logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Suatu Kebenaran

Zulfa terkekeh melihat Agha sangat menikmati es krimnya sampai berlepotan ke mana-mana. Wanita itu tak bosan membersihkan mulut Agha menggunakan tisu agar jangan sampai mengotori seragam sekolah.
"Tante nggak makan es krim? Enak banget loh, Tante!"
Zulfa menggeleng, tersenyum kecil. "Tidak. Kamu saja yang makan, Sayang. Tante sudah kenyang."
"Aku habiskan, ya?"
"Silakan, biar kamu cepat besar."
Agha kembali menjilati es krim.
"Kamu suka makan es krim, ya, Sayang?" Zulfa bertanya pada Agha. Ia akan berusaha keras mengingat semua kebiasaan anak itu. Mulai dari kesukaan sampai hal-hal yang tidak Agha suka.
"Aku jarang sekali makan es krim, Tante. Berkat Tante aku jadi bisa makan es krim hingga sebanyak ini!" 
"Kenapa?"
"Ibu nggak mengizinkan aku makan es krim. Katanya, takut aku sakit."
"Apa kamu alergi es krim?" Zulfa panik.
Agha mengernyit. "Apa itu Alergi?" tanyanya polos.
"Alergi adalah penolak tubuh pada sesuatu yang tidak bisa diterima." 
"Oh!" Agha manggut-manggut paham. "Nggak kok, Tante."
"Syukurlah…."
"Habis ini kita lihat-lihat badut, ya, Tante. Aku tadi pengin lihat badut di sana, tapi aku takut sendiri."
Tawa Zulfa pecah. Rona ketakutan Agha benar-benar menggemaskan. "Memangnya kenapa, Sayang?"
"Karena badutnya besar dan mukanya aneh. Aku takut dimakan. Ih …." Agha menggigil ketakutan.
"Badutnya nggak suka makan anak kecil, kok, Sayang. Jadi kamu tenang saja. Malahan badut suka sekali berteman sama anak-anak seusia kamu," hibur Zulfa. Dia ingin sekali Agha menjadi anak pemberani.
"Benarkah, Tante?"
"Tentu saja!"
Agha buru-buru menghabisi es krimnya lalu melonjak berdiri. "Ayo, Tante! Kita main sama badut!" Agha langsung berlari menghampiri badut yang sedang berjoget di kelilingi anak-anak.
"Tunggu, Sayang!" Zulfa refleks mengejar Agha. Ternyata bocah itu memiliki kebiasaan buruk seperti pergi seenaknya.
Aku harus sabar menghadapi Agha. Pikir Zulfa.
Agha tertawa lepas ketika badut berhidung merah itu berjoget-joget lucu dan memperlihatkan atraksi sulapnya.
"Lagi! Lagi! Lagi!" teriak Agha dan anak-anak lain dengan heboh.
Zulfa tersenyum manis memandangi Agha yang sedang asyik menonton. 
"Tante! Tante!" Agha menarik-narik tangan Zulfa.
"Apa, Sayang?"
"Tolong fotoin aku sama badut, ya!"
"Baiklah!"
Agha berlari kembali pada badut itu dan berdiri di dekatnya. 
Zulfa mengarahkan kamera ponsel pada Agha dan badut sambil tersenyum lebar. "Satu … dua … tiga ….! Cheese!"
Agha berlari pada Zulfa dan meloncat-loncat untuk melihat hasilnya.  "Mana, Tante? Aku mau lihat!"
Zulfa berjongkok dan memperlihatkan hasil potretnya pada Agha. "Bagaimana, bagus?"
"Wah! Bagus banget!" 
"Ayo, kita foto berdua, Tante!" Agha menarik-narik tangan Zulfa. 
"Baiklah. Tapi siapa yang akan memfoto kita, Sayang?"
"Biar saya saja." Seorang ibu-ibu berhijab menawarkan diri.
"Terima kasih banyak, ya. Maaf merepotkan." Zulfa merasa tak enak.
"Ah, tidak sama sekali."
Zulfa dan Agha tersenyum ke arah kamera sambil berdiri di sisi kanan dan kiri badut itu.
"Senyum yang lebar!" Ibu-ibu itu memberi interupsi. "Cheese!"
"Terima kasih, ya, Bu."
"Iya, sama-sama." 
Zulfa langsung mengubah wallpaper ponselnya dengan foto mereka. Senyum Zulfa tampak manis saat memandangi foto itu.
Akhirnya aku memiliki foto bersama Agha.
Nada dering ponsel membuyarkan lamunan Zulfa.
"Ya ampun! Mbak Suci dari tadi menelepon! Aku sampai nggak sadar karena terlalu keasyikan." Zulfa segera mengangkat panggilannya.
***
Suci berjalan mondar-mandir di teras rumah dengan perasaan tak karuan. Cemas, khawatir, dan takut. Kini sudah pukul lima sore, tetapi Agha dan Zulfa tak kunjung pulang.
"Ya ampun! Mereka ke mana, sih? Kenapa sampai sekarang mereka belum kembali? Aku sudah berkali-kali menelepon Zulfa pun tidak diangkat-angkat juga."
"Ibu!" Seorang bocah muncul dari balik pagar dan berlari menghampiri Suci.
"Ya ampun, Sayang!" Suci merentangkan tangan lebar-lebar. Air matanya seketika pecah.
Suci memeluk Agha begitu erat ketika masuk dalam dekapannya. "Syukurlah, kamu baik-baik saja, Sayang. Ibu pikir kamu kenapa-kenapa."
"Maaf, Mbak! Saya benar-benar lupa saking keasyikan main di taman!" 
Suci menghela napas panjang. "Lain kali, tolong kasih tahu aku dulu kalau mau ajak Agha jalan-jalan, ya."
"Saya benar-benar menyesal! Tolong jangan pecat saya," pinta Zulfa dengan suara bergetar.
Suci tertawa kecil. "Kamu apa-apaan, sih? Mana mungkin aku memecat guru sebaik kamu."
"Te-terima kasih banyak, Mbak. Kalau begitu saya pamit dulu, ya."
"Hati-hati di jalan."
"Hati-hati, ya, Tante! Dadah!" 
Zulfa tersenyum manis. Sesaat dia menatap Agha untuk menyimpan wajah anak itu dalam ingatannya sebelum pergi.
***
Zulfa tersenyum manis memandangi fotonya bersama Agha di taman tadi. Akhirnya mimpi Zulfa selama ini terwujud,  meski sejujurnya sedikit agak sedih karena harus muncul dengan berpura-pura menjadi orang lain. 
Suara sepatu Zulfa menggema di lorong apartemen yang sepi.
Sesampainya di depan pintu unit kamarnya, Zulfa menekan tombol pintu kemudian masuk.
"Dari mana saja kamu?" Suara boriton itu memecah keheningan di kamar apartemen Zulfa.
Zulfa tersentak kaget dan segera menghidupkan lampu. Matanya membulat sempurna. Seorang pria tampan berkemeja putih, memperlihatkan jelas otot-otot lengannya yang kekar, sedang duduk di sofa apartemen sambil bermain ponsel.
"Apa kamu bodoh?!" ketus Zulfa menghampiri pria tersebut. "Padahal aku sudah berkali-kali memperingatimu supaya kamu jangan sembarang memasuki apartemenku!"
Bram terkekeh sinis. "Kamu membeli apartemen ini dengan uangku? Apakah salah aku masuk apartemen mantan pacarku?"
"Ada perlu apa kamu datang menemuiku? Biasanya kamu datang hanya saat kamu butuh saja. Seperti dulu ketika kamu datang untuk merampas anakku demi menggantikan anakmu dengan Suci yang meninggal itu!"
"Bisakah kamu melupakan semua kejadian itu? Padahal semua peristiwa itu sudah berlalu sambilan tahun lalu. Bahkan sekarang aku sudah menuruti keinginanmu untuk dekat dengan Agha."
"Tapi bukan sebagai guru lesnya, brengsek!" Zulfa tak mampu mengendalikan amarahnya. Ia merutuki dirinya dahulu karena pernah jatuh cinta dan terbuai dengan Bram, hingga dia memberikan apa pun sampai kehormatannya. 
Namun, ternyata Bram telah menikahi seorang wanita bernama Suci. Zulfa benar-benar frustrasi karena selama ini dia hanyalah kekasih gelap Bram. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Bram dan istrinya. 
Di saat itu, ternyata Zulfa dan Suci mengandung dan melahirkan di rumah sakit yang sama. Namun, bayi Suci meninggal ketika baru saja dilahirkan. Alhasil, Bram merampas anak mereka demi mempertahankan posisinya sebagai ahli waris tunggal dan memberikannya pada Suci dengan menipunya dan mengatakan bahwa bayi milik Zulfa merupakan anak kandung Suci.
Bram membuat hidup Zulfa sangat hancur. Bram telah mengambil segala-galanya yang ia miliki. Anak dan kehormatannya sebagai wanita.
Meski begitu, Zulfa terus tetap bertahan demi melihat putra semata wayangnya tumbuh menjadi anak yang tampan. Zulfa hanya diam-diam memperhatikan Agha dari kejauhan saat mereka sedang bermain-main di teras rumah.
Namun, setelah sembilan tahun, Zulfa bertekad untuk dekat dengan anaknya dengan terus-mendesak Bram. Zulfa hanya mendapatkan pukulan demi pukulan atas perilakunya.
Zulfa tidak menyerah. Sampai kapan pun, dia adalah ibu kandung Agha.
***
Tbc

หนังสือแสดงความคิดเห็น (73)

  • avatar
    YusufMohammad

    bagus pake banget

    5d

      0
  • avatar
    LitaDuma

    aku pengen punya diamond

    28d

      0
  • avatar
    SaprudinUdin

    seru

    14/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด