logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

My Perfect Husband

My Perfect Husband

Dekha Wardana


MPH, 1

Kevin dan Zea duduk bersandar di kepala kasur sembari mengobrol-obrol ringan. Pria itu tersenyum semringah sambil mengelus-elus perut istrinya yang makin membesar. Hanya tinggal menghitung beberapa hari lagi menanti buah cinta mereka lahir ke dunia.
"Tidak terasa ya, Sayang. Sebentar lagi kebahagiaan kita akan semakin lengkap karena kita akan menjadi orang tua," ujar Zea tersenyum bahagia.
Kevin membalas, "Iya, Sayang. Aku benar-benar bahagia." Kevin menatap Zea begitu dalam. Terpancar kebahagiaan dari mata pria itu.
"Rasanya seperti kemarin saja, ya, saat-saat kita pertama kali bertemu, berteman, menikah, bahkan sampai aku hamil." Pipi Zea merah merona sembari mengulum senyum. Momen-momen berharga itu kembali terlintas di benaknya.
"Benar, Sayang. Semuanya berlalu begitu cepat."
"Apa kamu masih ingat semua kenangan indah kita, Sayang?" Zea tersenyum semringah, menatap Kevin penuh harap.
"Tentu saja, Sayang. Itu adalah masa paling bahagia dalam hidupku." Kevin menjawab sepenuh arti.
***
Zea berdiri di bibir pantai sambil memejamkan mata dan merentangkan kedua tangan, menikmati angin yang berembus lembut menerpa dirinya. Semua rasa lelah seketika sirna bagi Zea ketika menyempatkan diri untuk berlibur ke pantai.
"Indahnya." Zea tersenyum takjub memandangi matahari yang mulai terbenam.
Ombak kecil bergulung-gulung menyembur ke tepi pantai hingga mengenai kaki Zea yang tidak mengenakan alas apa pun.
Semakin sore, angin bertiup cukup kencang. Air laut mulai pasang hingga merendam kaki Zea. Namun, gadis itu tetap bergeming, seolah tidak menyadari bahaya maut yang tengah menantinya.
Tanpa diduga, angin mengamuk sehingga menerbangkan apa pun.
“Aduh!” Zea tersentak kaget ketika topi kesayangannya terbang tinggi akibat tertiup angin. "Aduh! Topiku!"
"Hei, kembali!" Zea mengejar topi bundar itu sembari meloncat-loncat untuk menangkapnya. Ia menggerutu kesal tanpa berhenti berlari ketika topinya melambung makin tinggi.
Topi itu jatuh tepat di dekat kaki seorang pria. Pria tersebut membungkuk dan mengambil topi tanpa pemilik itu.
"Topi siapa ini?" Kevin mengernyit, memeriksa topi itu dengan saksama. Terdapat pita merah muda di depannya. "Pasti ini punya perempuan."
"Hei! Itu punyaku!"
Kevin langsung menoleh pada sang pemilik suara. Pria itu mengernyit. Seorang gadis mengenakan dress putih lari tergesa-gesa menghampirinya.
"Gadis itu?" Kevin terpaku menatap gadis itu. Matanya berbinar-binar takjub dengan kecantikan gadis itu.
Cantik sekali, puji Kevin dalam hati.
Zea berhenti di hadapan Kevin, ia membungkuk dengan napas terengah-engah, berusaha mengatur napas yang hampir habis di rongga dadanya, sejenak.
“Ja-jadi ini punyamu?”
Zea tersenyum sopan, mengangguk cepat. "Be-benar. Terima kasih banyak, karena kamu sudah menemukan topi saya," ujarnya sedikit terbata-bata.
Jantung Kevin berdebar-debar tak karuan. Senyuman gadis itu membuatnya tak bisa berkedip.
Kevin tersenyum canggung. "I-iya ... sama-sama."
Gadis ini benar-benar cantik. Siapa namanya, ya? puji Kevin dalam hati.
"Kalau begitu saya permisi dulu, ya." Zea tersenyum ramah lalu berbalik hendak pergi.
"Tu-tunggu!" seru Kevin spontan. Ya ampun, Kevin! Kenapa lo tiba-tiba malah panggil dia, sih?! Lo benar- benar bodoh, Kevin! rutuk Kevin dalam hati.
Zea lantas berbalik menghadap Kevin. "Ya? Ada apa?" Gadis itu mengernyit bingung, menanti pria itu melanjutkan ucapannya.
Kevin tersenyum kikuk sambil menggaruk-garuk tengkuknya. "A-apa aku boleh …," Pria itu menunduk, menyembunyikan pipinya yang memerah. Kevin mendadak kehilangan kata-kata.
"Boleh apa?" tanya Zea sedikit penasaran.
Kevin memberanikan diri menatap gadis cantik itu. "Boleh … aku berkenalan denganmu?" tanyanya gugup.
Zea terkekeh kecil, terlihat anggun di mata Kevin. "Tentu saja." Wanita itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah. "Perkenalkan, nama aku Zea. Kamu?"
Kevin tidak sanggup berkata-kata, terpukau dengan senyuman gadis itu yang sangat memesona.
"Halo?" Zea melambai-lambaikan tangan di depan wajah pria itu. "Apa kamu baik-baik saja?"
Kevin tersentak kaget, sontak mengerjap-ngerjap. Ia segera tersenyum kaku, tak enak. "Ma-maaf …." Kevin menjabat tangan Zea. "Namaku Kevin."
"Oh, ya. Apa kamu lapar? Di dekat sini ada kafe, apa kamu mau makan malam bersamaku? Anggap saja ini sebagai balasan karena kamu sudah menemukan topiku," tawar Zea tersenyum.
Kevin mengangguk cepat. "Tentu saja!" Kevin tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan makan bersama dengan gadis secantik Zea.
Kevin langsung menutup mulut rapat-rapat. Pipinya semakin memerah seperti kepiting rebus. Sikapnya barusan benar-benar memalukan. Ia menyatakan secara terang-terangan rasa bahagianya atas ajakan gadis ini.
Zea terkekeh lepas. Pria ini benar-benar lucu sekaligus polos. Baru kali ini Zea menemukan pria se- menyenangkan dia. "Ayo …."
***
Sudah beberapa menit berlalu, Zea dan Kevin hanya memainkan sedotan minuman masing-masing tanpa membicarakan apa pun. Hanya suara bising dari para pengunjung kafe yang memecah keheningan di antara mereka.
Zea mengaduk-aduk jus alpukatnya dengan pikiran menerawang kemana-mana.
"Oh, ya, Zea." Kevin tersenyum sopan, berusaha mencari topik. "Kalau boleh aku tahu, kamu kerja atau kuliah?"
"A-aku … kuliah. Kamu?"
"Aku kerja, sebagai guru TK."
"Wah! Hebat sekali!" seru Zea kagum.
Kevin menunduk malu. "Tidak, kok. Itu pekerjaan yang sangat biasa saja."
"Kok kamu ngomong begitu? Jelas saja itu pekerjaan yang membanggakan sekaligus mengasyikkan. Guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, dan kamu termasuk salah satu dari para pahlawan itu," puji Zea bangga.
Kevin tersenyum malu pada Zea. "Terima kasih banyak atas pujiannya. Kamu satu-satunya orang yang tidak menertawakan pekerjaanku."
"Menertawakan?" Zea terkejut. "Memangnya ada orang yang menertawakan pekerjaanmu?" tanyanya syok. "Kejam sekali mereka."
"Ya, begitulah." Kevin bergidik bahu, tak acuh. "Menurut mereka, pekerjaan harus yang berpenghasilan besar dan memiliki jabatan, baru mereka menganggapnya adalah sebuah pekerjaan."
Zea menggeleng-geleng, tak habis pikir. "Mereka benar- benar aneh. Kamu tidak perlu memikirkan omongan mereka. Anggap saja itu cuma angin lalu.”
***
Waktu berlalu begitu cepat. Mereka asyik mengobrol tanpa menyadari hari semakin malam.
"Ya ampun!" Zea terbelalak saat memeriksa ponselnya. "Ayah meneleponku sampai puluhan kali!"
"Kenapa?" tanya Kevin ikut panik.
Zea tersenyum kikuk sambil menggeleng cepat. “Ti- tidak ada apa-apa, kok."
"Tapi kenapa wajah kamu panik begitu? Apa terjadi sesuatu?" tanya Kevin khawatir.
"Tidak ada apa-apa. Tapi, maaf ya, sepertinya aku harus pulang," Zea bangkit berdiri.
"Biar aku antar!” tawar Kevin cepat. "Apalagi sekarang sudah malam.”
Zea menggeleng cepat, tersenyum. "Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri, kok. Aku bisa pesan ojek online. Terima kasih atas tawarannya.”
"Tapi, Zea, ini sudah terlalu malam. Biar aku mengantarkanmu pulang, demi keselamatanmu juga. Kamu tahu sendiri, bagaimana hidup di kota Jakarta,” pinta Kevin memohon.
"Tapi aku takut merepotkanmu. Kamu pasti capek juga, kan?" tanya Zea tak enak.
Kevin sontak menggeleng. "Sama sekali tidak. Ayo,"
***
Kevin berusaha menyalakan motor bututnya yang enggan menyala dari tadi, meskipun sudah berkali-kali menggenjot pedal mesinnya.
Kevin terkekeh kikuk pada Zea yang sedang memandanginya.
"Maaf, ya. Tunggu sebentar. Gara-gara aku, kamu jadi lama pulangnya."
Zea tersenyum. "Santai sa—" Ponsel di genggaman Zea berdering nyaring.
Ya ampun, Ayah! Zea menatap ponselnya panik.
"Kenapa?" Kevin menangkap kecemasan dari raut Zea. "Apa orang tua kamu meneleponmu lagi?"
Zea mengangguk pelan, cemas. "Bagaimana ini, ya? Ayahku pasti marah sekali."
Kevin berpikir keras, berusaha mencari jalan keluar. "Atau kita naik transportasi umum saja. Bagaimana?”
Zea menghela napas berat. "Kalau tahu begini, aku pergi sendirian saja," jelas Zea. “Kalau begitu, aku duluan, ya, Kevin. Maaf.” Zea hendak pergi.
Refleks Kevin mencekal lengan Zea. "Tapi ini sudah malam, Zea! Orang jahat pasti berkeliaran dimana-mana. Apalagi di angkutan umum."
"Ih! Kamu jangan bikin takut, dong," gerutu Zea panik.
“Maaf.” Kevin terkekeh lepas. Wajah Zea sangat menggemaskan. "Aku sama sekali tidak bermaksud mau menakuti-nakuti kamu. Aku cuma takut kalau kamu kenapa-kenapa di jalan nanti.”
Pipi Zea seketika memerah. Jantungnya berdebar-debar kencang. Ia menunduk malu, mengulum senyum.
***
Tbc

หนังสือแสดงความคิดเห็น (32)

  • avatar
    PutriAmelia

    sangat bagus

    08/08

      0
  • avatar
    IrawanFahri

    bagus

    20/06

      1
  • avatar
    KhusnulDinda

    bagus baget

    07/06

      1
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด