi yang terdapat di depan teras minimarket sambil bermain ponsel.
Zea merapikan rambut dan pakaian lalu mendekati Kevin. "Ha-halo, Kev."
Kevin sontak mendongak. "Zea?" serunya terkejut. "Ternyata kamu di sini juga?"
Zea tersenyum sambil mengangguk. "Ya, aku barusan beli snack dan minuman. Kalau kamu?"
"A-aku …," Kevin menggaruk kepalanya kikuk, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "A-aku sedang menunggu temanku yang sedang berbelanja di dalam."
Zea manggut-manggut paham, tersenyum seramah mungkin. "Oh, teman ya," ulangnya setengah menyinggung.
"I-iya, teman …." Kevin tersenyum kaku.
Suasana mendadak canggung.
"Oh, ya. Duduk, Zea." Kevin menepuk kursi di sampingnya.
Zea menggeleng sopan. "Nggak perlu, karena aku harus buru-buru pulang. Kamu tahu sendiri ayahku seperti apa, kan?" Zea terkekeh kecil. "Aku duluan, ya. Bye …."
"Biar aku mengantarmu pulang saja." Kevin langsung melonjak berdiri.
“Tidak perlu!” Zea menggeleng cepat. "Bagaimana dengan temanmu nanti? Masa kamu meninggalkannya begitu saja, kan?" tolak Zea.
"Lagian aku bisa sendiri, kok."
"Ta—"
Zea segera pergi sebelum Kevin mendesaknya supaya mengantarnya pulang. Kevin menghela napas berat sambil memandangi kepergian Zea sedikit tak rela.
"Kenapa Zea seperti berusaha menghindariku? Apa ini cuma perasaanku saja," gumam Kevin sedih.
***
"Sudah, ya, Sayang. Besok lagi kita lanjut mengobrolnya, ya. Karena kamu harus tidur, kasihan bayi dalam perut kamu kalau diajak begadang," bujuk Kevin, menghentikan pembicaraan mereka.
Zea mengangguk pelan dengan perasaan sedikit kecewa. "Baiklah."
Kevin dan Zea membenarkan posisi tidur, lalu saling berpelukan.
"Selamat tidur, Sayang," bisik Kevin lembut, mencium kening sang istri cukup lama.
***
Kevin sibuk memasak bubur di dapur untuk Zea. Tadi malam sebelum tidur, Zea memintanya untuk membuatkan bubur. Sambil mengaduk-aduk masakannya, seulas senyuman mengembang sempurna di bibir Kevin. Zea bagaikan "cat air" yang mewarnai setiap detik hidupnya.
Zea berjalan mendap-mendap mendekati Kevin yang sedang berdiri memunggunginya. Ia menjinjing sambil tersenyum jahil lalu menutup kedua mata Kevin dengan tangannya.
Kevin terkekeh, berbalik menghadap Zea. "Ya ampun, Sayang. Semakin hari kejahilanmu makin bertambah, ya," godanya.
"Kok kamu tahu itu aku?" Zea cengengesan.
"Siapa lagi yang jahil di rumah ini selain kamu?" Kevin mencolek gemas hidung mancung Zea.
Zea tertawa lepas. "Btw," dia melirik panci yang mengepul asap. "Aromanya harum sekali. Memangnya kamu masak apa, Sayang?"
"Masak bubur spesial, sesuai dengan pesanan Tuan Putri." Kevin tersenyum manis.
"Wah! Pasti enak! Aku jadi nggak sabar mencicipinya!" seru Zea antusias.
"Sebentar lagi matang, kok. Sebaiknya kamu duduk manis di meja makan, Ibu hamil nggak boleh kecapekan, loh. Sebentar lagi buburnya aku sajikan." Kevin mengajak Zea menuju meja makan, menarik salah satu kursi, lalu menuntun sang istri duduk.
Kevin kembali ke depan kompor. Ia mematikan kompor, menyendok bubur ke dalam mangkuk, lalu menyajikannya ke hadapan Zea.
Dengan antusias Zea mengambil sendok dan segera mencicipinya.
"Pelan-pelan, Sayang, buburnya masih panas, loh," ujar Kevin cemas.
Zea meniup-niup buburnya sebelum hati-hati memakannya.
"Bagaimana? Enak?" tanya Kevin bersemangat.
Zea menggeleng cepat. "Asin!"
"Apa? Asin? Kok bisa, sih? Padahal aku sudah kasih garamnya sesuai takaran."
"Coba kamu cicip sendiri." Zea menggeser mangkuknya hingga ke depan Kevin.
Kevin mencicipinya. "Ya ampun! Asin sekali!" Dia buru-buru mengambil tisu, lalu memuntahkannya.
Zea tertawa memandangi tingkah suaminya. "Asin, kan? Kamu nggak percaya, sih. Apa kamu masih ingat saat kamu memasakanku makanan yang asin juga dulu?"
Kevin menahan malu hingga kedua telinganya memerah. "Itu kejadian paling memalukan yang tidak pernah kulupakan."
"Bagaimana bisa kamu masak spageti sebegitu asin, sih? Padahal bumbunya bumbu praktis, loh," ejek Zea, masih terus tertawa.
"Saat itu aku nggak sengaja memasukan spagetinya terlalu banyak bersama bumbunya, ternyata bumbu di kemasannya kurang dan nggak sesuai dengan porsi spagetinya. Ketika aku mencicipinya, rasanya hambar, " jelas Kevin dengan pipi memerah. "Makanya aku kasih garam sedikit, ternyata kebanyakan."
Kevin terkekeh geli.
"Makanya kalau nggak bisa masak jangan masak, Sayang. Jadi malu-maluin, kan?" ledek Zea.
"Aku kan ingin terlihat serba bisa di depan matamu," goda Kevin. “Apalagi saat itu kamu kecapekan sekali
karena kemarinnya baru menggelar acara resepsi pernikahan kita.”
"Tapi jadi malu-maluin, kan," ejek Zea tertawa.
"Sudah, Sayang, jangan diingat-ingat lagi, aku jadi malu."
"Tapi seru loh kalau dibahas lagi."
"Tapi, ngomong-ngomong, maaf ya. Aku belum bisa membuatkan kamu bubur yang enak." Kevin menatap mata Zea penuh rasa bersalah. "Aku sadar, aku belum sempurna menjadi seorang suami dan ayah untuk calon bayi kita."
"Hei," Zea langsung menggenggam tangan Kevin. "Siapa bilang kamu tidak sempurna? Bagiku, kamu
adalah suami dan calon ayah paling sempurna di dunia ini," pujinya bangga.
"Tapi aku belum bisa memberikan apa pun yang kamu mau, bahkan hanya sekadar masak bubur."
"Sayang, lihat aku."
Kevin menatap Zea lekat.
"For me, you are my perfect husband." Zea tersenyum begitu tulus. "Trust me."
"Thanks, Babe." Kevin tersenyum manis, lalu mencium kening Zea cukup lama. Menikah dengan wanita sebaik Zea, Kevin merasa menjadi orang paling bahagia di dunia.
"Maafkan, kalau candaanku membuat kamu jadi rendah diri. Aku benar-benar nggak bermaksud begitu," pinta Zea menyesal.
Kevin menggeleng cepat. "Kamu tidak perlu minta maaf, Sayang. Kamu tidak salah." Dia mengusap pipi Zea lembut.
***
Tbc

หนังสือแสดงความคิดเห็น (32)

  • avatar
    PutriAmelia

    sangat bagus

    08/08

      0
  • avatar
    IrawanFahri

    bagus

    20/06

      1
  • avatar
    KhusnulDinda

    bagus baget

    07/06

      1
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด