logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Episode 9

Mungkin memang tidak baik jika anak selalu dititipkan ke daycare. Tapi Sandra dan Ken sedang mengejar mimpi mereka, merawat Sabda secara full time sepertinya sulit untuk mereka berdua.
"Apa kita perlu memikirkan lagi terkait pendidikan Sabda?" tanya Ken yang sudah duduk di ruang makan bersama Sabda.
Entah apa yang dipikirkan semalam suntuk membuat Sandra tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Sandra yang baru saja keluar dari kamar kemudian mendapat sambutan pertanyaan seperti itu membuat moodnya menjadi buruk.
"Jangan omongin itu dulu, ya." pinta Sandra.
Ken mengerti. Ia meminta maaf dan meneruskan untuk makan dan menyuapi Sabda.
"Semalam nggak tidur?" tanya Ken sambil mengambil kopi untuk dirinya.
"Iya. Rasanya kebangun-bangun terus. Nggak enak banget."
"Hari ini ada kegiatan?"
"Ada. Aku ketemuan sama klien. Dia minta aku jadi timnya buat promosi novel terbarunya." ungkap Sandra.
"Oh ya? Kamu nggak cerita. Tumben?"
"Oh.. aku lupa mungkin." Sandra menyajikan senyum yang terlihat dipaksakan.
"Nggak senyum nggak apa-apa kok. Aku masih cinta." Ken memeluk Sandra dari belakang.
Sandra tidak merespon, ia sedang menyembunyikan sesuatu dalam hatinya. Jika disinggung dengan proyeknya sekarang, sesungguhnya ia tidak nyaman. Karena, proyek itu sedang bertemakan 'cinta pertama'.
---
Sandra menerima saja tawaran untuk menjadi anggota tim promosi pada salah satu penulis yang terkenal romantis. Ia menjalankan rapat dengan satu timnya dengan biasa saja. Namun di saat makan malam tim, pembicaraan dengan sang penulis mulai terasa tidak nyaman.
"Bagaimana menurutmu, San? Apakah cinta pertama berarti bagimu?"
Sandra hanya tersenyum, ia enggan menjawab. Sandra memang terkenal tidak terlalu banyak bicara.
Salah seorang dari mereka menawarkan kaleng bir yang baru saja mereka beli lewat pengiriman makanan. Tapi Sandra menolak.
"Kenapa nggak mau, San? Kamu takut ketahuan ya?"
"Ketahuan apa? Aku nggak menyembunyikan apa pun." Kata Sandra.
"Sudah-sudah! Saya harap kali ini promosinya cukup ngena ke pasar kita. Cinta pertama adalah tema yang umum. Semua orang, atau sebagian besar, pasti memiliki cinta pertama. Nah, menurut kalian konsep seperti ini apakah cukup?" kata ketua tim promosi.
Sandra merasa bingung. Katanya hanya sekadar makan malam tim, tetapi mengapa membahas hal ini lagi?
"Saya rasa, kita harus membuat satu tim mengingat kembali tentang cinta pertama. Sehingga ketika kita tour, para pembaca atau calon pembaca bisa merasakan hal yang ingin disampaikan tentang cinta pertama." Kata penulis itu, sungguh Sandra membenci sesuatu yang berurusan dengan cinta pertama.
Cinta pertama bagi Sandra adalah hal yang paling ingin ia kubur. Bahkan, rasanya, ia ingin menganggap tidak pernah terjadi.
Ia ingin sekali membuat realita yang baru bahwa cinta pertamanya adalah Ken.
Tetapi, apakah itu mungkin?
Sungguh, Sandra tidak ingin mengingatnya kembali. Namun, perasaan yang mengganjal tentang hubungan cinta pertamanya masih saja hadir di sana.
"Tapi, kalau ada yang tidak mau recall tentang cinta pertamanya, tidak masalah." Ucap penulis itu sambil menatap Sandra yang baru sadar bahwa selama ini dia diperhatikan olehnya.
"Yuk kita buka diskusinya." ujar ketua tim.
Hampir seluruh orang yang ada di tim menceritakan kesan cinta pertama mereka, termasuk sang penulis.
Namun, tidak untuk Sandra. Ia hanya diam dan mengangguk agar tidak terlewati untuk menceritakan.
"Sepertinya Sandra nggak mau cerita, nggak masalah. Lanjut yang lain yuk!" Ajak sang penulis.
Penulis mendengarkan dengan baik cerita para anggota tim promosi. Terlihat mimik sedih dan senyum yang nyata tergores di wajahnya. Tidak semua penulis seperti ini, memahami orang lain sehingga perasaan mereka tervalidasi. Penulis yang tidak mau mendengarkan juga cukup banyak, bukan?
Menjadi pekerja lepas desain ini membuat Sandra bertemu banyak orang. Dari yang sangat memahami kesulitannya, hingga orang yang sangat tidak peduli dengan proses pengerjaannya, sudah dirasakan oleh Sandra. Khusus penulis ini, ia merasa tidak nyaman. Ini kali keduanya Sandra bekerja sama dengannya. Sandra merasa tidak nyaman karena ia seringkali ditanya tentang perasaannya.
Untuk apa menanyai perasaannya? Kan yang penting pekerjaannya beres dan bagus? Mungkin itu pemikiran Sandra. Namun bagi penulis, perasaan adalah roman setiap individu yang harus dipahami. Dipahami tidak harus dituruti apa maunya, tetapi untuk menghadapi hidup lebih baik.
"Bukankah begitu, San?" Kata penulis itu, semua orang menoleh ke arah Sandra.
Sandra tergopoh, ia mengangguk walaupun ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Kali ini, ia punya alasan untuk keluar dari lingkaran yang menakutkan baginya. "Sebentar, saya permisi dulu."
Ia tertegun melihat di layar ponselnya bahwa Mae meneleponnya. "Kenapa Mae? Aku lagi di luar."
"San, Juni!"
"Juni kenapa?"
"Juni keguguran! Dia habis ngelabrak pelakor sama suaminya kumpul kebo!"
"Apa?" pendengaran Sandra terasa tidak nyata.
"Kamu bisa telepon Juni? Dia baru aja kirim pesan kalau dia pendarahan. Tapi aku telepon dia nggak angkat." Suara Mae penuh dengan kepanikan.
"Sebentar, aku telpon lagi ya! Aku buka aplikasi duku." kata Sandra. Ia segera membuka aplikasi GPS yang pernah ditautkan oleh Juni karena Juni kesal setiap kali ia menanyakan keberadaan Sandra, Sandra tidak segera menjawabnya.
Sandra segera mengirimkan kemungkinan lokasi terakhir Juni.
"Astaga Juni, kamu udah sebatang kara sekarang di sana." cemas Sandra yang membuat pikirannya berkabut.
Mae mengirimkan pesan bahwa ia sudah menuju titik yang Sandra kirimkan. Sandra kembali kepada timnya dalam keadaan tidak tenang.
---
Sabda merengek agar ia bisa ikut ibunya bekerja. Tapi Sandra merasa akan sulit jika Sabda ikut. Tangis Sabda mulai mengeras. Sandra mulai merasa sesak nafas. Ken yang masih belum berangkat ke kantor segera mengambil Sabda dan menenangkannya.
"Kamu ke kamar dulu, yang! Biar Sabda sama aku. Aku nanti ada meeting di mall, jadi bisa aku ajak main sekalian."
Beberapa hari ini Sabda menolak jika dibawa ke daycare. Tentu ini menyulitkan Sandra. Tetapi Ken berusaha untuk mengimbangi Sandra. Ia tidak ingin Sandra merasa Sabda menghalangi mimpinya.
"Aku langsung berangkat aja. Titip Sabda ya!" Sandra pergi dengan tangan memegang dadanya. Ken mengamatinya tanpa lepas.
Ken mencemaskan apa yang terjadi dengan Sandra. Apakah perlu Sandra dibawa untuk konseling? Ken khawatir jika Sandra mengalami depresi pasca melahirkan.
Sandra meraih motornya, mengatur nafas, dan menenangkan pikirannya.
"Aku ingin sekali tidak merasa seperti ini ketika Sabda rewel." Sandra masih belum berpikir lebih jauh tentang apa yang ia rasakan. Ia hanya menanyakan kenapa ia seperti ini, hanya sebatas itu.
Mungkin kecemasan Ken perlu didengarkan. Apakah mungkin Sandra merasakan depresi?
Tetapi Ken pun hanya sebatas cemas, ia belum berani menanyakan lebih lanjut. Ia sadar masih ada batas yang belum ia kenali dengan Sandra. Di antara Ken dan Sandra, seperti ada ruang kosong yang mereka berdua sepertinya belum ingin membukanya, apalagi menghilangkannya.
Pernikahan yang berjalan lebih dari tiga tahun ini, mengapa masih ada rahasia di antara mereka berdua?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (98)

  • avatar
    Qilaaja Qilaaja

    wahh ini sngt bagus🤩

    18/08

      0
  • avatar
    Ryo Azali

    500

    21/07

      0
  • avatar
    Ame

    seru banget bacanya🥰

    16/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด