logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Hampir Ketahuan

“Halo, Mbak.” Zulfa dan Suci cipika-cipiki ketika baru tiba di kafe, tempat keduanya pertama kali bertemu di luar.
“Hai, Jagoan! Tos dulu!”
Agha dan Zulfa saling tos dengan antusias. Ketiganya duduk di meja yang menempel dekat jendela.
“Ini, Fa ….” Suci menggeser sebuah paper bag kecil dengan tulisan branded terkenal ke hadapan Zulfa.
Zulfa mengernyit bingung. “Apa ini, Mbak?”
“Buka saja.” senyum manis dan tulus terukir di bibir Suci.
Dengan rasa penasaran yang bergejolak, Zulfa mengeluarkan isi dari paper bag. Ternyata sebuah kotak perhiasan kecil.
“Ya ampun, Mbak! Ini kan barang mahal!” seru Zulfa syok. “Kenapa Mbak memberikan saya barang semewah ini?”
Suci terkekeh dengan tingkah polos Zulfa. “Tidak apa-apa, Fa. Ambil saja. Semua yang sudah kamu lakukan pada Agha tak sebanding dengan harga pemberianku.”
Zulfa menggeleng cepat, mendorong kembali paper bag putih dekat Suci. “Enggak, Mbak. Saya enggak bisa.”
“Kenapa?” terpancar kesedihan di mata wanita cantik itu.
“Sa-saya tetap tidak bisa saja. Bagi saya mengenal Mbak dan Agha sudah lebih dari cukup.” Zulfa tersenyum kecil.
Suci menatap ke dalam mata yang terlihat menyimpan kesedihan mendalam itu. Zulfa terlihat sedih sekaligus senang ketika mengucapkan kalimat tadi.
“Ayolah, Fa. Anggap saja ini pemberian dari temanmu. Apalagi Agha yang memilihkannya langsung untuk guru privat tercintanya. Benar begitu, kan, Sayang?” Suci tersenyum manis pada putranya yang sedang asyik menonton kartun di ponsel.
Agha hanya mengangguk antusias tanpa memahami ucapan Suci karena terlalu fokus.
“Benarkah?” Mata teduh Zulfa langsung berbinar-binar. Dia tidak bisa menutupi senyum kebahagiaannya.
Jadi ini pilihan Agha langsung? pikir Zulfa.
Beberapa menit sudah berlalu. Suci dan Zulfa masih asyik membahas berbagai-bagai topik, mulai dari pendidikan, sekolah dan lainnya.
“Oh ya, Fa ….” Suci teringat sesuatu yang hendak dia tanyakan pada Zulfa tadi ketika bertemu. “Ada yang ingin kutanyakan padamu.”
Zulfa mengernyit bingung. Mendadak rona wajah Suci serius hingga menimbulkan ketegangan dalam dirinya.
“Mbak mau tanya apa? Silakan saja.” Zulfa berusaha tersenyum kecil, meski agak waswas. Dia harus menyiapkan diri untuk tiap pertanyaan yang mungkin tak terduga.
“Apa kamu sudah memiliki pacar?”
Zulfa terdiam beberapa saat hingga tak mampu berkata-kata. Mana mungkin aku bilang mantan pacarku adalah suaminya, kan? Bisa-bisa aku makin jauh dari Agha.
“Zulfa? Kok kamu hanya diam?”
Zulfa hanya tersenyum kecil, tak berniat menjawab pertanyaan Suci. Pertanyaan itu sangat beresiko. Apalagi saat berpacaran dulu, Zulfa dan Bram tidak meninggalkan kenangan indah apa pun.
“Zulfa, kok—“
“Ibu, aku lapar,” sungut Agha cemberut. Padahal sudah satu jam mereka berada di restoran tanpa memasan apa pun. Apalagi ibunya tidak berniat membelinya makanan.
“Ya ampun, Sayang! Maafkan Ibu! Ibu sampai lupa memesan makanan gara-gara terlalu asyik mengobrol.” Suci merasa tak enak.
Suci memanggil salah satu pelayan restoran. Pelayan itu segera datang sambil membawa daftar menu.
Zulfa dan Suci sibuk melihat-lihat makanan yang ada di buku itu.
“Kamu mau makan apa, Sayang?” tawar Suci tanpa berpaling.
“Terserah Ibu saja.”
“Bagaimana kalau udang?”
“Jangan!”
Teriakan Zulfa membuat Suci tersentak kaget. “Kenapa?”
“Agha alergi udang! Dia bisa gatal-gatal kalau makan seafood!”
Tentu saja, Suci sangat kaget. Sebagai Ibu kandungan Agha bahkan dia hampir lupa jika anaknya alergi terhadap makanan laut, terutama udang.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” cetus Suci.
Ya ampun! Kenapa aku keceplosan, sih!
“A-anu ….” Zulfa menggaruk tengkuk sembari mencari kata-kata yang tepat. “Saya … saya hanya takut saja kalau Agha punya alergi yang sama terhadap udang. Karena saya punya trauma saat kecil, gara-gara makan udang sampai masuk rumah sakit. Sejak itu, setiap kali mendengar kata udang, pasti akan spontan berteriak ‘jangan’.”
“Jadi kamu alergi makan udang juga?” sergah Suci cemas.
Zulfa menjawab, “Y-ya, begitulah, Mbak. Namanya juga penyakit anak kampung,” ujarnya sok merendah untuk berusaha menyembunyikan posisi sebagai ibu kandung Agha.
“Agha waktu kecil sempat masuk rumah sakit gara-gara makan udang. Waktu itu aku sama sekali belum tahu kalau Agha menderita penyakit alergi. Sudah lama aku tidak kasih Agha makan udang, gara-gara itu aku sempat lupa.” Suci terkekeh sambil menahan malu. “Untung saja ada kamu, Fa.”
“Aku senang bisa menolong Mbak.” Zulfa tersenyum manis.
Zulfa menunduk sedih. Tentu saja yang dilakukannya tadi adalah sikap nalurinya sebagai seorang ibu yang spontan ingin melindungi anaknya dari bahaya.
Walaupun mereka berpisah selama sembilan tahun, insting seorang ibu dalam diri Zulfa tidak bisa dianggap remeh dan usang meski dimakan waktu. Ibu mampu mendeteksi bahaya yang akan terjadi sebelum hal itu menimpa anaknya.
Meski Suci adalah ibu tiri yang baik, kadang dia lalai menjaga Agha. Rasanya Zulfa ingin mengambil alih hak asuh Agha dan merawat Agha sebagai ibu kandungnya.
Tapi apakah itu mungkin? Rasanya sangat mustahil, apalagi mengingat bahwa Zulfa tak punya hak hukum apa pun, sekalipun Agha adalah putra yang telah dia lahirkan.
Walaupun Zulfa berupaya memikirkan berbagai cara, tidak mungkin ia akan berhasil.
Selama pria keji itu masih hidup di dunia ini, Bram tidak akan pernah berhenti mengancam Zulfa agar tidak melakukan hal nekat yang akan menghancurkan kebahagiaan dia.
Bagaimana caranya agar Agha kembali ke pelukan Zulfa? Itulah yang selalu wanita itu pikirkan selama sembilan tahun.
“Zulfa? Zulfa? Kamu kenapa? Kok kelihatan murung?”
Zulfa tersentak kecil ketika Suci menepuk tangannya lembut. “I-iya, Mbak? Mbak bilang apa tadi? Maaf ….” Dia bertanya dengan tak enak hati.
“Kamu kenapa, Zulfa? Apa kamu sedang ada masalah?” Suci menatap Zulfa prihatin. “Maaf, bukannya aku mau sok tahu. Tapi … semenjak kita bertemu akhir-akhir ini kadang aku suka memergoki kamu melamun. Sebenarnya ada apa? Cerita saja. Mungkin aku bisa bantu sesuatu,” bujuk Suci.
Sebenarnya Suci ingin mengenal Zulfa lebih jauh, tetapi wanita itu seperti sengaja membangun benteng di antara mereka. Zulfa sangat menutupi jati dirinya.
Atau mungkin hanya perasaan Suci saja?
Entahlah.
Zulfa menunduk sedih. Tidak mungkin Suci mampu menolongnya. Mereka menyayangi dan menginginkan satu orang yang sama. Mustahil Suci akan rela mengembalikan Agha padanya. Apalagi Suci sangat mencintai Agha lebih dari apa pun, terlihat dari cara Suci memperlakukan Agha.
Namun, Zulfa setidaknya bersyukur dan tenang memercayai anaknya dirawat oleh wanita sebaik Suci, meski terkadang Zulfa tidak mampu melihat Agha begitu dekat dengan istri Bram itu.
Sering kali rasa rindu menyergap dada Zulfa saat berjauhan dengan Agha. Namun, mau bagaimanapun dia tidak bisa melakukan apa pun. Zulfa hanya memiliki waktu dua jam untuk berada di dekat Agha setiap hari.
Terkadang Zulfa ingin hanya dia saja yang dipanggil “Ibu”. Apakah dia egois? Rasanya tidak. Apalagi anaknya dirampas begitu saja, apakah berlebihan jika dia mengharapkan Agha kembali dalam pelukannya?
***
Tbc

หนังสือแสดงความคิดเห็น (73)

  • avatar
    YusufMohammad

    bagus pake banget

    5d

      0
  • avatar
    LitaDuma

    aku pengen punya diamond

    27d

      0
  • avatar
    SaprudinUdin

    seru

    14/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด